penulis : Jang Yiq
Cerita Singkat bag. 5
Ketidaksengajaan,
ummi bertemu Sigi. Sigi menguak kisah hidupnya akhir-akhir ini, tentang dirinya,
tentang Sigit dan tentang isi hatinya. Bagaimana pertemuan bermula sampai
pengandaian seperti apa akhirnya.
Melalui
ummi, Sigit memperkenalkan diri pada Sigi. Bukan Kinan, bukan juga insiatif
Sigit sendiri. Awal yang canggung, bisa teratasi dengan Sigit yang cepat
menguasai keadaan dan pembawaan Sigi yang apa adanya. No Jaim and to the point.
Tawa hadir di acara jumpa pagi itu, namun ada akhwat lain yang sedang merana, menunggu
sebuah jawaban. Yuli Evanti masih penuh harap bahwa Sigit akan memilih dirinya.
***
“Hari ini, kami akan balik
ke Jakarta. Andien sudah diperbolehkan pulang,” Ummi membuka pembicaraan lagi,
sesaat Sigit pergi dari tempat itu.
“Apa?
Ummi akan meninggalkan Bogor?” Sigi
mengkonfirmasi lagi apa yang didengarnya tadi.
Ummi mengangguk dengan serangai. Dia
menepuk-nepuk pundak Sigi yang terlihat melemas, mengerti atas kekecewaan
bersua yang terlalu singkat. Dua hari, bukan waktu yang cukup untuk lebih dekat
dengan ummi, dan barang tentu juga dengan Sigit.
“Bogor dan Jakarta, dekat kok,” Ummi
menghibur Sigi sambil melirik Kinan untuk menegaskan kalimatnya, memang benar
Bogor dan Jakarta tidak sejauh Jogjakarta dan Madura.
“dekat BGT, ummi...!” ceplos Kinan
senyum-senyum ke arah ummi.
Sigi merubah mood-nya. Dia melebarkan senyum, mencoba mengusir rasa sesal. Dia
telah merelakan Sigit, meski tidak sepenuhnya. Sigi tidak kuasa mempertanyakan
apa yang dirasakan Sigit pada dirinya. Terlalu dini untuk meneror Sigit di
pertama saling tahu. Perasaan tidak bisa
dipaksakan, hati tidak dapat untuk dibagi. Cinta tidak harus memiliki. Begitu dialog-dialog di drama korea ^0^.
Lagipula Sigi juga akan segera meninggalkan rumah sakit ini dan menjalankan
aktivitas kembali seperti sedia kala.
Menjadi mahasiswa, wartawan kampus, dan pastinya menjadi Sigi yang dulu,
ceria penuh canda. Tapi sekarang dia akan hadir dengan penampilan yang beda,
berhijab. Bukan Sigi yang modis and stylish ala-ala gadis gaul abad-21, sekarang dia berbusana rapi dan tertutup,
berkaos kaki tanpa super high heels.
“Ini alamat ummi. Ummi akan senang
sekali kalau nak Sigi dan Kinan berkenan mau mampir jika ke Jakarta!” ummi
menyodorkan selembar kertas.
Kinan menyambar kertas itu seenaknya. Dia
membaca abjad yang bertuliskan jalan Fatmawati nomor 13 jakarta Selatan.
“Tidak sekalian sama nomor telepon,
ummi?” tanya Sigi bernada canda penuh pengharapan ummi akan dengan suka rela
menyebutkan satu nomor saja, terserah nomor telepon siapa, entah itu nomor
telepon rumah, ummi, dan kalau beruntung nomor Sigit. Apalagi Sigi tersadar
kartu nama Sigit sudah tidak ditangannya lagi.
“Aaauuuu...!!” jerit Sigi, ternyata
kinan refleks mencubit pahanya, seperti biasa sebagai peringatan untuk tetap
menjaga image. Kinan nyengir saja
diplototin Sigi karena aksinya itu.
Ummi sekali lagi dibuat tertawa oleh
kedua hijaber itu, melihat Sigi yang manyun seraya mengusap-usap lengannya yang
mungkin memerah. Dan memperhatikan Kinan yang nunduk malu di depan ummi.
“Ini!” ummi memberikan secarcik kertas
kecil kepada Sigi. Ya ampun, itu kartu nama Sigit yang Sigi tinggalkan di taman
kemarin pagi.
“Kok, bisa ada di ummi?” Sigi melongo sambil menatap ummi. Dia belum
percaya kartu nama itu kembali ketangannya.
“Sigit yang menemukannya di taman atap.
Dia bilang ini punyamu, jadi harus dikembalikan kepemiliknya.” Jelas ummi.
Sigi mengambil kartu nama itu di tangan
ummi. Tangannya bergetar terus mengelus-elus barang mungil itu. Kinan terharu,
bulir air mata muncul di sudut matanya, namun dia tahan untuk tidak menetes. Kinan
juga tidak menyangka kartu nama itu akan dilihatnya lagi. Ummi-pun ikut terhanyut
dalam moment-moment terakhir itu.
Allah
sungguh Sang Kreator tanpa tandingan, selalu membuat sesuatu tak terduga yang
membuat hidupmu penuh kejutan ^0^
***
Hari Rabu, 07.30 pagi...
Sigit duduk di meja dan kursi yang sama
saat terakhir dia meninggalkan tempat itu. Dia datang lebih awal dari
perjanjian dengan pak Salihuddin dan Yuli. Sekarang mukanya tidak nampak sedikitpun
keragu-raguan, dia sangat yakin akan keputusannya saat ini. Dua hari
berturut-turut dia melakukuan istiharah untuk memantapkan dirinya akan pilihan
pendamping hidup. Perkara yang terlihat sepele namun berat timbangannya di
akhirat kelak.
Sigit melirik jam tangannya, masih dua
puluh menit menuju jam delapan. Dia mengeluarkan buku dalam ranselnya, Fiqih Dakwah jilid 2 yang setebal bantal
sekarang sudah terbuka didepannya. Dia melahap lembar demi lembar buku wajib
untuk kalangan da’i itu. Serius sekali, dia
menela’ah setiap kata bahsaan.
Waktu berjalan cepat, sudah tepat pukul
delapan Waktu Indonesia Barat. Sigit hanyut dengan bacaannya. Dasarnya hobi
membaca, tidak sesuatu-pun dihiraukan. Ya, Yuli sudah ada sedari tadi di tempat
makan itu, sedang berdiri agak jauh dari posisi Sigit. Dia mengintip di balik
pembatas rotan ruang makan seraya mesam mesem sendiri memandangi muka Sigit
yang terpantau tetap fokus dengan buku didepannya. Yuli enggan menghampiri
Sigit tanpa keberadaan pak Salihuddin sebagai pihak ketiga. Ingat, fitnah ^0^. Dia sangat girang
mengetahui hari ini Sigit akan memberikan jawaban yang sudah sangat
ditungguinya. Membayangkan bahwa Sigit akan menjawab yes yang akan membuatnya berbunga-bunga.
Eh...lupa
dia, GB... GB... ukhti...setan sepertinya sudah mulai merasuk ini.
Astagfirullah...^0^
“Assalamu’alaikum...”
sebuah suara kecil mengejutkan Yuli, Pak Salihuddin mengendap-endap
dibelakangnya. Yuli langsung membalikkan badannya dan tersipu malu seraya
membalas salam itu, tertangkap basah mengagumi Sigit diam-diam.
“Ini saatnya, Nak!” cakap pak Salihuddin
memastikan Yuli sudah mempersiapkan jiwanya. Apapun keputusan Sigit harus bisa
dia hormati dan terima dengan sepenuh hati. Baik itu penerimaan ataupun
penolakaan, adalah hak Sigit yang tidak bisa di ganggu gugat.
Yuli mengangguk pasti, menghilangkan
keresahan pak Salihuddin. Jauh-jauh hari dia sudah menggembleng mentalnya agar
tidak nampak bodoh di depan seorang ikhwan. Karena, seperti kita ketahui, Yuli
Evanti cukup sering mendengar kata afwan.
Dan dia sudah terbiasa, bahkan mungkin dentuman “no” yang keluar dari mulut kaum pria selama ini sudah sangat akrab
dengan hidupnya.
Berdua mereka mendekati Sigit yang
sangat konsentrasi membedah buku Fiqih dakwah itu. Sekali lagi pak Salihuddin
memecah suasana yang terkesan canggung, melayangkan salam kesejahteraan untuk
sesama. Sigit membuyar, dia mengalihkan pandangannya kepada dua orang yang
memang ditunggu-tunggu. Sigit menyunggingkan senyum menyambut kedatangan mereka,
selayaknya tuan rumah menanti hadirnya tamu istimewa. Sigit mengisyaratkan
dengan tangannya untuk mempersilakan duduk. Sempat sudut matanya mengerling ke
arah Yuli, Sigit makin melebarkan seringainya yang menangkap kekikuan Yuli yang
tak mampu disembunyikan kali ini.
Seberapapun
berpengalamannya seorang penyanyi pasti dia pernah merasakan gugup di atas
panggung. Begitulah kira-kira penggambaran Yuli saat ini, walaupun ini adalah
ta’aruf yang kesekian kali, di depan Sigit dia tidak mampu menutupi keresahan
hatinya, hemm... Hemm ^0^
“Yahhhh... bapak kira kita yang akan
menunggu kehadiranmu, Git. Tapi malah kita yang ditunggu,” ucap pak Salihuddin santai
sambil menoleh ke arah Yuli. Yuli menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mungkin
akan berona merah.
“Hari ini ana jadwalnya masuk siang,
Pak.” Kilah Sigit yang memang sudah tidak sabar melontarkan hasil renungannya.
“Oya, Afwan atas sikap ana minggu lalu.
Ana tidak bermaksud meninggalkan acara, tapi adik ana terjatuh dari tangga dan
harus dirawat di rumah sakit. ” lanjutnya merasa harus memberikan penjelasan
atas ketidaksopanannya terhadap Yuli.
“Nak Yuli, ada yang mau disampaikan,
monggo!” pak Salihuddin memberikan kesempatan untuk Yuli mengungkapkan apa saja
yang mengganjal.
“Ana tidak berhak untuk berprasangka buruk
terhadap antum. Jadi, apapun alasannya, ana sudah memaafkan kejadian tempo
lalu. Hari ini ana akan mendengarkan apa tindakan antum selanjutnya dengan
proses ini.” tegas yuli tanpa bertele-tele membuang waktu. Seperti yang dia
lantunkan, dia tidak akan nampak bodoh dan mengiba di hadapan ikhwan, meskipun
itu adalah Sigit. walau hati sebenarnya berbicara sebaliknya, mau mengulur
waktu lebih lama agar makin dekat dengan Sigit, dia bisa memahami apa yang
dirasakannya, mampu mendengar jeritan batinnya, Sigit jadikan aku isterimu!.
Sigit membalas dengan senyuman kata-kata
Yuli yang terkesan buru-buru menginginkan ketok palu. Sigit melihatnya
lekat-lekat, membenarkan dirinya atas kekaguman akan kepintaran Yuli. Usianya
menyatakan kematangannya, kedewasaannya, dan kesiapannya untuk membina bahtera
rumah tangga.
Yuli menyembunyikan malunya dalam-dalam.
Dia memasang muka tegar, sekali lagi, pantang terlihat bodoh dan lemah. Dia mencoba
mengontrol emosinya yang ibarat gunung meletus siap menghamburkan lava
panasnya. Harap-harap cemas ni yee ^0^.
Dia memaksa Senyum, menggambarkan kerelaannya atas apapun itu yang diucapkan
Sigit. Please jangan melihatku seperti
itu! tidakkah kau tahu, aku sudah sangat meleleh, batin Yuli bergema.
“Baiklah. Ini adalah pilihan yang sulit
dalam hidupku, sangat sulit, tapi ana sudah menetapkan keputusan. Ukhti Yuli
Evanti, bersediakah anti?!” ujar Sigit lantang, sungguh tidak ada keragu-raguan
pada mimiknya.
Yuli Evanti membetot, kini menitikkan
air mata, terisak. Dia sudah tidak sanggup untuk bersandiwara lagi di hadapan
Sigit dan pak Salihuddin. Dia mengangguk pasrah, ikhlas atas vonis terakhir
Sigit.
***
Sigi merentangkan kedua lengannya,
meregangkan badannya yang kilu. Sedari keluar dari rumah sakit dua hari yang
lalu, dia belum diperbolehkan beraktivitas. Kerjaannya, tidur dan tidur di
kasur yang sudah beberapa minggu ini ditinggalkannya. Suasana yang menjenuhkan.
Di rabu pagi ini juga begitu, Sigi belum bisa kemana-mana, ke kampus, kumpul
dengan teman organisasinya, dan yang paling dinanti-nanti, bergabung dengan
lingkaran kajian. Masa istirahatnya
terus berlanjut sebelum dokter Fahri menyatakan sembuh total.
Dia melirik meja samping, ada buket
bunga mawar yang sekarang menghitam kering di pot warna putih dan sebingkai
kartu nama atas nama Sigit. Sigi manyun memandangi dua benda yang paling
berharga itu. Pembicaraannya dengan Kinan kemarin malam terngiang jelas
dikepalanya, “Jaga Iffah dan Izzahmu.
Gengsi dong, perempuan yang menelopn laki-laki!!” tukas Kinan. Malam itu, Sigi
beradu argumen dengan Kinan. Ilmunya yang sedangkal selokan menguji kepahaman
Kinan yang sudah sedalam kali.
“Lalu, bagaimana dengan Siti Khadijah
yang melamar Rasullulah. Bukankah memalukan seorang perempuan menawarkan
dirinya untuk dinikahi?” protes Sigi. Dia membela diri dengan fakta yang tak
mungkin terbantahkan.
“Bukan masalah perempuan menunjuk
laki-laki yang ingin dijadikan suami. Nah, sekarang lihat konteksnya. Kalau
memang perempuan itu sudah mantap untuk menikah, boleh-boleh saja. Tapi kamu,
mau nikah enggak sama Sigit?! jika untuk main-main apalagi buat pacaran, itu
salah besar!!” terang Kinan serius kalau membahas tentang fiqih.
“Dan juga ada aturan-aturan syar’i-nya.
Bukan sembarang nyebut dan nunjuk siapa orangnya. Sekarang, saya mau perjelas
statusmu, sudah siap menikah? Ya atau tidak !? Kalau memang ya, saya siap
menjadi jalurmu!” usul Kinan.
“Memang saya busway, pakai jalur khusus
segala!” solot Sigi. Sigi terkesiap, menyadari persoalaan ini sungguh rumit
dari yang diduga. Dia merenungi setiap kata Kinan tadi. Betapa syariat islam
itu mudah tapi sulit untuk dijalankan. Menikah itu gampang, tapi itu butuh
mental baja untuk mengarungi bahteranya.
“Ingat!, Sigit itu seorang ikhwan. So pasti, dia juga tidak sembarangan
dalam berhubungan dengan lawan jenis.” Seloroh Kinan. Skak mat, Kinan memukul telak Sigi. Dia merasa menang mampu membuat
Sigi berpikir lagi untuk menjalin komunikasi dengan Sigit. inilah
jurus-jurusnya untuk menghindarkan Sigi supaya tidak terlampau jauh
mengharapkan Sigit.
Hati
tidak ada yang bisa menebak. Mungkin sekarang bilang “ya” tapi siapa yang sangka
besok akan bilang “tidak” ^0^
Sigi mendengus, “Siapkah aku untuk
menikah?” tanyanya pada diri sendiri, masih menatap benda-benda pemberian
Sigit.
“Tok... Tok... Tok... Gi, boleh saya masuk?”
pekik Kinan di luar kamar.
“Masuk...!” teriak Sigi, tetap dalam
posisi duduknya di atas kasur.
Kinan membuka pintu itu dengan nampan
penuh sarapan ditangannya. Lemparan senyum Kinan menyertai kehadirannya.
“Saatnya sarapan, tuan puteri...” Kinan
menaruh semangkuk bubur ayam dan segelas susu didekat Sigi. Dia memperhatikan
Sigi yang sendu tidak bergairah menoleh padanya.
“Masih memikirkan diskusi yang semalam,
ya?” tebak Kinan, seolah bisa membaca isi pikiran karibnya itu.
“Sudah dipikirkan baik-baik?” goda Kinan,
menyenggol-nyenggol lengan Sigi.
Sigi tidak menggubris, dia mengaduk-aduk
kesal buburnya, tak berminat untuk memakannya barang sesendok. Seleranya sudah
ditelan habis oleh pertanyaan-pertanyaan Kinan yang membuatnya puyeng.
“Cepat buat keputusan. Nanti keburu
Sigit diambil orang, lho!!” Kinan malah semakin asyik manas-manasin Sigi.
Sigi kian geram dibuatnya. Dia melototin
Kinan yang cekikian dan memaksanya untuk melahap sesendok full bubur ayam yang
sudah dia sodorkan didepan mulut Kinan. Bukannya menggubris Sigi, Kinan malah
melenggang keluar dari kamar Sigi.
Kinan...
Kinan... Ada-ada saja kamu ini ^0^
***
Dua bulan kemudian...
Sigit turun dari mobil, hebohnya diikuti
oleh Yuli yang memegang tangan Andien, menuntunnya berjalan. Layaknya sketsa
keluarga harmonis, mereka bertiga menapaki gembira balok-balok paping yang
berjejer rapi menuju pintu utama masjid. Kalau kalian mengira ini adalah masjid
raya bogor, tebakanmu benar. Tempat inilah saksi bisu antara Sigit dan Sigi.
Bagai menapak tilas kisah hidupnya beberapa bulan lalu, Sigit menyempatkan diri
mampir di rumah Allah itu.
Azan zuhur berkumandang, mengalun indah.
Wuduhnya yang selalu terjaga, Sigit segera mengambil shaf pertama sholat
berjamaah khusus kaum pria. Dia terduduk sebentar menunggu lantunan perintah
sholat itu selesai. Sedangkan Yuli dan Andien bersiap dengan mukenanya di shaf
terakhir dibalik tirai pembatas.
Iqomat
menyambut. Semua jamaah berdiri, berjejer lurus tak bercelah. Mereka semua siap
akan menunaikan sholat empat rakaat di siang hari itu.
“Tafadhol,
ustadz!” Muaddzin tadi
mempersilakan Sigit menjadi pemimpin ustadz. Tanpa sungkan Sigit maju menuju
mimbar masjid akan mengimami.
Sholat dimulai, berlangsung khidmat di
masjid yang besar nan megah dengan jamaah yang cukup dihitung dengan jari.
Selesai sholat dan berdzikir, mereka saling bersalam-salaman.
“Ustadz Sigit?!” tegur seseorang saat Sigit
akan bersalaman dengannya. Sigit tersenyum, memicingkan matanya, mengerutkan kening
berusaha mengingat sosok yang mungkin pernah bersua dengannya.
“Saya Amir, ustadz. Marbot masjid ini,
ingat?” seloroh Amir, memasuki ruang memori Sigit.
“Asstagfirullah,
Mas Amir! Maaf, mas, tidak mengenali tadi,” gubris Sigit, dia memeluk Amir.
Ala-ala
bromance lee jong suk dan kim woo bin gitu.. hehehe ^0^.
“Senang bisa melihat ustadz lagi. Dalam
rangka apa ustadz kembali ke Bogor?” Amir basa basi dengan Sigit. Dia begitu
senang bertemu lagi dengan Sigit.
“Adik saya harus check up di rumah sakit
Harapan Bangsa, Mir. Itu dia!” Sigit menunjuk Andien yang digendong Yuli,
mendekat ke posisi mereka.
“Ustadz bawa isteri juga?!” Amir
tersenyum ke arah Yuli. Yuli tersenyum menyapa,
menundukkan kepalanya sedikit pada Amir.
“Wahhh... Saya kira ustadz akan menikah
dengan akhwat yang dulu ustadz tolong di masjid ini.” cerocos Amir tidak
mempertimbangkan keberadaan Yuli disana. Sigit hanya tersenyum mendengar Amir
berbicara ceplas ceplos, tidak mengiyakan, juga tidak mangkir. Yuli canggung
menyikapi kata-kata Amir.
“Trillilit....Trillillit...” ponsel Amir
berdengung. Dia cepat merogoh dan menjawab panggilan itu, “Assalamu’laikum, mbak...
ya, saya segera kesana.” Amir menutup teleponnya.
“Maaf, ustadz. Saya ada janji. Mbak yang
dulu ustadz tolong itu datang mengambil motornya yang dia titip dulu. Sekarang
baru sempat diambil. Saya permisi dulu, Assalamu’alaikum...” Amir berlalu meninggalkan
Sigit, Yuli, dan Andien.
Sigit terhentak. Dia berlari mengikuti
Amir. Dia sangat yakin, mbak yang disebutkan Amir adalah Sigi.
Yuli terpaku melihat kepergian Sigit,
dia mentertawakan dirinya sendiri, menguak kembali proses dua bulan lalu di
pagi hari rabu.
“Baiklah.
Ini adalah pilihan yang sulit dalam hidupku, sangat sulit, tapi ana sudah
menetapkan keputusan. Ukhti Yuli Evanti, bersediakah anti?!” ujar Sigit
lantang, sungguh tidak ada keragu-raguan pada mimiknya.
Yuli
terdiam, tidak menjawab entah itu adalah pertanyaan atau pernyataan yang masih
akan berlanjut.
“Bersediakah
anti memaafkan ana. Afwan ana tidak bisa melanjutkan proses ini ke jenjang
berikutnya. Ana menolak bukan karena ana tidak suka, justru ana-lah yang tidak
pantas untuk menjadi suami anti” lanjut Sigit.
Dubrakkk...
bagai petir di pagi buta menghantam raga Yuli. Dia masih terdiam, diamnya kali
ini untuk mengatur emosinya , untuk merangkai kata perpisahan yang pas untuk
mengakhiri ta’aruf yang melelahkan itu.
“Ana
menghargai putusan antum. Ya, ana sependapat, antum mungkin tidak pantas untuk
ana. Semoga antum mendapatkan seseorang yang pantas menurut antum dan
mudah-mudahan pantas juga menurut Allah.” Lirih Yuli.
Yuli
Evanti membetot, kini menitikkan air mata, terisak. Dia sudah tidak sanggup
untuk bersandiwara lagi di hadapan Sigit dan pak Salihuddin. Dia mengangguk
pasrah, ikhlas atas vonis terakhir Sigit.
**
Amir mengeluarkan motor bebek itu dari garasi
masjid. Kurang lebih tiga bulan boncengan itu terlelap di sana. Sigi
mengelus-elus tunggangannya yang paling setia itu, “Maafkan aku, baru bisa
menjemputmu sekarang.” Dia ngomong sendiri seolah motornya mendengarkan. Gayanya
yang aneh itu membuat Kinan dan Amir terbahak-bahak.
“Monggo di bawa pulang, mbak.” Ucap Amir
masih geli dengan tingkah Sigi.
“Terima kasih, mas Amir sudah menjaga
dan merawat motorku. Maaf, cuma ini yang bisa kami beri,” Sigi mengeluarkan
amplop pertanda terima kasih.
“Tidak usah, mbak. Saya ikhlas sepenuh
jiwa dan raga.” Amir menolak uang pemberian Sigi.
Kinan merebut amplop itu dari tangan
Sigi, “Ini hak mas Amir, tolong diterima, ya...” ngotot Kinan memberikannya kepada Amir.
Amir dengan malu-malu akhirnya mengambil
amplop itu. Kinan bernapas lega melihat amplop itu sudah berpindah tangan.
“Oya, mbak, di dalam saya bertemu dengan
ustadz Sigit, yang menolong mbak dulu saat mbak pingsan di kamar mandi.” Amir
lagi-lagi nyelonong saja ngomongnya.
“Apa? Ustadz Sigit?!” Kinan tersentak,
tumben-tumbennya dia terbelalak mendengar nama Sigit. Dia mengerling ke Sigi
yang sangat-sangat tertegun. Sigi menatap sayu ke depan seraya menyunggingkan
senyum kecil.
Ya, Sigit lagi-lagi mendadak membuntang
dihadapannya. Dia berdiri dengan gagahnya seakan menyiratkan akulah pemeran
utamanya. Dia melangkah mendekati posisi Sigi, bak model yang melintas di catwalk yang menjadi pusat perhatian Sigi,
Kinan, dan Amir. Sontak situasi berubah kagok. Kinan merempet ke samping Amir
menempatkan diri menjadi penonton dan membiarkan Sigi menjadi pusat lampu
pertunjukan.
Sigit berhenti, tepat dua meter jarak
antara dia dan Sigi. Dia mematung, air matanya merembes. Sigit menangis, merasa
sangat berterima kasih kepada Allah. Taruhan yang dia buat dengan-Nya, berani
melepaskan Yuli Evanti yang terbilang ideal menjadi ibu dari anak-anaknya, demi
menanti hari dimana dia akan bersemuka dengan Sigi, gadis yang siapa dia Sigit-pun
masih meraba. Namun hatinya sudah terlalu kuat terpaut pada dirinya.
“Inilah saatnya!!” Sigit histeris dalam
relungnya. Dia mengatur irama napasnya untuk menghilangkakn kikuk yang
menyergap.
“Sigi...” suara Sigit bergetar. Dia
menguatkan genggaman tangannya, mengais keberanian untuk kata-kata selanjutnya.
“Abang...” tiba-tiba Andien berteriak
memanggil Sigit, dia masih digendong Yuli yang berjalan mendatangi mereka. Andien
meminta didekap abangnya, Sigit mengambil Andien dari rengkuhan Yuli.
Sigi mengamati Yuli yang sangat akrab
dengan Andien dan Sigit. Merasa diperhatikan, Yuli angkat bicara, “ohh... Anti
yang namanya Sigi. Perkenalkan saya Yuli.”
“Anti tahu ana?” tanya Sigi yang
identitasnya diketahui oleh orang yang baru pertama kali ditemuinya itu.
“Sigi banyak cerita tentang anti. Waaahhh...
ana sekarang benar-benar merasa dicampakkan.” Sungut Yuli bernada santai.
“Maksud anti?” timpal Sigi yang buntu
tentang pembicaraan perempuan dewasa didepannya itu. Kinan dan Amir
melongo-longo dengan percakapan itu.
“Sigit, cepat lamar dia! Berapa lama
lagi antum akan menunggunya?! Tidak bisa menjadi isterimu, setidaknya ana bisa
jadi saksi antara kalian berdua.” Solot Yuli tidak ingin lagi memperpanjang
kisah Sigit yang menanti Sigi.
“Tidak...” ucap Sigi lemah. Dia mengalihkan
matanya ke arah Sigit.
“Aku... Aku... tidak ingin dilamar ...”
suara Sigi menggegar.
“Tapi, biarkanlah aku meniru Siti
Khadijah detik ini, biarkan aku yang datang menjemputmu.”
“Sigit Pratama, bersediakah antum
menjadi imamku?” Sigi berkaca-kaca. Dia mulai linglung. Kinan segera menopang
tubuh sahabatnya itu. Ada kebanggan tersendiri, hari ini dia mendapati Sigi
begitu berani mengungkap semua yang ada di hati dan pikirannya. Kini, Sigi
adalah Sigi yang siap mengambil keputusan untuk hidupnya.
“Aku bersedia!” jawab Sigit. Air matanya
tumpah tak terbendung, tidak mampu berkata-kata lagi. Otaknya blank tak bisa berpikir. Dia hanya
memandang Sigi yang tiada henti memandangnya juga.
So
sweet...^0^
Aku
malu membaca tulisanku sendiri ^0^
Yuli ikut terharu, begitupun Kinan dan
Andien tersentuh dengan adegan di depan mata. Amir yang tidak paham dengan apa
yang terjadi ikut termehek-mehek dibuatnya.
“walau
digenggam kuat, andai ia bukan milik
kita, ia terlepas jua. Walau ditolak ke tepi, andai ia untuk kita, ia mendatang
jua, itulah namanya jodoh.”
“jika
kamu memang jodohku, kemanapun kamu melangkah pasti kamu akan kembali
kepadaku.”
***
Sigit : saat kamu pingsan dulu, entah apa yang merasuk dalam tubuhku. Tanpa berpikir panjang, aku membopong tubuhmu yang lemas dan berdarah. itu pertama kalinya aku menyentuh perempuan yang bukan mahramku. Aku sangat khawatir tentang dirimu. Bagaimana keadaanmu? lagi dimana dan sedang apa?. otakku penuh dengan dirimu. padahal itu pertama kali aku bertemu denganmu. inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?
Sigi : Kinan membujukku ke acara ODOJ itu. katanya ada ustadz ganteng sebagai pengisi acaranya. kinan bukan tipe perempuan yang sembarangan bicara. aku penasaran, seberapa cakep ustadz itu. akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke Masjid Raya. dan benar, Kinan tidak berbohong. ustadz itu memang tampan. bukan hanya fisiknya tetapi juga hatinya.
Sigit : Itulah Jodoh!
-the end-
Note.
Terima kasih untuk pembaca setia cerbung
ini,,,
Dan maaf atas segala kekurangannya,,,^0^
Terimakasih untuk kerispatih...
“Tertatih” satu lagu yang selalu aku
putar saat tulisan ini tercipta...
Jemariku bergerak-gerak di keyboard saat
lagu ini bergema...^0^
Terimakasih untuk Shin Young Jae...
lantunan "Belive" mampu menggerakkan otakku berpikir di malam-malam buta untuk melanjutkan tulisan ini ^0^
dan...
Terimakasih Jung Joon Young (guri-guri)...
"Because I Love You" suara rock-mu selalu menemaniku saat menulis...^0^
~^0^~
Menulis tidak semudah membaca...
Menulis tidak segampang menggambar...
Tapi saya yakin semua orang bisa
menulis...
Mari menulis...
Jangan berhenti menulis...
Meski sampai detik ini...
Karyamu masih tertata rapi dalam
folder...
Meski sampai hari ini...
Kalian belum memenangkan satu
kompetisi-pun...