penulis : Jang Yiq
Cerita singkat bag.4
Ta’aruf
di mulai, Sigit memutuskan untuk melanjutkan perkenalan dengan Yuli Evanti,
seorang dokter yang umurnya tiga tahun lebih tua dari Sigit. Akhwat rekomendasi
sang murrabi membuat Sigit takjub dengan kematangannya sebagai seorang
perempuan dewasa. Namun, ditengah-tengah pendalaman keperiadian masing-masing,
tiba-tiba abi Sigit menelpon, mengabarkan bahwa Andien, adiknya terjatuh dari
tangga villa dan harus mendapatkan perawatan di bogor. Di situasi itu, Sigit
memutuskan untuk meninggalkan acara tanpa berpikir akan menyakiti hati akhwat
dihadapnnya itu.
Takdir
berbicara. Di rumah sakit Harapan Bangsa, dimalam yang tak terduga itu, Sigit mengulang pertemuannya dengan Kinan,
seseorang yang mungkin akan menjadi jembatan perjumpaan kembali dengan Sigi. Betapa
bahagianya Sigit ketika sosok akhwat, sahabat Sigi itu berdiri dihadapannya. Kinan juga
tak kalah senang, namun
Kinan
memilih
berpikir
lain. Dia tidak ingin Sigi dan Sigit bertemu atas kehendak mereka
masing-masing. Biarkanlah Allah menjalankan sekenario-Nya yang maha sempurna
batin Kinan.
Ya,
tanpa campur tangan Kinan, Allah-pun bertindak. Di pagi yang indah, dua insan
yang tidak saling mengenal dalam itu bertatap muka. Di taman atap rumah sakit,
Sigi yang sedang menikmati terpaan jingga dan kemudian Sigit muncul, mendekap
hangat Andien yang masih lemah. Sontak membuat Sigi terperenyak, terharu
dipertemukan lagi dan merana sedih, salah paham tentang status Sigit yang
ternyata sudah beristri. Dengan genangan air mata Sigi berlari menjauhi Sigit.
Sigit tak mampu berbuat apa-apa, dia hanya memandang Sigi yang meninggalkannya.
***
Sigit mendekati tempat Sigi terduduk
tadi. Dia tersenyum simpul dan memungut potongan kertas kecil yang bertuliskan
namanya. Kartu nama itu, tanpa tersadar Sigi meninggalkannya di kursi itu,
mungkin karena sangat terkaget membuat Sigi melepaskannya dari genggaman. Sigit
mengusap-usap kursi kayu itu, seakan ingin merasakan keberadaan Sigi di situ,
kemudian mendudukinya pelan. Kembali Sigit melihat kartu namanya sendiri,
mengingat kembali dengan konyolnya saat dulu dia memberikannya kepada Kinan dan
berharap untuk dikabari keadaan Sigi. Tapi asa sekedar asa, Kinan tidak pernah
berniat menguhubunginya.
Sigit mendesah. Napasnya sampai dirasa
oleh kening Andien yang nyaman dipangkuannya. Andien melirik abangnya,
memperhatikan lekat-lekat mimik mukanya yang tersirat kacau.
“Abang, siapa perempuan yang tadi?
Kenapa dia menangis?” suara Andien pelan namun menusuk.
Sigit mendesah lagi, melebarkan pupil
matanya menatap adik kesayangannya itu, “Perempuan tadi itu...” Sigit menahan
napas, memotong pembicaraannya, berpikir untuk berterus terang saja pada anak
kecil itu. Toh, dia cuma anak ingusan yang belum mengerti dunia orang dewasa.
“Namanya Sigi. miripkan sama nama abang,
Cuma kurang huruf T,” gurau Sigit sambil mencubit gemas pipi Andien yang tirus.
“Terus?” Andien mulai rewel, nampak tatapan menghakimi abangnya.
Sigit mengerutkan keningnya, bingung
harus menjelaskan apalagi, sebab dia juga tidak tahu siapa Sigi seutuhnya.
Sebatas nama, tidak lebih dari itu untuk menandakan sosok perempuan itu.
“Abang tidak tahu.” Ucap Sigit meredup, menerawang bagaimana
kisah ini akan berlanjut. Semua adalah rahasia yang tidak mungkin akan
tersingkap oleh paranormal.
Andien menurunkan pandangannya,
mendekatkan telinganya tepat di posisi jantung abangnya. Andien tersimpul, dia
mendengar irama yang berdetak kencang tak beraturan. “Abang, sepertinya aku
tahu siapa perempuan itu.” gumam Andien seraya terus menempelkan pendengarannya,
seolah menikmati alunan debaran jantung
abangnya.
Sigit terbelalak, jantungnya berdegup semakin kencang. Andien
cekikikan mendengar suara pemompa jantung itu semakin besar. Sigit ingin
mengelak, membela diri kalau apa yang diucapkan Andien hanyalah tebakan kosong
anak ingusan. Tapi Sigit tetap membiarkan aksi adiknya. Dia merasa lega, seakan
ada setitik embun merembes masuk kehatinya, sangat menyegarkan ditengah panas
memendam sendiri bara cinta yang membelenggunya.
“Terima kasih sayang…” Sigit
memeluk Andien. Dia sangat menyayangi adiknya yang terkadang bersikap dewasa
itu. Meski umurnya masih delapan tahun, namun dialah perempuan yang paling
mengerti isi hatinya.
***
Sigi terisak, air mata masih
membasahi pipinya. Dia mendekap kedua lututnya sembari duduk bersandar di
dinding lorong bangsal matahari, koridor ini
terhubung dengan kompleks VIP. Sigi
membenamkan kepalanya dalam-dalam seolah tidak ingin menampakkan
kesedihan pada orang lain. Dia memegang dadanya seperti memerintahkan hati
untuk tidak beriak. Sekarang dirinya penuh dengan penyesalan tentang rasa yang
sudah menjangkit.
“Ya Allah, Mengapa ini
terjadi kepadaku?” ucapnya pelan, serasa Tuhan tidak mengamini apa yang diangankannya
selama ini.
Lorong yang sepi, di pagi
hari yang masih berselimut, remang-remang, sinar matahari yang menyusup
diantara celah-celah jendela kaca gedung, menangkap tubuh perempuan berhijab
yang membungkuk di depan Sigi yang masih tertunduk dengan suara senggukan yang
menggema.
“Nak, kenapa kamu
menangis?” sapa perempuan itu lembut. Dia
mengusap-usap kepala Sigi yang juga tertutup hijab. Sigi tidak menjawab, tetap menunduk, tidak mau memperlihatkan wajah
sembabnya. Dengan perlahan perempuan separuh baya itu mengangkat kepala Sigi,
menghapus air mata yang mengalir. Perempuan itu tersenyum hangat, gurat
keibuannya menjalar disanubarinya. Sigi melongo, tak
mengelak juga tak menepis sentuhan tangan bergurat kasar itu. Justru dia
semakin merengek dihadapannya seakan sudah saling mengenal lama. Perempuan paruh
baya itu memeluk Sigi, mengelus-elus punggungnnya menenangkan, “Menangislah
jika itu membuatmu akan merasa lebih baik, Nak.” Bisik perempuan itu.
Selang beberapa menit, Sigi sudah merasa
plong. Dia melepaskan diri dari
rangkulan perempuan itu, menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi pipinya.
Dia menarik napas dan menghembuskannya, mengatur kembali emosinya yang sempat
membeludak.
Terkadang
menangis adalah senjata paling ampuh untuk mengurangi penat hati. Menangislah,
karena menangis tidak selamanya menunjukkan kalian lemah... ^0^
“Terima kasih...” suara Sigi terdengar
bergetar.
“Ibu, siapa?” lanjut Sigi memandang
perempuan yang masih membungkuk didepannya dengan Senyuman yang enggan menjauh
dari bibirnya yang mulai mengkerut.
“Panggil saya Ummi, Ummi!” ujar perempuan
itu seraya memegang kedua pipi Sigi.
Oh...
indahnnya ukhuwah^0^
“Ummi.” Gumam Sigi, matanya kembali
berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena kesedihan namun ada keharuan. Entah
mengapa ada secercah bahagia menyelip di lubuk hatinya, memandang perempuan tua yang sangat ramah itu.
Beberapa meter dari Sigi dan Ummi
berada, Sigit menonton semuanya. Di
tembok belokan lorong, diam-diam dia memperhatikan
gerak-gerik dua perempuan yang memenuhi hatinya itu. Andien yang seiya sekata
dengan sang abang mulai menikmati reka adegan itu. Sungguh menyentuh, bagai
melihat perjumpaan ibu dan anak. Terpancar sinar ketulusan diantara mereka berdua. Sigit menghela napas, berpikir apa yang harus dia
lakukan sekarang. Menghampiri untuk menyapa dan memperkenalkan diri secara
resmi di depan Sigi atau membiarkan takdir yang terkuak dengan sendirinya. Tulang rusuk tidak akan kemana-mana, bukan?
Dia pasti akan kembali ke posisinya. Sigit meragu, dia ingin sekali
mengangkat kakinya untuk mendekat, tapi sangat berat, berat sekali. Kaki itu
tidak mau bergeser sedikitpun, tetap nyaman menapaki lantai marmer itu.
“Sigi, ada apa denganmu?”
batin Sigit berdengung, merogoh kartu namanya yang tertinggal di taman tadi.
Gemuruh hati Sigit yang meminta
jawaban dari pertanyaan yang tidak tersampaikan. Dia masih berdiri di kejauhan menyaksikan
Sigi dan umminya yang sedang bercengkrama. Indah sekali, melihat kedekatan Sigi
dan ummi yang baru saja saling tahu namun sudah seintim itu. Satu dua kali, Sigit
melempar senyum, menggelayut di khayalannya, peristiwa saat ini terjadi
dikehidupannya yang mendatang, keakraban antara mertua dan menantu.
Cie..cie...Sigit
^0^
“Tit…Tut…” bunyi pesan singkat masuk. Sigit gelalapan,
meski suara ponselnya kecil dikeheningan pagi. Bangat Sigit merogoh saku celananya dan membuka SMS
itu, “Assalamu’alaikum, Git, bagaimana
ini dengan kelanjutan proses ta’aruf
yang kemarin?” tulisan dari pak Salihudin. Sigit menepuk jidatnya seraya beristigfar,
melupakan hal kemarin yang juga cukup penting. Sekelebat bayangan Yuli Evanti
hadir di benaknya. Sosok dokter muda yang memang tidak muda lagi, menawan dengan
kecerdasannya. Sigit merasa bersalah, tidak seyogyanya dia
meninggalkan akhwat itu begitu saja tanpa penjelasan di tengah proses yang
serius.
“Wa’alaikumussalam, afwan, pak, sekarang ana sedang di Bogor. Kemarin abi
menelpon, Andien terjatuh dari tangga Villa dan harus mendapat perawatan di
Rumah Sakit Harapan Bangsa. Bisakah pertemuannya di jadwal ulang? Insha Allah, ana sudah punya jawaban.” Balasan Sigit untuk pesan murrabinya.
Andien yang sedari tadi
diam, masih didekapan Sigit, terus mengamati wajah abangnya yang sangat mudah
terbaca. Ada kebingungan, kebimbangan, kerisauan, keheranan, semuanya
ditampakkan kali ini. Andien yang rada-rada memahami berbisik, “Tenang, abang!”
nadanya yang sok dewasa membuat Sigit tersenyum, mengangguk-angguk mematuhi
seruan adiknya.
“Bapak konfirmasikan dulu
sama akhwatnya. Tunggu kabar selanjutnya.” Pesan balasan dari pak Salihuddin.
Sigit menenangkan diri
seperti permintaan Andien. Mengatur jalan napas. Dia menengok kembali
pandangannya ke tempat Sigi dan ummi, mereka sudah tidak . Sigit melirik ke
penjuru koridor, tidak ada, sepi. Sigit maju, melangkah pelan menapaki lorong
itu, bangsal matahari, tempat ruang rawat Andien. Sigit melewati ruang bernomor
327, dia terus berjalan ke ujung lorong yang ternyata memiliki belokan dengan
pintu kaca bertuliskan VIP.
“Jangan-jangan, Sigi
berkamar disini,” Sigit berandai-andai. Dia menerawang suasana dalam tempat khusus
pasien berbudjet itu. Sigit
tersentak, Kinan keluar dari salah satu jejeran kamar. Dia kenal betul paras
yang menodongnya tadi malam itu. Sigit refleks menghindar dan bersembunyi, perlahan
berlari kecil tak bersuara masuk ke ruang rawat Andien yang dekat, bayangkan cara jalannya Tom saat akan
menyergap Jerry, hehe ^0^. Kini, mimiknya tersirat mantap, mengetahui
ternyata dari kemarin dia begitu dekat dengan Sigi.
***
Yuli Evanti termenung di kamarnya. Ahad
pagi yang terasa muram. Dia, lagi dan lagi mengingat rupa punggung Sigit yang
dengan mudahnya meninggalkan proses perkenalan mereka. Meski saat itu Yuli
memasang wajah yang tidak apa-apa, namun hatinya ada apa-apa. Sedikit perih
ketika memasrahkan laki-laki yang ada di depan mata, mulai mendalami
karakternya, dan sudah menyukainya, entah karena alasan apa pergi seenaknya.
Jujur, penjelasan tak berjawab dari pak Salihuddin tentang kejadian itu semakin
membuat Yuli berpikir kalau Sigit sungguh tidak berniat melanjutkan proses yang
terlalu dini untuk dibatalkan itu. Tidak ada keterangan lebih lanjut yang bisa
menenangkannya, apalagi dari Sigit sendiri. Semenjak kemarin hingga hari ini,
pak Salihuddin belum mampu berbicara tentang sebuah kepastian. Seperti
menggantung, Yuli kian merana, parahnya Sigit sudah membuatnya jatuh cinta.
Yuli meraih biodata itu lagi, memandangi
wajah Sigit yang berkharisma dengan kacamatanya. Tanpa paksa, Yuli tersenyum
kecut melihat foto itu. Dia melihat isi biodata yang sudah sekian kali dia
telaah, berharap tiba-tiba terselip nomor telepon Sigit di barisan kata data
diri. Ingin sekali Yuli menghubungi Sigit langsung untuk meminta keputusan, ya
atau tidak, titik.
Khyusuk dengan perasaannya yang galau
badai, Yuli tersentak oleh suara ponselnya yang mendadak berdering. Mengintip nama di
layar, bibirnya merekah, pak Salihuddin
menelpon di waktu yang dinantikan. Tidak ada keraguan, Yuli menerima panggilan
itu, “Assalamu’alaikum, pak...” jawab
Yuli lugas.
“Wa’alaikumussalam,
ukhti, afwan
tentang
kemarin. Kapan ada waktu untuk memproses lagi? Kabarnya Sigit sudah punya
jawaban.” Ungkap pak Salihuddin yakin.
Yuli cepat membuka buku agendanya yang
memang tergeletak disampingnya. Membuka lembaran untuk jadwalnya minggu depan.
“Hari Rabu, pak. Di tempat yang kemarin,
sekitar jam delapan pagi,” ujar Yuli bersemangat, tertanda dari nada suaranya
yang meletup-letup.
“Baiklah. Bapak akan memberi tahu Sigit
prihal ini. Syukron ukhti!”.
“Afwan[1],
pak.” Yuli menutup pembicaraan itu. Dia memegang jantungnya yang berdentum,
senyum-senyum, memukul-mukul bantal, berguling-guling kegirangan ditempat
tidurnya yang besar. Seperti adegan di
drama-drama korea-lah, masa-masa hati kekasih wanita yang sedang
berbunga-bunga.
Walaupun
sudah dewasa, kalau urusan cinta, kelakuan bisa kayak remaja-remaja alay labil,
hohoho ^0^
***
Di kamar bernomor 327, kamar inap Andien
terdengar ramai. Abi, ummi, dan Sigit berguyon yang dibumbui tawa Andien. Bersyukur
kesehatan Andien pulih cepat, walau sewaktu-waktu akan kambuh lagi. Kemarin
sore sampai tengah malam Andien dapat melewati keadaan krisisnya. Anak kecil
itu sudah tidak terhitung berapa banyak harus menghadapi saat-saat nyawanya
hampir tercabut. Kesempatan hidup yang entah sampai kapan akan berakhir, sampai
para malaikat akan datang untuk mengambil ruh dari jasadnya. Sekarang, dia
masih bisa menyulam senyum ditengah jantungnya yang semakin melemah.
Andien bermanja di lengan umminya yang
ikut merebahkan badan di ranjang sempit itu. Selama ini abi dan ummi selalu
menemaninya tidur. Kekhawatiran penyakit akan kumat di malam hari, membuat ummi
tidak pernah membiarkan Andien tidur sendirian.
“Pengen banget deh, lihat abang
cepat-cepat nikah.” Celetuk Andien, menohok semua yang ada di ruangan itu. Sigit
yang diomongin mesam-mesem
salah laku.
Ummi bersegera mengangguk-ngangguk
setuju, “Betul. Tidak mungkin dong, abangmu yang kece badai guntur halilintar ini tidak punya gebetan.” Gaya ummi meniru Syahrihoi, ikut-ikutan menyindir Sigit.
Abi senyum-senyum menyimak aksi ummi dan Andien, dan tingkah Sigit yang
malu-malu.
“Sigi, itukan nama kakak
yang ummi ajak ngobrol tadi pagi,” Andien memancing lebih dalam lagi.
“Oh! Kok Andien tahu!!?”
ummi heran sendiri. Padahal tadi pagi, di koridor hanya mereka berdua.
“Bang Sigit saja tahu.” Andien mengerling ke arah abangnya yang duduk dekat
abi di sofa. Sigit girang, merasa menelanjangi abangnya untuk mengakui semuanya sekarang di depan
abi dan ummi.
“Kalian nguping ya?” Ummi pura-pura semakin terhenyuk, dia sudah tahu semua
cerita dari Sigi sendiri tentang semua yang terjadi. Dengan enaknya Sigi curhat
tanpa tahu ummi adalah ibu yang melahirkan dan merawat Sigit. Ummi bangkit dari
posisi tidurnya, mendekati Sigit, “Benar kamu kenal Sigi!?” tanya ummi, dia sengaja menyelidik
lekat-lekat muka anak sulungnya itu.
“Ya, saya kenal Sigi. Terus
masalahnya?” Sigit mau berkilah. Dia menghindar dari tatapan umminya
yang tajam.
“Enggak ada masalah apa-apa.
Biasa aja kelez…” Ummi sekarang berbahasa
anak-anak alay sambil berjalan meliuk-liuk kembali ke samping Andien.
Semua tertawa dengan gaya
ummi yang sok-sok kecentilan. Mengikuti perkembangan
bahasa gaul yang sudah merebak. Ummi gaul
juga ^0^.
Memang
sebagai pengemban dakwah harus tahu istilah-istilah anak muda yang lagi
ngtrend, agar nantinya nyambung ketika harus berhadapan dengan target dakwah dari
kalangan pemuda. Mengikuti perkembangan jaman perlu demi kelangsungan
dakwah, asalkan tetap dalam koridor syar’i.
“Aduh! Abi ketinggalan
informasi apa lagi ini!?” tutur abi yang dasar tidak tahu menahu.
Saat Sigit akan angkat
bicara, sudah capek dibombardir oleh ummi dan Andien, tidak ada celah untuk
melarikan diri lagi. Namun, tiba-tiba ummi mendahului, “Kalau suka, dilamar saja. Nanti
nyesal lho!”. Ummi dan Andien
saling tos-tosan, merasa menang sudah
memukul telak Sigit.
“Ooo...! Ada yang sedang jatuh cinta
ya...” tukas Abi yang kemudian ikut-ikutan menepukkan telapak tangannya dengan
telapak tangan ummi dan Andien.
“Sigi cerita apa sama ummi? Kayak ummi
tahu segala-galanya saja,” Sigit seolah ingin menguak isi hati Sigi melalui
ummi. Penasaran, Sigi sudah curhat apa saja tentang dirinya pada ibunya
sendiri.
“Kasih tahu enggak ya...?” ummi tiada hentinya
menggoda Sigit, malah semakin menjadi-jadi.
Sigit sabar menghadapi situasi itu,
karena kini hatinya lega, tidak perlu disembunyikan lagi, bahwa keluarganya sudah
tahu perasaannya, tahu siapa Sigi, dan yang paling penting mereka tahu kalau
Sigit menyukai Sigi.
“Tit...Tut...” pesan masuk. Sigit
membacanya, “Ukhti Yuli sepakat berproses lagi. Hari Rabu, pukul delapan pagi,
di tempat yang kemarin. Bisa?” .
“Insha
Allah, bisa.” Balas Sigit pasti, seperti mau bersegera menyelesaikan
perkara itu.
“Abi, ummi, saya mau memberitahukan
sesuatu. Ini tentang akhwat yang lain. Sekarang saya sedang proses ta’aruf
dengan dia. Namanya Yuli Evanti. Seorang dokter yang usianya tiga puluh tahun.
Cerdas dan cantik. Ini rekomendasi murrabiku. Bagaimana menurut abi dan ummi?” jelas
Sigit singkat. Ini waktu yang tepat juga untuk membeberkan tentang Yuli Evanti
pada abi dan ummi pikir Sigit.
“Semua keputusan ada ditanganmu, Nak.
Pilihlah yang terbaik menurutmu. Dan jangan lupa juga meminta petunjuk, meminta
untuk dipilihkan yang terbaik oleh Allah.” Saran abi bijaksana, selalu seperti
itu. tidak pernah memaksakan kehendak pribadi kepada anaknya, dan selalu
menyuruh anak-anaknya berdoa tentang segala keputusan yang akan diambil.
“Jangan sampai Allah memberikan sesuatu
kepadamu tetapi dalam keadaan murka. Ummi harap, cintamu pada Sigi bisa
berlabuh. Tapi akhwat itu juga punya hak yang sama untuk memiliki hatimu. Pertimbangkan
dengan baik-baik. Mintalah petunjuk yang maha kuasa. Ingat, baik menurut kita
belum tentu baik menurut Allah.” Pesan ummi sejalan dengan apa yang dikatakan
abi tadi.
“Terimakasih abi, ummi. Siapapun yang
saya pilih, mudah-mudahan itu yang terbaik menurut Allah dan menurut saya,
amin.”
Semuanya mengamini. Suasana berubah
menjadi sediki khidmat. Karena, ini bukan hanya tentang dunia, ini juga urusan
akhirat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
***
Esok hari...
Sigi dan Kinan duduk di kantin. Sarapan
pagi sembari menunggu kehadiran ummi dan Sigit. Tadi malam, diam-diam ummi
berkunjung ke kamar rawatnya Sigi untuk meminta pertemuan pagi ini. Sigi
terlihat gugup. Sepanjang malam sampai detik ini, dia tidak tenang. Dia terus
meremas-remas tangannya, kakinya tak henti bergerak untuk mengusir grogi.
“Gi, kamu baik-baik saja kan?” Kinan
memegang tangan Sigi menenangkan. Terasa dingin, bagai demam panggung.
Kinan tersenyum, “Bayangkan saat pertama
kali kamu melihat ustadz Sigit. Ketika dia belum mengenalmu. Santai saja...” himbau
Kinan yang memang juga tersadar situasi kali ini tidak akan pernah sama dengan
tempo lalu.
Sigi memejamkan matanya, mengatur ritme
napasnya, berusaha mengingat kembali kejadian di Masjid Raya Bogor, di acara
ODOJ yang terencana sempurna oleh Allah, yang mengantarkannya pada hijab dan
mungkinkah pada jodohnya juga. Sigi mulai bisa mengontrol dirinya. Sunggingan
seringai menandakan dia sudah menguasai emosinya.
“Kamu memang soulmate-ku,” Sigi memeluk Kinan bentuk rasa terima kasihnya. Kinan
membalas rangkulan best friend-nya
itu.
Best
friend forever. Cenang celalu bercamamu celamanya...hahaha ^0^
Ummi dan Sigit sampai. Berdua berdiri di
kejauhan, mencari letak duduk Sigi dan Kinan di tengah sekumpulan orang-orang
yang asyik makan pagi. Sigit menunjuk pojokan tepi jendela, dia tahu betul
paras Kinan. Pasti disampingnya adalah Sigi, posisi duduknya yang menghadap
Kinan membuat wajahnya tersembunyi.
Ummi menepuk pundak Sigit, “Siap?” tanya
ummi pada Sigit yang tampak masih was-was. Hari ini, hari yang dinanti, dia
akan berkenalan secara resmi dengan Sigi. Berpikir bagaimana dia harus bersikap
nanti di depan Sigi.
“Insha
Allah, ummi. Saya siap! Salah paham ini harus segera diluruskan,” tegas
Sigit. padahal dia tidak pernah mempermasalahkan anggapan Sigi yang keliru tentang
dirinya.
Malam
itu, ummi membeberkan semuanya. Tentang pribadi Sigi, perasaan sukanya pada
Sigit, dan Sigi yang mengira kalau Sigit sudah menikah dan punya anak yang
membuat Sigit tertawa saat ummi bercerita tentang hal itu. Dia berpikir betapa lucunya Sigi mengira
Andien adalah buah hatinya.
Ummi dan Sigit mendekat ke arah meja
tempat Kinan dan Sigi. Kinan langsung berdiri menyambut kedatangan tamu
terhormat itu. Sigi bangkit, berbalik dan membungkuk, “Assalamu’alaikum, nama saya Sigi, senang bisa bertemu lagi.” Sigi
berucap cepat tanpa intonasi dan jeda. Dia terus saja membungkuk, tidak kuasa
memperlihatkan wajahnya.
Sigit tertawa kecil, baru kali ini
menemui akhwat seaneh ini. Maklum, dipertemuan pertama dulu, Sigit di sambut
Sigi dengan pingsan dan berdarah-darah. Ummi menepuk lembut kepala Sigi seraya
membalas salamnya. Perlahan Sigi mendongakkan kepalanya, dan duarrrr... Sigit tepat berdiri
didepannya, dekat sekali. Sigit yang ulungnya pendakwah, orator, pembicara
forum, sangat mengendalikan situasi dan kondisi. Dia memperbaiki kacanya yang
tidak melorot dan bersapa secara singkat, “Saya Sigit.”
“Saya sudah tahu,” Sigi berani mengeluarkan guaruannya, sifat aslinya
mulai keluar. Kinan menyentuh tangannya, memberikan kedipan mata untuk menjaga
sikap, jaga image di depan ikhwan. Biasa
akhwat-akhwat, hehe ^0^ . Sigi nyengir melihat Kinan yang waspada dengan
pembawaannya yang Sigi banget dah.
“Saya juga sudah tahu kalau anti yang
namanya Sigi.” Sigit membalas candaan Sigi. Suasana cair. Mereka duduk, santap
pagi bersama-sama. Kecanggungan terkikis sedikit demi sedikit. Perkenalan resmi
yang ternyata tidak semenakut yang dianggap sejak awal.
Sigit harus pamit duluan, pulang ke
Jakarta. Kerjaan menumpuk di kantor. Jabatannya sebagai staf wakil menteri di
kementerian agama, tidak sembarangan untuk mengabaikan tugas-tugas yang harus
diselesaikan.
Sigi menengok kepergian Sigit. Dia
mentertawakan dirinya sendiri yang sudah salah mengira sebelumnya.
“Dia bujangan!” teriak Sigi histeris
dalam batinnya.
“Aku baik-baik saja, dan sepertinya akan
baik-baik saja jika dia memang bukan tercipta untukku. Aku sudah cukup bersyukur
kau bisa merasakan keberadaanku. Kau terlalu sempurna untuk kumiliki, karena
aku adalah perempuan yang biasa-biasa saja.”
Bersambung...
[1] Bisa juga berarti sama-sama
cie cie Sigit... >_<
BalasHapusliatnya buat Sigit n Sigi, indah..tp buat mb Yuli...sedih :(
aduh Yiq~~~~ sedih rasanya
gimana endingnya ya? hehehe.....
Hapus