Jumat, 27 Juni 2014

Sigi menjemput Sigit bag.6 (End)

Diposting oleh mongyimongyi di 09.57 2 komentar


    penulis : Jang Yiq                                         
Cerita Singkat bag. 5
Ketidaksengajaan, ummi bertemu Sigi. Sigi menguak kisah hidupnya akhir-akhir ini, tentang dirinya, tentang Sigit dan tentang isi hatinya. Bagaimana pertemuan bermula sampai pengandaian seperti apa akhirnya. 

Melalui ummi, Sigit memperkenalkan diri pada Sigi. Bukan Kinan, bukan juga insiatif Sigit sendiri. Awal yang canggung, bisa teratasi dengan Sigit yang cepat menguasai keadaan dan pembawaan Sigi yang apa adanya. No Jaim and to the point. Tawa hadir di acara jumpa pagi itu, namun ada akhwat lain yang sedang merana, menunggu sebuah jawaban. Yuli Evanti masih penuh harap bahwa Sigit akan memilih dirinya.

***
“Hari ini, kami akan balik ke Jakarta. Andien sudah diperbolehkan pulang,” Ummi membuka pembicaraan lagi, sesaat Sigit pergi dari tempat itu.

“Apa? Ummi akan meninggalkan Bogor?” Sigi mengkonfirmasi lagi apa yang didengarnya tadi.

Ummi mengangguk dengan serangai. Dia menepuk-nepuk pundak Sigi yang terlihat melemas, mengerti atas kekecewaan bersua yang terlalu singkat. Dua hari, bukan waktu yang cukup untuk lebih dekat dengan ummi, dan barang tentu juga dengan Sigit.

“Bogor dan Jakarta, dekat kok,” Ummi menghibur Sigi sambil melirik Kinan untuk menegaskan kalimatnya, memang benar Bogor dan Jakarta tidak sejauh Jogjakarta dan Madura.

“dekat BGT, ummi...!” ceplos Kinan senyum-senyum ke arah ummi.

Sigi merubah mood-nya. Dia melebarkan senyum, mencoba mengusir rasa sesal. Dia telah merelakan Sigit, meski tidak sepenuhnya. Sigi tidak kuasa mempertanyakan apa yang dirasakan Sigit pada dirinya. Terlalu dini untuk meneror Sigit di pertama saling tahu. Perasaan tidak bisa dipaksakan, hati tidak dapat untuk dibagi. Cinta tidak harus memiliki. Begitu dialog-dialog di drama korea ^0^. Lagipula Sigi juga akan segera meninggalkan rumah sakit ini dan menjalankan aktivitas kembali seperti sedia kala.  Menjadi mahasiswa, wartawan kampus, dan pastinya menjadi Sigi yang dulu, ceria penuh canda. Tapi sekarang dia akan hadir dengan penampilan yang beda, berhijab. Bukan Sigi yang modis and stylish ala-ala gadis gaul abad-21, sekarang dia berbusana rapi dan tertutup, berkaos kaki tanpa super high heels

“Ini alamat ummi. Ummi akan senang sekali kalau nak Sigi dan Kinan berkenan mau mampir jika ke Jakarta!” ummi menyodorkan selembar kertas.

Kinan menyambar kertas itu seenaknya. Dia membaca abjad yang bertuliskan jalan Fatmawati nomor 13 jakarta Selatan. 

“Tidak sekalian sama nomor telepon, ummi?” tanya Sigi bernada canda penuh pengharapan ummi akan dengan suka rela menyebutkan satu nomor saja, terserah nomor telepon siapa, entah itu nomor telepon rumah, ummi, dan kalau beruntung nomor Sigit. Apalagi Sigi tersadar kartu nama Sigit sudah tidak ditangannya lagi.

“Aaauuuu...!!” jerit Sigi, ternyata kinan refleks mencubit pahanya, seperti biasa sebagai peringatan untuk tetap menjaga image. Kinan nyengir saja diplototin Sigi karena aksinya itu.

Ummi sekali lagi dibuat tertawa oleh kedua hijaber itu, melihat Sigi yang manyun seraya mengusap-usap lengannya yang mungkin memerah. Dan memperhatikan Kinan yang nunduk malu di depan ummi.

“Ini!” ummi memberikan secarcik kertas kecil kepada Sigi. Ya ampun, itu kartu nama Sigit yang Sigi tinggalkan di taman kemarin pagi. 

“Kok, bisa ada di ummi?”  Sigi melongo sambil menatap ummi. Dia belum percaya kartu nama itu kembali ketangannya. 

“Sigit yang menemukannya di taman atap. Dia bilang ini punyamu, jadi harus dikembalikan kepemiliknya.” Jelas ummi. 

Sigi mengambil kartu nama itu di tangan ummi. Tangannya bergetar terus mengelus-elus barang mungil itu. Kinan terharu, bulir air mata muncul di sudut matanya, namun dia tahan untuk tidak menetes. Kinan juga tidak menyangka kartu nama itu akan dilihatnya lagi. Ummi-pun ikut terhanyut dalam moment-moment terakhir itu.
Allah sungguh Sang Kreator tanpa tandingan,  selalu membuat sesuatu tak terduga yang membuat hidupmu penuh kejutan ^0^

***
Hari Rabu, 07.30 pagi...

Sigit duduk di meja dan kursi yang sama saat terakhir dia meninggalkan tempat itu. Dia datang lebih awal dari perjanjian dengan pak Salihuddin dan Yuli. Sekarang mukanya tidak nampak sedikitpun keragu-raguan, dia sangat yakin akan keputusannya saat ini. Dua hari berturut-turut dia melakukuan istiharah untuk memantapkan dirinya akan pilihan pendamping hidup. Perkara yang terlihat sepele namun berat timbangannya di akhirat kelak. 

Sigit melirik jam tangannya, masih dua puluh menit menuju jam delapan. Dia mengeluarkan buku dalam ranselnya, Fiqih Dakwah jilid 2 yang setebal bantal sekarang sudah terbuka didepannya. Dia melahap lembar demi lembar buku wajib untuk kalangan da’i itu. Serius  sekali, dia menela’ah setiap kata bahsaan. 

Waktu berjalan cepat, sudah tepat pukul delapan Waktu Indonesia Barat. Sigit hanyut dengan bacaannya. Dasarnya hobi membaca, tidak sesuatu-pun dihiraukan. Ya, Yuli sudah ada sedari tadi di tempat makan itu, sedang berdiri agak jauh dari posisi Sigit. Dia mengintip di balik pembatas rotan ruang makan seraya mesam mesem sendiri memandangi muka Sigit yang terpantau tetap fokus dengan buku didepannya. Yuli enggan menghampiri Sigit tanpa keberadaan pak Salihuddin sebagai pihak ketiga. Ingat, fitnah ^0^. Dia sangat girang mengetahui hari ini Sigit akan memberikan jawaban yang sudah sangat ditungguinya. Membayangkan bahwa Sigit akan menjawab yes yang akan membuatnya berbunga-bunga.
Eh...lupa dia, GB... GB... ukhti...setan sepertinya sudah mulai merasuk ini. Astagfirullah...^0^

Assalamu’alaikum...” sebuah suara kecil mengejutkan Yuli, Pak Salihuddin mengendap-endap dibelakangnya. Yuli langsung membalikkan badannya dan tersipu malu seraya membalas salam itu, tertangkap basah mengagumi Sigit diam-diam.

“Ini saatnya, Nak!” cakap pak Salihuddin memastikan Yuli sudah mempersiapkan jiwanya. Apapun keputusan Sigit harus bisa dia hormati dan terima dengan sepenuh hati. Baik itu penerimaan ataupun penolakaan, adalah hak Sigit yang tidak bisa di ganggu gugat. 

Yuli mengangguk pasti, menghilangkan keresahan pak Salihuddin. Jauh-jauh hari dia sudah menggembleng mentalnya agar tidak nampak bodoh di depan seorang ikhwan. Karena, seperti kita ketahui, Yuli Evanti cukup sering mendengar kata afwan. Dan dia sudah terbiasa, bahkan mungkin dentuman “no” yang keluar dari mulut kaum pria selama ini sudah sangat akrab dengan hidupnya. 

Berdua mereka mendekati Sigit yang sangat konsentrasi membedah buku Fiqih dakwah itu. Sekali lagi pak Salihuddin memecah suasana yang terkesan canggung, melayangkan salam kesejahteraan untuk sesama. Sigit membuyar, dia mengalihkan pandangannya kepada dua orang yang memang ditunggu-tunggu. Sigit menyunggingkan senyum menyambut kedatangan mereka, selayaknya tuan rumah menanti hadirnya tamu istimewa. Sigit mengisyaratkan dengan tangannya untuk mempersilakan duduk. Sempat sudut matanya mengerling ke arah Yuli, Sigit makin melebarkan seringainya yang menangkap kekikuan Yuli yang tak mampu disembunyikan kali ini. 
Seberapapun berpengalamannya seorang penyanyi pasti dia pernah merasakan gugup di atas panggung. Begitulah kira-kira penggambaran Yuli saat ini, walaupun ini adalah ta’aruf yang kesekian kali, di depan Sigit dia tidak mampu menutupi keresahan hatinya, hemm... Hemm  ^0^

“Yahhhh... bapak kira kita yang akan menunggu kehadiranmu, Git. Tapi malah kita yang ditunggu,” ucap pak Salihuddin santai sambil menoleh ke arah Yuli. Yuli menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mungkin akan berona merah.

“Hari ini ana jadwalnya masuk siang, Pak.” Kilah Sigit yang memang sudah tidak sabar melontarkan hasil renungannya.

“Oya, Afwan atas sikap ana minggu lalu. Ana tidak bermaksud meninggalkan acara, tapi adik ana terjatuh dari tangga dan harus dirawat di rumah sakit. ” lanjutnya merasa harus memberikan penjelasan atas ketidaksopanannya terhadap Yuli.

“Nak Yuli, ada yang mau disampaikan, monggo!” pak Salihuddin memberikan kesempatan untuk Yuli mengungkapkan apa saja yang mengganjal.

“Ana tidak berhak untuk berprasangka buruk terhadap antum. Jadi, apapun alasannya, ana sudah memaafkan kejadian tempo lalu. Hari ini ana akan mendengarkan apa tindakan antum selanjutnya dengan proses ini.” tegas yuli tanpa bertele-tele membuang waktu. Seperti yang dia lantunkan, dia tidak akan nampak bodoh dan mengiba di hadapan ikhwan, meskipun itu adalah Sigit. walau hati sebenarnya berbicara sebaliknya, mau mengulur waktu lebih lama agar makin dekat dengan Sigit, dia bisa memahami apa yang dirasakannya, mampu mendengar jeritan batinnya, Sigit jadikan aku isterimu!. 

Sigit membalas dengan senyuman kata-kata Yuli yang terkesan buru-buru menginginkan ketok palu. Sigit melihatnya lekat-lekat, membenarkan dirinya atas kekaguman akan kepintaran Yuli. Usianya menyatakan kematangannya, kedewasaannya, dan kesiapannya untuk membina bahtera rumah tangga.

Yuli menyembunyikan malunya dalam-dalam. Dia memasang muka tegar, sekali lagi, pantang terlihat bodoh dan lemah. Dia mencoba mengontrol emosinya yang ibarat gunung meletus siap menghamburkan lava panasnya. Harap-harap cemas ni yee ^0^. Dia memaksa Senyum, menggambarkan kerelaannya atas apapun itu yang diucapkan Sigit. Please jangan melihatku seperti itu! tidakkah kau tahu, aku sudah sangat meleleh, batin Yuli bergema.

“Baiklah. Ini adalah pilihan yang sulit dalam hidupku, sangat sulit, tapi ana sudah menetapkan keputusan. Ukhti Yuli Evanti, bersediakah anti?!” ujar Sigit lantang, sungguh tidak ada keragu-raguan pada mimiknya.
Yuli Evanti membetot, kini menitikkan air mata, terisak. Dia sudah tidak sanggup untuk bersandiwara lagi di hadapan Sigit dan pak Salihuddin. Dia mengangguk pasrah, ikhlas atas vonis terakhir Sigit.

***
Sigi merentangkan kedua lengannya, meregangkan badannya yang kilu. Sedari keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, dia belum diperbolehkan beraktivitas. Kerjaannya, tidur dan tidur di kasur yang sudah beberapa minggu ini ditinggalkannya. Suasana yang menjenuhkan. Di rabu pagi ini juga begitu, Sigi belum bisa kemana-mana, ke kampus, kumpul dengan teman organisasinya, dan yang paling dinanti-nanti, bergabung dengan lingkaran kajian.  Masa istirahatnya terus berlanjut sebelum dokter Fahri menyatakan sembuh total.  

Dia melirik meja samping, ada buket bunga mawar yang sekarang menghitam kering di pot warna putih dan sebingkai kartu nama atas nama Sigit. Sigi manyun memandangi dua benda yang paling berharga itu. Pembicaraannya dengan Kinan kemarin malam terngiang jelas dikepalanya, “Jaga Iffah [1]dan Izzah[2]mu. Gengsi dong, perempuan yang menelopn laki-laki!!” tukas Kinan. Malam itu, Sigi beradu argumen dengan Kinan. Ilmunya yang sedangkal selokan menguji kepahaman Kinan yang sudah sedalam kali. 

“Lalu, bagaimana dengan Siti Khadijah yang melamar Rasullulah. Bukankah memalukan seorang perempuan menawarkan dirinya untuk dinikahi?” protes Sigi. Dia membela diri dengan fakta yang tak mungkin terbantahkan.

“Bukan masalah perempuan menunjuk laki-laki yang ingin dijadikan suami. Nah, sekarang lihat konteksnya. Kalau memang perempuan itu sudah mantap untuk menikah, boleh-boleh saja. Tapi kamu, mau nikah enggak sama Sigit?! jika untuk main-main apalagi buat pacaran, itu salah besar!!” terang Kinan serius kalau membahas tentang fiqih.

“Dan juga ada aturan-aturan syar’i-nya. Bukan sembarang nyebut dan nunjuk siapa orangnya. Sekarang, saya mau perjelas statusmu, sudah siap menikah? Ya atau tidak !? Kalau memang ya, saya siap menjadi jalurmu!”  usul Kinan. 

“Memang saya busway, pakai jalur khusus segala!” solot Sigi. Sigi terkesiap, menyadari persoalaan ini sungguh rumit dari yang diduga. Dia merenungi setiap kata Kinan tadi. Betapa syariat islam itu mudah tapi sulit untuk dijalankan. Menikah itu gampang, tapi itu butuh mental baja untuk mengarungi bahteranya.

“Ingat!, Sigit itu seorang ikhwan. So pasti, dia juga tidak sembarangan dalam berhubungan dengan lawan jenis.” Seloroh Kinan. Skak mat, Kinan memukul telak Sigi. Dia merasa menang mampu membuat Sigi berpikir lagi untuk menjalin komunikasi dengan Sigit. inilah jurus-jurusnya untuk menghindarkan Sigi supaya tidak terlampau jauh mengharapkan Sigit. 
Hati tidak ada yang bisa menebak. Mungkin sekarang bilang “ya” tapi siapa yang sangka besok akan bilang “tidak” ^0^

Sigi mendengus, “Siapkah aku untuk menikah?” tanyanya pada diri sendiri, masih menatap benda-benda pemberian Sigit.

“Tok... Tok... Tok... Gi, boleh saya masuk?” pekik Kinan di luar kamar.

“Masuk...!” teriak Sigi, tetap dalam posisi duduknya di atas kasur.

Kinan membuka pintu itu dengan nampan penuh sarapan ditangannya. Lemparan senyum Kinan menyertai kehadirannya. 

“Saatnya sarapan, tuan puteri...” Kinan menaruh semangkuk bubur ayam dan segelas susu didekat Sigi. Dia memperhatikan Sigi yang sendu tidak bergairah menoleh padanya.

“Masih memikirkan diskusi yang semalam, ya?” tebak Kinan, seolah bisa membaca isi pikiran karibnya itu.
“Sudah dipikirkan baik-baik?” goda Kinan, menyenggol-nyenggol lengan Sigi.

Sigi tidak menggubris, dia mengaduk-aduk kesal buburnya, tak berminat untuk memakannya barang sesendok. Seleranya sudah ditelan habis oleh pertanyaan-pertanyaan Kinan yang membuatnya puyeng.

“Cepat buat keputusan. Nanti keburu Sigit diambil orang, lho!!” Kinan malah semakin asyik manas-manasin Sigi. 

Sigi kian geram dibuatnya. Dia melototin Kinan yang cekikian dan memaksanya untuk melahap sesendok full bubur ayam yang sudah dia sodorkan didepan mulut Kinan. Bukannya menggubris Sigi, Kinan malah melenggang keluar dari kamar Sigi.
Kinan... Kinan... Ada-ada saja kamu ini ^0^

***
Dua bulan kemudian...

Sigit turun dari mobil, hebohnya diikuti oleh Yuli yang memegang tangan Andien, menuntunnya berjalan. Layaknya sketsa keluarga harmonis, mereka bertiga menapaki gembira balok-balok paping yang berjejer rapi menuju pintu utama masjid. Kalau kalian mengira ini adalah masjid raya bogor, tebakanmu benar. Tempat inilah saksi bisu antara Sigit dan Sigi. Bagai menapak tilas kisah hidupnya beberapa bulan lalu, Sigit menyempatkan diri mampir di rumah Allah itu. 

Azan zuhur berkumandang, mengalun indah. Wuduhnya yang selalu terjaga, Sigit segera mengambil shaf pertama sholat berjamaah khusus kaum pria. Dia terduduk sebentar menunggu lantunan perintah sholat itu selesai. Sedangkan Yuli dan Andien bersiap dengan mukenanya di shaf terakhir dibalik tirai pembatas. 

Iqomat menyambut. Semua jamaah berdiri, berjejer lurus tak bercelah. Mereka semua siap akan menunaikan sholat empat rakaat di siang hari itu.

Tafadhol[3], ustadz!” Muaddzin[4] tadi mempersilakan Sigit menjadi pemimpin ustadz. Tanpa sungkan Sigit maju menuju mimbar masjid akan mengimami. 

Sholat dimulai, berlangsung khidmat di masjid yang besar nan megah dengan jamaah yang cukup dihitung dengan jari. Selesai sholat dan berdzikir, mereka saling bersalam-salaman.

“Ustadz Sigit?!” tegur seseorang saat Sigit akan bersalaman dengannya. Sigit tersenyum,   memicingkan matanya, mengerutkan kening berusaha mengingat sosok yang mungkin pernah bersua dengannya.

“Saya Amir, ustadz. Marbot masjid ini, ingat?” seloroh Amir, memasuki ruang memori Sigit.

Asstagfirullah, Mas Amir! Maaf, mas, tidak mengenali tadi,” gubris Sigit, dia memeluk Amir.
Ala-ala bromance lee jong suk dan kim woo bin  gitu.. hehehe ^0^.  

“Senang bisa melihat ustadz lagi. Dalam rangka apa ustadz kembali ke Bogor?” Amir basa basi dengan Sigit. Dia begitu senang bertemu lagi dengan Sigit.

“Adik saya harus check up di rumah sakit Harapan Bangsa, Mir. Itu dia!” Sigit menunjuk Andien yang digendong Yuli, mendekat ke posisi mereka.

“Ustadz bawa isteri juga?!” Amir tersenyum ke arah Yuli. Yuli tersenyum menyapa,  menundukkan kepalanya sedikit pada Amir.  

“Wahhh... Saya kira ustadz akan menikah dengan akhwat yang dulu ustadz tolong di masjid ini.” cerocos Amir tidak mempertimbangkan keberadaan Yuli disana. Sigit hanya tersenyum mendengar Amir berbicara ceplas ceplos, tidak mengiyakan, juga tidak mangkir. Yuli canggung menyikapi kata-kata Amir.

“Trillilit....Trillillit...” ponsel Amir berdengung. Dia cepat merogoh dan menjawab panggilan itu, “Assalamu’laikum, mbak... ya, saya segera kesana.” Amir menutup teleponnya.

“Maaf, ustadz. Saya ada janji. Mbak yang dulu ustadz tolong itu datang mengambil motornya yang dia titip dulu. Sekarang baru sempat diambil. Saya permisi dulu, Assalamu’alaikum...” Amir berlalu meninggalkan Sigit, Yuli, dan Andien.

Sigit terhentak. Dia berlari mengikuti Amir. Dia sangat yakin, mbak yang disebutkan Amir adalah Sigi.
Yuli terpaku melihat kepergian Sigit, dia mentertawakan dirinya sendiri, menguak kembali proses dua bulan lalu di pagi hari rabu. 

“Baiklah. Ini adalah pilihan yang sulit dalam hidupku, sangat sulit, tapi ana sudah menetapkan keputusan. Ukhti Yuli Evanti, bersediakah anti?!” ujar Sigit lantang, sungguh tidak ada keragu-raguan pada mimiknya.
Yuli terdiam, tidak menjawab entah itu adalah pertanyaan atau pernyataan yang masih akan berlanjut. 
“Bersediakah anti memaafkan ana. Afwan ana tidak bisa melanjutkan proses ini ke jenjang berikutnya. Ana menolak bukan karena ana tidak suka, justru ana-lah yang tidak pantas untuk menjadi suami anti” lanjut Sigit.
Dubrakkk... bagai petir di pagi buta menghantam raga Yuli. Dia masih terdiam, diamnya kali ini untuk mengatur emosinya , untuk merangkai kata perpisahan yang pas untuk mengakhiri ta’aruf  yang melelahkan itu.
“Ana menghargai putusan antum. Ya, ana sependapat, antum mungkin tidak pantas untuk ana. Semoga antum mendapatkan seseorang yang pantas menurut antum dan mudah-mudahan pantas juga menurut Allah.” Lirih Yuli. 
Yuli Evanti membetot, kini menitikkan air mata, terisak. Dia sudah tidak sanggup untuk bersandiwara lagi di hadapan Sigit dan pak Salihuddin. Dia mengangguk pasrah, ikhlas atas vonis terakhir Sigit.

**
Amir mengeluarkan motor bebek itu dari garasi masjid. Kurang lebih tiga bulan boncengan itu terlelap di sana. Sigi mengelus-elus tunggangannya yang paling setia itu, “Maafkan aku, baru bisa menjemputmu sekarang.” Dia ngomong sendiri seolah motornya mendengarkan. Gayanya yang aneh itu membuat Kinan dan Amir terbahak-bahak.

“Monggo di bawa pulang, mbak.” Ucap Amir masih geli dengan tingkah Sigi.

“Terima kasih, mas Amir sudah menjaga dan merawat motorku. Maaf, cuma ini yang bisa kami beri,” Sigi mengeluarkan amplop pertanda terima kasih. 

“Tidak usah, mbak. Saya ikhlas sepenuh jiwa dan raga.” Amir menolak uang pemberian Sigi.

Kinan merebut amplop itu dari tangan Sigi, “Ini hak mas Amir, tolong diterima, ya...”  ngotot Kinan memberikannya kepada Amir.

Amir dengan malu-malu akhirnya mengambil amplop itu. Kinan bernapas lega melihat amplop itu sudah berpindah tangan.

“Oya, mbak, di dalam saya bertemu dengan ustadz Sigit, yang menolong mbak dulu saat mbak pingsan di kamar mandi.” Amir lagi-lagi nyelonong saja ngomongnya.

“Apa? Ustadz Sigit?!” Kinan tersentak, tumben-tumbennya dia terbelalak mendengar nama Sigit. Dia mengerling ke Sigi yang sangat-sangat tertegun. Sigi menatap sayu ke depan seraya menyunggingkan senyum kecil.

Ya, Sigit lagi-lagi mendadak membuntang dihadapannya. Dia berdiri dengan gagahnya seakan menyiratkan akulah pemeran utamanya. Dia melangkah mendekati posisi Sigi, bak model yang melintas di catwalk yang menjadi pusat perhatian Sigi, Kinan, dan Amir. Sontak situasi berubah kagok. Kinan merempet ke samping Amir menempatkan diri menjadi penonton dan membiarkan Sigi menjadi pusat lampu pertunjukan. 

Sigit berhenti, tepat dua meter jarak antara dia dan Sigi. Dia mematung, air matanya merembes. Sigit menangis, merasa sangat berterima kasih kepada Allah. Taruhan yang dia buat dengan-Nya, berani melepaskan Yuli Evanti yang terbilang ideal menjadi ibu dari anak-anaknya, demi menanti hari dimana dia akan bersemuka dengan Sigi, gadis yang siapa dia Sigit-pun masih meraba. Namun hatinya sudah terlalu kuat terpaut pada dirinya.

“Inilah saatnya!!” Sigit histeris dalam relungnya. Dia mengatur irama napasnya untuk menghilangkakn kikuk yang menyergap.

“Sigi...” suara Sigit bergetar. Dia menguatkan genggaman tangannya, mengais keberanian untuk kata-kata selanjutnya.

“Abang...” tiba-tiba Andien berteriak memanggil Sigit, dia masih digendong Yuli yang berjalan mendatangi mereka. Andien meminta didekap abangnya, Sigit mengambil Andien dari rengkuhan Yuli.

Sigi mengamati Yuli yang sangat akrab dengan Andien dan Sigit. Merasa diperhatikan, Yuli angkat bicara, “ohh... Anti yang namanya Sigi. Perkenalkan saya Yuli.”

“Anti tahu ana?” tanya Sigi yang identitasnya diketahui oleh orang yang baru pertama kali ditemuinya itu.
“Sigi banyak cerita tentang anti. Waaahhh... ana sekarang benar-benar merasa dicampakkan.” Sungut Yuli bernada santai.

“Maksud anti?” timpal Sigi yang buntu tentang pembicaraan perempuan dewasa didepannya itu. Kinan dan Amir melongo-longo dengan percakapan itu.

“Sigit, cepat lamar dia! Berapa lama lagi antum akan menunggunya?! Tidak bisa menjadi isterimu, setidaknya ana bisa jadi saksi antara kalian berdua.” Solot Yuli tidak ingin lagi memperpanjang kisah Sigit yang menanti Sigi.

“Tidak...” ucap Sigi lemah. Dia mengalihkan matanya ke arah Sigit.

“Aku... Aku... tidak ingin dilamar ...” suara Sigi menggegar.

“Tapi, biarkanlah aku meniru Siti Khadijah detik ini, biarkan aku yang datang menjemputmu.”

“Sigit Pratama, bersediakah antum menjadi imamku?” Sigi berkaca-kaca. Dia mulai linglung. Kinan segera menopang tubuh sahabatnya itu. Ada kebanggan tersendiri, hari ini dia mendapati Sigi begitu berani mengungkap semua yang ada di hati dan pikirannya. Kini, Sigi adalah Sigi yang siap mengambil keputusan untuk hidupnya.

“Aku bersedia!” jawab Sigit. Air matanya tumpah tak terbendung, tidak mampu berkata-kata lagi. Otaknya blank tak bisa berpikir. Dia hanya memandang Sigi yang tiada henti memandangnya juga.
So sweet...^0^
Aku malu membaca tulisanku sendiri ^0^

Yuli ikut terharu, begitupun Kinan dan Andien tersentuh dengan adegan di depan mata. Amir yang tidak paham dengan apa yang terjadi ikut termehek-mehek dibuatnya.
 
“walau digenggam kuat, andai ia bukan  milik kita, ia terlepas jua. Walau ditolak ke tepi, andai ia untuk kita, ia mendatang jua, itulah namanya jodoh.”

“jika kamu memang jodohku, kemanapun kamu melangkah pasti kamu akan kembali kepadaku.”

***
Sigit : saat kamu pingsan dulu, entah apa yang merasuk dalam tubuhku. Tanpa berpikir panjang,   aku membopong tubuhmu yang lemas dan berdarah. itu pertama kalinya aku menyentuh perempuan yang bukan mahramku. Aku sangat khawatir tentang dirimu. Bagaimana keadaanmu? lagi dimana dan sedang apa?. otakku penuh dengan dirimu. padahal itu pertama kali aku bertemu denganmu. inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?
Sigi : Kinan membujukku ke acara ODOJ itu. katanya ada ustadz ganteng sebagai pengisi acaranya. kinan bukan tipe perempuan yang sembarangan bicara. aku penasaran, seberapa cakep ustadz itu. akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke Masjid Raya. dan benar, Kinan tidak berbohong. ustadz itu memang tampan. bukan hanya fisiknya tetapi juga hatinya.
Sigit : Itulah Jodoh!


-the end-

Note.
Terima kasih untuk pembaca setia cerbung ini,,,
Dan maaf atas segala kekurangannya,,,^0^

Terimakasih untuk kerispatih...
Tertatih” satu lagu yang selalu aku putar saat tulisan ini tercipta...
Jemariku bergerak-gerak di keyboard saat lagu ini bergema...^0^

Terimakasih untuk Shin Young Jae...
lantunan "Belive" mampu menggerakkan otakku berpikir di malam-malam buta untuk melanjutkan tulisan ini ^0^

dan...
Terimakasih Jung Joon Young (guri-guri)...
"Because I Love You" suara rock-mu selalu menemaniku saat menulis...^0^

 ~^0^~
Menulis tidak semudah membaca...
Menulis tidak segampang menggambar...
Tapi saya yakin semua orang bisa menulis...
Mari menulis...
Jangan berhenti menulis...
Meski sampai detik ini...
Karyamu masih tertata rapi dalam folder...
Meski sampai hari ini...
Kalian belum memenangkan satu kompetisi-pun...



[1] kehormatan
[2] Harga diri
[3] silakan
[4] Pengumandang azan
 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea