Kamis, 29 Agustus 2013

Lisensi mengemudi_Qu

Diposting oleh mongyimongyi di 11.11 6 komentar
Alhamdullilah,,,,akhirnya aku memilikimu sekarang. Bersama denganmu,  selalu membuat perjalananku semakin nyaman dan tenang. tidak ada istilah jalan tikus maupun  kerisauan akan berjumpa dengan para serdadu jalanan.

mengenang masa-masa sulitku dulu. setidaknya hampir dua tahun aku menaiki kuda bermesin, secara tidak langsung berstatus tersangka pelanggar lalu lintas. lisensi mengemudi belum jua di buat. bukan karena tidak punya uang atau tidak lulus tes, namun lebih kepada rumitnya sistem birokrasi di Indonesia yang terlampau rumit membuatku malas mengurusnya.

syukur,  sampai sekarang belum pernah di tilang. suatu hari, ketika di perjalanan menuju ke LAB. ada razia besar-besaran, intensif di lakukan tiap hari, tapi dewi portuna masih berpihak kepadaku, tidak ada angin dan hujan, polisi itu membiarkan saya lolos tanpa sepeser uang melayang ke kantong mereka. kenal juga tidak, tapi mungkin kasihan melihat wajahku yang mengiba "pak polisi tolong jangan tangkap aku. uang di dompetku tinggal 10 ribu buat makan dua hari" rengekku dalam hati.
"karena saya baik, saya kasih lewat dah mbk,," ucap polisi itu jumawa. seolah bisa membaca pikiranku.
"alhamdullilah,,,"batinku.
 Sejak peristiwa itu, aku melatih mata dan firasatku tentang polisi, razia, rompi hijau, dan kumpulan motor yang nongkrong di pinggir jalan. serta tidak kalah penting, pencarian jalan pintas yang tak terlintasi oleh polisi. dan sejauh ini berhasil,,pengamatan yang tidak sia-sia.

terkadang, aku malu dengan diriku sendiri, lisensi itu belum juga menghampiri. aku  memvonis diri adalah warga negara yang tidak taat aturan. ibarat seperti maling, ada polisi melarikan diri.

tepat, liburan habis Idul Fitri. bapakku berkata "wahai anak-anakku mari kita ke polsek selong buat SIM (baca : Surat Ijin Mengemudi) bukan Surat Ijin Menikah ya,,,LOL. tanpa pikir panjang langsung meluncur maklum gratis pake uang bapak,LOL. aku, adik cowokku dan adik cewekku sama-sama belum punya SIM walau sudah malang melintang di jalanan lotim-mataram.

hari pertama, gagal total. di POLSEK bejibun orang antri. panjangggggggggg benar barisan itu. entah itu mau perpanjang SIM atau mau buat yang baru seperti aku dan kedua adikku. walhasil, pulang  dengan tangan hampa. hari kedua, kembali nongkrong dengan para polisi yang berbagai jenis rupa, ada yang tampang lumyan badan bak model, perut buncit dan berkumis, dan ada yang biasa-biasa saja layaknya manusia.berjam-jam menunggu untuk di foto, datang setengah 9, dapatnya jam 11 siang. hasilnya, Alhamdullilah,,,SIM perdanaku jadi. bahagianya diriku ini...serasa ketiban jus durian,,,nyam,,nyam,,nyam.,,segarrrrrrr!.

SIM-Qu
bersusah payah aku mendapatkanmu. berkorban uang, waktu, jiwa dan raga,,lebayyyyy..akhirnya kau didekapanku sekarang. aku sadar, tidak mendapatkanmu dengan cara benar sesuai aturan,,maksudnya,,hem,,hem,,,"tanpa tes" tapi bapakku rela mengeluarkan budget yang lebih sedikit supaya kau cepat jadi. karena seperti kata Adikku " sampai ribuan kali ikut tes,,,InsyaAllah tidak akan lulus dan dapat SIM. orang yang sudah mahir motor aja gak lulus-lulus. kalau tes tulis OK lah lulus, tapi tes praktiknya itu yang sulitnya gak ketulunga". kalau mau lihat lintasan tes sepeda motor datang aja ke kantor polisinya langsung.

sekarang, aku sudah tidak jadi bahan olokan lagi di kos. kakak kosku selalu bilang " eh,,yiq, kalah sama orang yang belum bisa naik motor. itu lihat kak Y, sudah punya SIM walau belum fasih naik motor" gubrak pukulan telak ini. gak terima gue,,,

Cap semu pelanggar lalu lintas sedikit memudar walau tidak hilang sama sekali. karena aku cukup sering tabrak lampu merah,,,,,LOL.


mataram, agustus 2013
terima kasih buat bapakku yang rela berkorban untuk anak-anaknya


Rabu, 21 Agustus 2013

Maaf,,,Parman!!

Diposting oleh mongyimongyi di 08.38 8 komentar


camera seolchan
“maaf ,,saya akan pulang terlambat!”.
Sanni membanting HP-nya dan menjatuhkan diri  dikasurnya yang mewah.
“siapa dia,,,berani sekali menolak permintaanku” katanya sinis.
“lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan kalau dia balik ke rumah ini” ancamnya.
***
Parman namanya,  dulu dia adalah seseorang bersahaja yang kini tersulap menjadi sosok insan yang sederhana. Seuntai rahasia telah membawanya ke keluarga Sanni, demi menetap di rumah itu Ia rela bekerja sebagai supir sekaligus bodyguard gadis manja itu. Namun kerap kali Sanni memaksanya untuk sekedar berperan sebagai seorang kakak yang pengertian bahkan di kondisi tak terduga Parman harus siap menjadi kekasih palsu sang majikan. Wajahnya yang lumayan dengan tinggi badan yang menjulang bak seorang model sangat cocok untuk dijadikan kekasih kebanggaan, terkadang Sanni membawanya ke sejumlah pesta mewah untuk dipamerkan, dan Parman harus bersabar untuk sebuah tujuan, Pencarian yang panjang selama lima belas tahun untuk secarcik wasiat sang Ayah tercinta.
***
Tengah malam sekitar pukul dua belas lewat Parman tiba di rumah. Motor Skuter tua yang ia tumpangi di geret-geret memasuki gerbang rumah. Skuter itu harus sudah dimatikan lima meter sebelum sampai di depan gerbang, kalau tidak ia lakukan maka tidak tanggung-tanggung Sanni langsung menyemprotnya dengan omelan-omelan pedas bergaya sarkasme, maklum suara skuter kesayangan Parman itu khas bagai mesin asap pembunuh nyamuk, Ributtttttt,,,gak ketulungan,,,.
“eh,,,mas Parman,,tumben pulang larut” ucap bik Inah basa-basi sembari membukakan pintu rumah.
“Sanni belum tidur bik?” Tanya Parman gelisah sambil tetap berdiri di depan pintu.
“kurang tahu mas Parman,,,tapi tadi saya mendengar non Sanni membanting sesuatu di kamarnya. Bibik nggak berani masuk,,,takutnya nanti bibik yang kena marah. Ada masalah apa toh ?” nada bik Inah selayaknya ibu-ibu yang sedang bergosip.
“nggak ada bik,,,terimakasih ,,,ya” ujar Parman sopan dan berlalu menuju kamarnya di belakang. Terlihat kelesuan di gurat mukanya yang semakin tirus.
Parman merebahkan badan, memejamkan matanya walau tidak tertidur. Memori masa lalu kembali dalam ingatan. “Ketika keluarganya dulu hidup bahagia berkecukupan. Keluarga yang terdiri dari Ayah dan Bunda, dia beserta adiknya yang sedang bertamsya di sebuah taman kota di kawasan Jakarta Pusat. Ya,,,waktu itu liburan sekolah, Parman merengek-rengek untuk pergi berlibur, tidak perlu jauh ke luar negeri, di sekitar Jakarta saja tidak apa-apa pintanya. Parman yang berumur tujuh tahun berjingkrak gembira ketika Ayah dan Bundanya setuju untuk pergi, dan adiknya yang sebulan lagi genap akan berumur satu tahun hanya bisa berteriak teriak tidak karuan melihat kakaknya yang bagai kuda liar berlarian bebas di ruang keluarga. Sungguh bahagia masa itu”. Parman tersenyum kecut, air mata merebak di pipinya. Dia membuka mata sembari punggung tangannya sibuk menghapus air ajaib itu. Parman selalu menyebutnya air ajaib karena air mata itu tidak hanya keluar ketika orang bersedih tetapi anehnya air mata itu juga bisa jatuh di saat orang berbahagia.
“kenapa kamu menangis?” pak Yus teman sekamar Parman ternyata memperhatikan sedari tadi, masih dengan tatapan bingung membuat Parman menyeruak langsung duduk dari posisi tidurnya.
“memori yang sangat indah dan,,,,” Parman menghentikan kata-katanya.
“ceritakanlah Parman,,,memori indah yang membuatmu terharu sampai air matamu menetes. . Karena isakanmu di tengah malam ini membuatku terbangun dan merinding. Bagilah kebahagiaan itu kepada teman sekamarmu ini walau sedikit” desak pak Yus dengan gurauan  garingnya sambil nyengir mengusap-usap lengan yang sudah dipenuhi bulu roma yang berdiri.
“perhatian banget. Terima kasih, sini aku peluk,,,” alih-alih menanggapi permintaan pak Yus malah Parman mendekatkan tangannya dengan gaya tubuh menggoda, membuat pak Yus geli-geli sendiri dan segera pergi menjauh. Namun Parman tidak puas  melihat kegelian pak Yus, Ia pun mulai mengejar-ngejar pak Yus yang berusaha menghindar, membuat suara gaduh dibumbui tawa tertahan Parman yang menikmati ekspresi rishi pak Yus.
***
pagi harinya,,,,,,
“saya minta maaf karena tadi malam tidak bisa pulang cepat,,” sapa Parman seusai salam, masih dengan posisi badan agak dibungkukkan.
“kamu dipecat,,,! Mulai hari ini silahkan pergi dari rumah ini!” dengan nada cuek tanpa menatap Parman, Sanni  beranjak meninggalkan meja makan.
Tidak terima, Parman langsung menyergap tangan Sanni, membuat gadis berumur tujuh belas tahun itu marah dengan muka merah padam dan mata nanar melototi Parman.
“lepaskan! Lepaskan!” Sanni meronta berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Parman, tapi semakin kuat juga Parman mempertahankan genggamannya bahkan Parman lebih terlihat marah lagi kepada Sanni.
“San,,,tolong,,tolong,,,!” suara Parman melemah. Air mata itu kembali meleleh di pipinya.
“ini saya,,,,Abangmu” isak Parman lirih dalam hati.
Cengkraman Parman mengendur, perlahan dia melepas tangan Sanni yang sudah memerah. Dia menunduk ingin menutupi air matanya yang sudah terlanjur keluar.  Sanni terdiam bengong bagai terhipnotis, untuk pertama kalinya dia melihat Parman seperti itu, menangis seolah memohon di depannya. Entah kenapa hatinya ikut perih melihat air mata Parman. Dadanya terasa sesak seperti lahar yang tidak sabar menyembur dari perut gunung, hatinya terkoyak bagai tertusuk ribuan duri.
“Mengapa rasanya sakit?“ Dia meremas-remas dadanya, berbalik  meninggalkan Parman. Langkahnya gontai antara berbalik atau tidak. Dia berpikir mencabut kembali kata-katanya tadi namun gengsinya terlampau besar untuk disingkirkan. Pantang menjilat ludah sendiri, apalagi ini untuk seorang Parman yang hanya berstatus pembantu, tidak ada artinya.
***
Pemandangan yang masih asing bagi Parman. Jeruji besi dan tembok tanpa jendela berdiri tegap laksana prajurit Negara, mendekapnya dalam kesendirian. Pakaian khas penghuni lapas menempel ketat bak benalu. Resmi berstatus tersangka dengan nomor dada 273 demi sebuah pengorbanan. Habis di pecat, bui menunggunya.
Parman termangu menopang dagunya di atas lutut, melingkari lengan di betisnya yang ditekuk. Sudah tiga hari dia di dalam sel, masih dengan penyesalan meninggalkan adiknya sendirian lagi. Sanni, Sannia Arumi, nama indah pemberian ibu.
“Ibu,,,Ayah,,,Adik Parman sudah ketemu. Dia tumbuh remaja sekarang. Dia cantik, manja, walau terkadang dia sangat keras. Tapi saya maklumi sikapnya seperti itu, karena tidak ada Ibu, Ayah dan saya yang membimbingnya. Dia di adopsi oleh orang kaya, jadi Ibu dan Ayah tidak perlu khawatir lagi di alam sana, karena Dia hidup serba berkelebihan. Maafkan anakmu ini, tidak bisa menjadi Abang yang baik buat Sanni. Setelah lima belas tahun saya mencari keberadaannya, saya menemukannya. Tapi dia tidak mengenali saya. Mungkin karena dulu ketika berpisah usianya masih terlalu dini sehingga tidak ada memori tentang kita. Tidak apa-apa dia tidak mengingat kehidupannya yang dulu, dengan bisa berada di dekatnya sekarang saya sudah terlampau senang, bisa menjaganya, menghantarnya ke mana-mana tiap hari. Namun Sekarang,,saya kehilangan dia kembali, sangat menyakitkan. Suatu hari, saya mengabaikan permintaannya yang membuat dia marah besar, saya di usir dari rumah itu. saya tidak bisa berbuat sesuatu untuk bertahan di sana, karena secara bersamaan saya sudah berjanji pada polisi untuk menyerahkan diri. Inilah tempat saya sekarang, penjara,,bukan di sisi Sanni lagi. Pengorbananku untuk adikku walau tidak seberapa. Ibu,,Ayah,,,sekali lagi maafkan anakmu ini, tidak bisa menjalankan wasiatmu untuk tetap menjaga Sanni,,maafkan saya,,,maafkan saya,,,maafkan saya” Parman menangis dalam kesunyiannya. Air mata itu menjadi sangat akrab dengan Parman. Semenjak kejadian lima belas tahun silam, air ajaib itu urung pergi meninggalkannya.
***
Lima belas tahun silam,,,,
Pagi yang indah. Cuaca cerah menyambut, burung-burung bernyanyi dan menari bergembira. Semilir angin sejuk menyapa lembut kedatangan kami. Suara deru air terjun jatuh mengalun dan tenggelem tenang bersama aliran air.  Lambaian dedaun pohon palem seolah berkata “hai,,,selamat datang di taman kota” dan semerbak harum bunga kenanga dan melati  berlomba-lomba menghampiri kami. Hijauan rumput taman berteriak-teriak memanggil untuk diduduki.
Sanni duduk manja di dekapan Ayah. Tangan mungilnya sibuk berkutat dengan boneka pandanya. Boneka itu kami juluki POO,,ketika dia mendengar kami memanggil nama itu, adik kecil seketika jingkrak-jingkar meremas, memeluk dan mencium POO. Sesekali berteriak-teriak gemas khas bahasa bayi yang sulit dimengerti. Dan ajaibnya Ibuku selalu tahu makna suara dan ekspresi yang dilontarkan Sanni. Apapun itu, ketika Sanni lapar sampai ingin Buang Air Besar, dengan merekahkan hidungnya yang pesek, matanya mulai merah dan berair pertanda Sanni akan BAB, Ibuku langsung paham.
“Man,,,jangan main jauh-jauh ya,,!” teriak Ibu yang sibuk menyiapkan cemilan. selalu dengan panggilan akrab.
Parman manggut-manggut, usianya yang tujuh tahun menganggap teriakan ibu angin lalu. Dia kembali asyik dengan bola kaki hadiah ulang tahunnya.
Taman kota sungguh ramai, menambah semangat Parman untuk mencari teman bermain sepak bola bersama. Ayah ikut nimbrung dengan Parman, menambah keceriaan dalam diri Parman. Moment yang sangat jarang ia lalui bersama ayahnya yang sangat sibuk dengan setumpuk pekerjaannya.
Tidak terasa pukul sebelas, matahari mulai menunjukkan taringnya, merangkak semakin tinggi. Panasnya mulai menusuk kulit, sinarnya yang tidak bersahabat membuat kami segera menghentikan liburan ini. Sangat berbeda dengan suasana tadi pagi yang berdamai, saat siang , bumi bagai panggangan  super besar dampak dari global warming.
“bumi sudah tua, makanya cuaca cepat berubah” jelas ayah kepada Parman seraya kedua tangannya asyik menyetir.
Parman cemberut, mendekap kedua tangannya, marah karena belum puas bermain.
“ayolah jagoan,,,tersenyumlah, masih ada minggu depan. Itu lihat adikmu, dia tampak begitu ceria” bujuk Ayah yang juga memalingkan pandangannya sejenak ke belakang tempat Ibu dan Sanni duduk.
Tiba-tiba “Darrrrrr,,,,,,,” Sebuah truck besar menabrak mobil Parman dari belakang. Seolah waktu berhenti sejenak. Semuanya berubah menjadi gelap, tidak ada kehidupan. Parman tersadar, dia merintih kesakitan. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terjepit. Pandangan matanya terhalang darah segar yang masih terus mengalir. Secarcik sinar siang menyelinap masuk melalui celah mobil yang terbalik. Tangannya meraba-raba mencari sosok ayah yang tadi duduk disampingnya.
“Ayah,,,Ibu,,,Adik,,,” suaranya lirih pelan hampir tenggelam dalam keributan. Tangisannya sepi tak terdengar. Pita suaranya seakan terpotong. Dia menoleh keluar jendela mobil namun hanya kaki-kaki beralas yang sibuk ngeloyor lalu lalang. Kemudian gelap menyambutnya kembali dan kesunyian menemaninya. Parman pingsan.
***
“parman,,,cepat buatkan aku susu panas!” teriak Sanni dari kamarnya, selalu ia lakukan setiap malam walau Parman sudah hampir seminggu tidak ada di rumah itu. dulu, terkadang Parman membuatkan susu panas untuknya.
“maaf Non,,,Parman sudah tidak di sini lagi. Bibik saja yang buatin susu panasnya ya Non,,,” kata Bik Inah dari balik pintu kamar Sanni menawarkan.
“hiks,,,hiks,,,hiks,,,” Sanni mulai menangis, bantal yang dia tutupkan ke wajahnya tidak mampu meredam suara tangisannya yang semakin membesar. Entah apa yang terjadi pada diri Sanni, dia begitu merindukan Parman, bukan setiap hari tapi setiap detik. Bagai ada kontak batin, dia masih merasakan sakit yang lebih melebihi ketika dia mengusir Parman.
“air mata itu,,,ada apa dengan air mata itu?” usiknya dalam hati. Sanni kembali meraba-raba dadanya yang bagai di sayat sembilu. Nelangsa sendiri.
Ingin sekali Sanni mencari sendiri keberadaan Parman atau mungkin menyuruh pak Yus dan Bik Inah menyebarkan selebaran orang hilang, tapi tidak pernah ada dalam kamus Sanni untuk menarik kata-katanya sendiri, dan mungkin tidak akan pernah ada.
Di dapur mengendap-endap pak Yus dan menepuk bahu Bik Inah yang bingung mendengar suara tangisan Sanni yang mengisi seluruh sudut rumah.
“apa sebaiknya kita cari Parman,,mas?, Non Sanni akhir-akhir ini selalu memanggil Parman dan menangis”  suara bik Inah penuh kekhawatiran.
“mungkin dia merasa bersalah mbok,,” cibir pak Yus, tidak peduli dengan majikannya.
“jangan begitu toh mas,,,Non Sanni kan majikan kita” .
“siapa suruh dia memecat Parman. Sekarang dia sadar sendiri betapa pentingnya seorang Parman. Lagipula dunia ini tidak selebar daun kelor,,,mbok. Dimana kita akan mencari satu manusia di antara milyaran manusia yang ada” gerutu Pak Yus, masih dengan muka sewot.
“bagaimana kalau kita lapor ke polisi saja,,,” ide Bik Inah. Pak Yus bersiul-siul sengaja tidak mendengarkan ide bik Inah.
“pokoknya,,,mas Yus besok temenin aku ke kantor polisi!” paksa bik Inah dan meninggalkan pak Yus sendiri di dapur.
 “ada apa dengan Parman sampai-sampai Non Sanni bersikap seperti itu?” Tanya pak Yus  pada diri sendiri, penasaran.
***
Esok hari,,,
“ada yang bisa di bantu pak,,buk,,?” sapa ramah seorang polisi dihiasi senyum.
“begini pak polisi,,,saya mau mencari orang hilang” lapor pak Yus terbata-bata, baru kali ini dia berhadapan langsung dengan polisi, membuatnya panas dingin pucat, takut. Bik Inah malah sembunyi di balik punggung kurus pak Yus.
“fotonya?” lanjut pak polisi.
Pak Yus menyerahkan foto Parman berukuran 4 x 3, foto yang Pak Yus minta sebagai kenang-kenangannya tempo hari. Untung sempat minta dulu sebelum Parman minggat.
“silakan isi biodatanya,,,” pak polisi menyerahkan secercah formulir data orang hilang, masih mengamati foto seukuran bingkai dompet itu. Tergambar di wajahnya,,,muka orang di foto kecil itu tidak asing baginya.
“Parman,,,” teriak polisi itu tiba-tiba. seketika membuat kaget pak Yus dan bik Inah yang sibuk dengan identitas Parman.
“Parman Sanjaya. Orang yang di foto ini Parman Sanjaya kan?” Tanya polisi meyakinkan dirinya kembali.
“iya,,,dia Parman. Apa pak polisi mengenalnya, dimana dia sekarang?” sahut bik Inah heboh, terbersit sejumput kegembiraan di wajahnya yang sudah mulai menua.
“dia di sini,,,” jawab pak polisi itu mantap.
“jangan bercanda berlebihan gitu dong pak polisi” seru pak Yus.
“iya benar,,dia disini. Sudah tiga hari ini dia masuk sel” pak polisi menegaskan kembali pernyataannya.
Pak Yus dan bik Inah terperanjat tidak percaya. Tidak mungkin orang sebaik dan sejujur Parman menghuni sel penjara yang hanya diperuntukkan bagi para terdakwa. Parman tak mungkin berurusan dengan pihak berwajib, kalaupun harus, pasti itu karena kambing hitam akibat kesalahan orang lain.
“mari ikut saya,,,” pinta pak polisi.
Pak Yus dan bik Inah melangkah cepat, ingin segera memastikan kalau ucapan pak polisi itu salah. Parman yang kami kenal bukan seseorang yang rakus bak tikus ataupun seseorang teroris pembuat onar.
Namun, sungguh tersentak batin pak Yus dan bik Inah. Sosok yang sangat akrab duduk termangu sendirian di dalam bui tak bersahabat. Menunudukkan kepalanya dalam-dalam diantara kedua dekapan lututnya. Iya, dia Parman,,,. Parman supir Sanni, Parman teman sekamar pak Yus.
“mas Parman,,,” suara bik Inah lirih. Dia mendekati Parman pelan dan terduduk lemas berpegangan pada besi penjara.
“bik Inah,,,” desah Parman yang kemudian dia melirik ada pak Yus yang berdiri mematung di samping pak polisi.
“bagaimana ceritanya Parman. Kenapa kamu bisa masuk ke tempat ini?” pak Yus mulai angkat bicara setelah mereka duduk bersama di ruangan pembesukan khusus narapidana.
 Banyak sekali para tahanan yang dijenguk pagi itu, kursi yang tersedia terisi penuh dengan keluarga napi. sepanjang mata memandang terpampang berbagai reaksi muka, namun yang pasti tidak ada respon senang, yang ada adalah wajah sedih, menangis dan khawatir dengan nasib kerabat mereka. Begitupun dengan bik Inah tidak henti-hentinya menitikkan air mata di hadapan Parman, namun pak Yus berusaha tegar atas pristiwa yang menimpa Parman.
“saya tidak bisa bercerita” jawab Parman singkat.
“sampai saat ini saya belum mengerti kenapa kamu di penjara. Tapi baiklah kalau kamu tidak mau cerita.  Mungkin Non Sanni harus tahu kalau kamu di dalam bui sekarang” gertak pak Yus tegas, karena Sanni satu-satunya senjata yang mampu membuka mulut Parman untuk membeberkan kebenaran yang mereka cari.
“tolong pak Yus,,bik Inah jangan berbicara masalah ini dengan Sanni. Baiklah,,,saya akan cerita tapi jangan ada komentar ” Parman menyerah juga.
Parman mengambil napas memulai mengisahkan perjalanan hidupnya “Sanni adalah adik saya. Kami berpisah lima belas tahun yang lalu. Dia masih berumur 1 tahun. Kecelakaan yang menimpa keluarga kami, mengambil nyawa kedua orang tua kami. Saya dan Sanni yang bertahan. Kemudian oleh pihak rumah sakit kami dititipkan di panti asuhan. Selang sebulan,,,Sanni di adopsi oleh pak Wijaya dan Istrinya. Orang tua angkatnya yang sekarang. Waktu itu saya menginjak umur tujuh tahun, tidak mengerti apa-apa. Lama tidak melihat adik saya, saya pun bertanyak kepada pihak panti, mereka berkata kalau adik saya akan baik-baik saja karena di ambil oleh keluarga kaya. Ketika saya dua belas tahun, saya memutuskan keluar panti dan mencari Sanni. Berbekal alamat yang di kasih Panti, saya menyusuri Jakarta seorang diri. Untuk bertahan hidup saya melakukan kerja serabutan entah sebagai tukang parkir, cuci piring di warung-warung bahkan pernah sebagai pemulung. Saat saya menemukan alamat itu, ternyata pak Wijaya dan Istri sudah pindah. Saya kehilangan arah, kemana saya harus mencari lagi. Dan  sekitar dua tahun lalu saya menemukan rumah pak Wijaya secara tidak sengaja. Ternyata kantor tempat saya bekerja sebagai office Boy adalah miliknya. Dan dia mempunyai anak tunggal namanya Sanni. Awalnya saya tidak percaya,,karena banyak sekali di Jakarta ini bernama Wijaya,namun kembali saya dikejutkan ketika saya melihat Sanni, ada tanda tahi lalat di lehernya yang sangat unik dan tidak pernah saya lupakan. Kemudian saya konfirmasi ke pihak panti dan membenarkan anak  pak Wijaya itu adalah adik saya”.
Bik Inah dan pak Yus menganga tidak bisa menyembunyikan keterekejutannya.
“ya,,,mengenai penjara. Saya menggantikan adik saya. Dia tertangkap basah mencuri jepit rambut di salah satu Mall. Saya berusaha meyakinkan polisi dan syukurnya pak polisi mengerti keadaan adik saya. Adik saya adalah seorang klepto” lanjut Parman.
“ohh,,pantas kamu itu pulang larut malam itu” bik Inah manggut-manggut.
“klepto?” sela pak Yus tidak mengerti.
“Bik Inah pasti pernah melihat kotak besar berisi setumpuk barang-barang tidak berguna di lemari kamar Sanni. Itu hasil curian semua. Waktu dia tertangkap saya di telepon pak polisi. Tanpa berpikir panjang saya meminta polisi untuk menggantikan adik saya di penjara, saya tidak mau masa depan adik saya rusak dengan berada di tempat ini. Mungkin ini hal terakhir yang bisa saya lakukan untuknya” Parman mengakhiri ceritanya.
“lalu bagaimana kalau dia mencuri lagi?” Tanya pak Yus menggebu-gebu tidak sabar menunggu jawaban Parman.
“klepto bisa disembuhkan. Itu hanya sebuah penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Biasanya mereka mengambil barang yang tidak berguna. Orang klepto hanya akan mengambil barang yang menarik hatinya saja. Misalnya pak Yus punya HP dan ada mainan gantungnya. Kalau penderita klepto, ketika dia hanya tertarik pada mainan gantungnya, maka mereka akan mengambil mainannya doang. Sang penderita biasanya merasakan rasa tegang sebelum mencuri dan kenikmatan setelah mereka melakukan pencurian. Ini berbeda dari kasus mencuri biasa. Penyakit ini umum muncul pada masa-masa puber dan ada juga yang sampai dewasa. Klepto ini juga bisa muncul karena sudah terjadi cedera otak traumatik. Mungkin karena kecelakaan dulu, Sanni mengalami cedera otak” suara parau Parman kembali mengingat peristiwa tempo dulu.
“kakak,,,!” rekahan suara lirih ditangkap telinga Parman. Suara akrab yang sangat Ia rindukan, kini Ia dengar kembali. ternyata Sanni membututi pak Yus dan Bik Inah dari rumah.
Ketika Parman akan membalikkan punggungnya melihat sesosok itu tiba-tiba”jangan berbalik!, jangan membuat saya semakin malu, saya seorang adik durhaka yang tidak mengenal kakaknya sendiri bahkan dia memperlakukannya dengan tidak adil”.
Air mata Parman bergulir. Isakannya semakin menjadi. Bahagia karena sekarang adiknya sudah mengetahui keberadaannya, sedih karena keadaannya yang tidak mampu menjaga adiknya. Seolah tidak mau kalah pak Yus dan bik Inah serempak terserak, terharu menyaksikan pasangan saudara ini bersua kembali.
“kak,,kakak,,akhirnya aku bisa mengucapkan kata itu. maafkan aku tidak menjadi adik yang baik untukmu. Sampai detik ini aku masih tidak ingat siapa dirimu. Tapi entah kenapa saat melihat air matamu, batinku bagai tercabik-cabik. Aku sangat yakin kakak adalah,,,,” kata-kata Sanni terputus, dia tidak mampu melanjutkannya.
Dengan segera Parman memeluk adiknya. Tidak peduli kerumunan orang melihatnya. Kerinduangan yang teramat dalam ingin membelai sayang adiknya. Sanni memeluk kakaknya erat,,,bulir-bulir air matanya lagi-lagi mengalir,, “Aku sangat yakin kakak adalah kakakku. Terima kasih telah menjagaku dan berkorban untukku” ungkapnya dalam hati.
Pak Yus, bik Inah, dan semua orang yang berada di ruangan itu terharu dengan pertemuan kembali kakak adik itu. Darah lebih kental dari air, ikatan keluarga lebih dekat dari apapun.

Mataram, 2013
Dedikasi buat keponakanku si embul ‘Arfa Aqila Yusuf’




 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea