Impian...
Rangkaian hasrat
maha dahsyat...
Laksana sihir yang patuh pada mantra...
Alohomora... Alerte Ascendare...
Sederet asa demi menanti sebuah kepastian...
***
Aku, Elma, seorang koleris yang sangat bersemangat
membahasa hal-hal yang tabu ketimbang membicarakan gosip para selebriti yang
mulai ngelantur dengan bahasa-bahasa ngawur. Kuliah semester awal di fakultas
bahasa dan sastra Inggris. Tahun ini, sweet seventeen menghampiriku. Tapi,
biasa saja, benar-benar tidak ada yang membuatku bergairah selain hadiah buku
seri ketujuh Harry Potter berbahasa Inggris pemberian mamaku. Aku bukan gadis
alay yang harus merayakan usia yang ke-17 kemudaian, uuuuuu.....aaaaa.... nampang tampil disalah satu program musik TV
swasta. Kalau dipikir-pikir mengapa orang-orang begitu senang dengan
bertambahnya umur? Bersyukurkah karena masih diberikan nafas untuk bertaubat?
Atau berterimakasih atas kesempatan untuk bermaksiat? Padahal, dimoment itu,
Allah dengan kerelaan-Nya akan mengurangi jatah hidup kita di dunia ini.
Aku penyuka cerita fiktif nan misteri, terutama
kisah-kisah sihir penuh intrik dan mistis. Ada sensasi getir yang berdesir di
aliran darah, saat aku asyik membaca ribuan lembar buku bertuliskan imajinasi
manusia tentang kekuatan-kekuatan, mahluk-mahluk aneh bin ajaib yang tidak
nyata. Ya, akulah pecinta berat sosok Harry Potter, penyihir ciptaan J.K.
Rowling.
Well... Well... sekarang
aku menanti kesempatan itu datang, berharap mendapatkan durian runtuh untuk
bertemu sang idola, menapak tilas bagaimana figurnya bisa dibentuk oleh pikiran
manusia yang terbatas. Mengandalkan perekonomian atau nama besar adalah sesuatu
yang mustahil kalau melihat kenyataan bahwa aku tergolong masyarakat tanpa kelas,
tanpa penghasilan dan tanpa kedudukan. Tapi, hanya ada satu cara membuat
obsesiku menjadi kenyataan, menulis. Aku aktif membuat tulisan-tulisan, bisa
dibilang karya-karya fiksiku banyak, namun ujung-ujungnya mereka tetap berakhir
di ruang gelap dalam lemariku, entah karena rangkain kataku jelek, tidak layak
muat, atau terlalu, terlalu bagus sampai-sampai tidak mungkin untuk dimuat. Tidak
nampak secuilpun ketertarikan penerbit buku, media online ataupun juri-juri
lomba untuk menayangkan sebaris kalimat dariku di wall website ataupun cuma di satu halaman buku mereka. Akan tetapi,
aku tidak akan menyerah, selalu ada jalan menuju Roma. Suatu hari nanti, akan
ada orang yang berkata padaku, “Welcome
in England.”
***
Harry Potter, tokoh fiktif karangan J.K. Rowling ini
sedang menatapku garang, bagai melihat Voldemort dihadapannya. Aku berdiri,
membalas tatapannya, tanpa gentar aku menantangnya, menduplikasi mantranya.
“Expecto patronum ...”
pekikku, melengking membahana ke seluruh sudut kamarku yang berukuran sempit.
Kuarahkan tongkat kayu kewajahnya yang super duper cute seolah mengeluarkan sinar petronus untuk mengusir dementor.
“Expelliarmus...” teriakku lagi. Tongkat sihir
akasia-ku kembali menunjuk-nunjuk mukanya, menyerangnya dan melucuti
tongkatnya.
“Vera verto...” lanjutku
histeris. Personanya
tetap tidak berubah, entah menjadi seekor tikus atau apalah. Dia masih Harry
Potter, penyihir berdarah murni, sang
penyihir sejati.
Poster itu, ya, hanya selembar poster berukuran
30x60 cm di tembok, tempat melampiaskan obsesiku untuk berjumpa dengan sang
pemeran utama. Gambar yang aku dapatkan dari sebuah majalah remaja, bonus untuk
edisi spesial tahun lalu. Kegilaanku pada novel sekaligus filmnya, membawaku
pada hayalan yang terlampau jauh. Kadang, saat aku menyendiri, pikiran yang
diamini oleh ragaku akan langsung bergaya meniru jurus-jurus sihir, entah berperan
sebagai Harry, Hermione, Ron, atau Jenny Weasley. Saat itu kulakukan, aku
berasa seperti sedang di Inggris, di sekolah sihir bergengsi, Hogwarts. Betapa
bahagianya, ketika secarcik foto Daniel Radcliffe itu, berpose dengan jubah
kebesaran Gryffindor seraya mengancungkan tongkat sihirnya, terpampang megah
diputih pembatas kamar, bersanding
dengan istana Buckingham dan menara big ben kebanggaan rakyat Inggris.
“Tunggu saja, aku akan datang menjamahmu!” jeritku,
menonjok-nonjok gemas gambar bangunan lambang Britania Raya itu.
***
Siang hari, suasana kampus fakultas bahasa dan
sastra terpantau lengang. Aku duduk seorang diri di kursi bawah pohon beringin
depan gedung jurusan sastra inggris. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi di
tengah terik yang menyengat, aku membaca khidmat lembar demi lembar buku tebal
ditanganku. Harry Potter And The Deathly
Hallows, novel pemberian mama, seri terakhir dari novel harry potter. Aku
menampilkan berbagai mimik muka, menggambarkan ada ketegangan, drama, dan misteri dikisah itu. aku semakin larut dalam cerita
yang tidak biasa itu.
“Deng... Deng... Deng...” Joana menyodorkan selebaran
kertas di atas bukaan buku, menutupi halaman yang sedang kubaca.
Aku mengerling kemudian mengambil kertas dengan
sedikit sebal karena Joana memotong konsentrasiku. Judul besar “England and wonderland” lomba menulis
kisah fantasi tentang inggris dua puluh tahun mendatang, DL 31 Mei. Aku
tergelitik, hasratku membuncah manakala melihat hadiahnya, fans meeting with J.K. Rowling.
“Keren!” seruku masih tertegun. Dalam hati aku
berharap, ini adalah gerbang awal yang ternganga lebar untuk berjumpa pujaan
impian. Tertuju pada sosok Rowling, dan lebih-lebih aku membidik tokoh yang dengan setia menempel
dikamarku, yang selalu legowo
meladeni sihir-sihir tiruanku.
“Kamu harus ikut, El! Pokonya harus! Kamu tidak
tahu, seberapa pengorbananku untuk mendapatkan selebaran ini? Aku bersusah
payah menerobos kerumunan orang-orang di departemen LITBANG sekretariat. Lihat!
Hak sepatuku sampai copot gini.” Tukas Joana panjang lebar membeberkan kronogi
peristiwa yang dialaminya. Bibirnya yang pink bermuda manyun memandang sedih
jinjit sepatu kesayanganya itu terlepas dari tempatnya melekat.
“Aduh... Aku jadi terharu atas perjuanganmu sobat.
Tapi, sorry... akhir bulan ini, aku
akan ke Rinjani di Lombok,” aku menguji kesabaran Joana, menunggu reaksinya,
apakah akan menyerah atau mengamuk tetap memaksaku berpartisipasi.
“Huffff... Setidaknya kamu harus mengganti sepatuku,
sekarang. Aku memang tidak yakin kalau kamu juga bakalan menang, tapi aku,
sebagai sahabatmu bisa mendengarkan jeritan batinmu tentang asa yang lama
terpendam untuk berada lebih dekat dengan idolamu itu. ya, meskipun bukan dia
hadiahnya, tapi setidaknya bisa bertemu penulisnya, itukan lebih seru,” gerutu
Joana seraya duduk sambil menunjuk-nunjuk gambar kartun Daniel di cover novel itu.
Darrr... aku terperenyak, tidak menduga Joana
mengerti diriku sedalam itu, suka menulis dan impianku duduk bersebelahan,
berfoto, dan minta tanda tangan dengan pemeran Harry Potter. Sejumput asa yang
jauh untuk anak indonesia seukuran aku. Aku merebut sepatu berhak patah
ditanganya, melihatnya lagi sekilas, “Oke... Aku akan mempertimbangkannya. Terima
kasih telah mengikhlaskan sepatu kesayanganmu ini. Suatu saat nanti, aku akan
menukarnya dengan sesuatu yang tak akan terlupakan olehmu.” Ujarku sangat
percaya diri, darimana datangnya keyakinanku yang berlebih tentang kesempatan
ini. aku merangkul manja Joana, karibku selama sepuluh tahun, mengenal betul
siapa aku.
***
Malamnya, aku membongkar file-file lamaku yang
tersimpan rapi dalam lemari. Hasil print
out karya-karya kecilku yang masih belum layak terbit. Aku memilahnya satu
persatu. Dengan kesabaran, aku mencari satu judul. Seingatku, aku menulisnya di
tahun 2000, menjelang usiaku yang kesepuluh. Saat pertama kali membaca novel
pertama, Harry Potter And The Pilosopher
Stone. Saat inspirasiku tentang inggris bermunculan diotaku. Aku menulis
cerita singkat ketika big ben dibajak para alien. Mengubah kiblat waktu bumi,
membuat kekacauan dibelahan dunia yang lain. Kemudian, stonehenge, situs megalitik terbesar dunia tiba-tiba
bergelantungan, melayang-layang di udara, dikendalikan oleh kekuatan mantra
yang luar biasa. Kisah penyihir alien yang kubuat sembarangan berbalut kutipan,
“Alien pun adalah penyihir. Manusia juga
penyihir. Lalu siapa aku?” Yah, inilah imajinasi anak ingusan, hasil pemikiran
yang tidak ilmiah.
Aku tersenyum bisa menemukannya kembali. Aku
merogohnya di tumpukan terakhir dari beberapa buntelan yang ada, gesit meniup
sehampar debu-debu halus yang menempel di bagian depan tulisan sekitar lima
halaman itu. aku mendekapnya senang, bagai bersua dengan kawan lama, menguak
memori masa kecil, membaca secara teliti kata-kata yang membentuk paragraf demi
paragraf itu.
Aku mulai mengedit tulisan usang itu, menambahkan
seluit kata-kata penambah makna dan mengurangi sederet baris yang tidak perlu.
Sampai tengah malam, mata kupaksakan untuk melek dan otak kuperintahkan untuk
berpikir lebih kreatif, menjalar kemungkinan rangkaian fantasi ini menjadi
menarik.
“Selesai...” desahku bahagia. Cukup bangga dengan
diriku yang sudah berusaha menyulap karya uzur menjadi sesuatu yang lebih fresh.
“Ya Tuhan, jika ini memang yang Engkau takdirkan, ijinkan
diriku dan temanku, Joana, menginjakkan kaki di tanah Britania. Bukankah, ini
adalah kado yang sempurna pengganti high
heels yang hilang?” doaku di sela pagi yang belum bersinar.
***
Satu bulan kemudian...
Negaranya ratu Elizabeth, begitu nama tenarnya.
Tidak kusangka, aku memijakkan kakikku disini, saat ini bersama sahabat
terbaikku. Sontak udara dingin khas benua
putih menyambut kedatangan kami, menerpa tubuh yang sedari lahir beradaptasi
dengan iklim tropis. Aku mengencangkan mantelku yang tidak terlalu tebal,
menggosok-gosok kedua telapak tangan untuk mengusir hawa salju. Joana
menggigil, tidak kuasa melawan dingin. Di bandara, kami terpaku, bingung bagai
balita tersesat di keramaian. Mataku melirik ke kerumunan orang-orang yang
sedang menunggu seseorang untuk dijemput. Di papan-papan itu tidak ada satu barispun
nama kami tertulis.
“El, yang jemput mana?” tanya joana dengan suara
yang sudah bergetar kedinginan.
“Mungkin mereka telat kali,” ucapku seraya menoleh
kesana kemari, sibuk mencari secarcik huruf atas nama kami.
“Telat? Kok bisa? Emang orang Indonesia yang sering
telat,” sindir Joana, sekarang dia menggandengku.
“Bule juga manusia. Tidak ada yang sempurna di dunia
ini. Orang Indonesia juga tidak semuanya suka molor.” Timpalku.
“Ohhhh! Itu namamu, El... Jemputannya sudah datang!”
Joana kegirangan, dia jingkrak-jingkrak melambai-lambaikan tangannya ke figur
perempuan pirang yang tersenyum melihat kami mendekatinya. Aku tersenyum,
mengeja sekali lagi sepotong papan itu, “Welcome
in England, Elma Salsabila.”
Akhirnya, hari itu datang juga. Hari dimana aku
mendeklarasikan diri untuk menjelajah negeri ini. Ya, kawan, aku memenangi
sayembara itu. Aku akan bertemu dengan pencipta sang penyihir fiktif,
J.K.Rowling. Aku mengajak Joana, melaksanakan janji yang sudah terucap. Banyak
agenda sudah kami rencanakan selama berdiam di negara persemakmuran ini. Buckingham Palace, Hampton Court Palace, Westminster
Palace, London Eye, Menara Big Ben, Tower Bridge, Madame Tussauds, dan Kew
Gardens, sederet tempat yang akan kami kunjungi. Khususnya Kew gardens, kebun botani nomer satu
dunia, tempat impian Joana. Kecintaannya terhadap tanaman-tanaman, membuat
Joana tidak henti-hentinya histeris membayangkan kalau dia akan memasuki
wilayah itu dengan dikelilingi bunga-bunga indah. Kami tidak sabar akan menaiki
London eye, menikmati panorama kota
london dari ketinggian 135 meter yang berdiri gagah di tepi selatan sungai Themes.
Namun, dalam buku catatanku, aku memiliki tempat
khusus yang tidak akan mungkin terlewatkan. Oke, tempat-tempat indah yang aku
sebutkan diatas adalah jajaran atas destinasi Inggris, tapi sebagai fanatik
Harry Potter, aku sudah menyiapkan satu hari full untuk merapah jejak-jejak historis kota penyihir. Warner
Bros Studios Leavesden Set Tour Hertfordshire, Harry Potter In Great Britain London
dan Oxford, Kastil Alnwick, hogwarts school,
serta yang paling membuatku
berdebar-debar, aku akan menapaki setiap jengkal lokasi yang menjadi saksi bisu
terlahirnya novel bersejarah itu, Edinburgh,
Skotlandia, The Elevent House, kafe tempat Rowling
menyusun draft untuk buku pertamanya. Ya, di kafe inilah, fans meeting akan digelar, seakan mengenang kembali awal bukunya tertulis.
Kami tiba
dihotel, Citadines London Trafalgar Square Hotel. Kamar gratis yang cukup luas dengan jendela menghadap hamparan kota. Indah sekali, london
berbalut futuristik, kota kuno yang antik. Hari beranjak malam. Esok menuju ke
Skotlandia, akan ada pertemuan dengan J.K.Rowling dan beberapa fans terpilih
dari negara-negara lain. Kami bermalam mengusir capek, menanti besok yang lebih
menyenangkan.
***
Pagi menyinsing. Liburan
sesungguhnya dimulai, mimpi yang sekian lama terajut indah di hayalan, hari ini
akan menjadi gelaran kenyataan yang tak akan terlupakan. Aku dan Joana berpisah
di lobi hotel, kami memiliki tujuan masing-masing. Joana akan histeria dengan
sederet kemegahan London, dan aku akan asyik menikmati keunikan Skotlandia.
Menaiki
bus dengan rombongan peserta fans meeting,
bersua dengan teman-teman yang memiliki kegemaran sama. Tiada henti kita
bercengkrama, setelah perkenalan singkat pertanda basa basi pertemuan pertama.
“Skotland, I’m comming...” teriakku
membatin. Kami tiba, kini dihadapanku nyata, tegap berdiri bangunan sederhana
namun penuh historis bagi kami,
The Elevent House.
Meski hanya pembaca setia, tapi kami merasakan jerih payah J.K.Rowling
menumpahkan segala kemampuannya untuk
menghasilkan karya terbaiknya, di tempat ini.
Kami memasuki kafe itu dengan tertib, satu-satu duduk dikursi yang sudah
disediakan. Aku tidak mau kalah, posisi terdepan harus kudapatkan. Aku ingin
melototi Rowling selayaknya dia adalah jelmaan Harry Potter, walau keinginan
terbesarku adalah didepanku sesungguhnya adalah Daniel Radcliffe.
Pelaku
utama pertunjukan muncul setelah beberap menit menanti. Sontak tepuk tangan
membahan di ruang sesak itu. dengan anggunnya Rowling menempati singgasananya. Seorang
ibu rumah tangga tulen dengan daya hayal sangat tinggi yang kini menjelma
menjadi orang terkaya di Inggris.
Fans meeting berlangsung lancar. Pertanyaan-pertanyaan
yang menggelayut dipikiran kami selama ini terjawab sudah. Kami seakan lebih
mengenal sosok Rowling secara lebih dekat. Tatap muka yang diakhiri dengan
tanda tangan gratis. Walaupun berat, aku membawa semua koleksi novel Harry
Potterku untuk dibubuhi coretan tangan Rowling. Hebohnya, aku mendapat pelukan
nyonya penyihir. Setitik memori yang akan selalu terpatri dalam hidupu, dan
memberiku inspirasi untuk terus berkarya meski akan berakhir di rak gelap
lemariku.
“Seandainya Daniel juga ada disini, pasti hari ini
akan sempurna.” Seruku dalam hati, masih menumpahkan hasrat terpendamku.
Setelah
selesai acara di The Elevent House, kami
serombongan diajak menjelajah sekolahnya
para penyihir terpilih, hogwarts school. Sekolah ini ternyata benar-benar ada, bukan
rekayasa teknologi. Sebuah Kastil di Alnwick, Kastil tersebut adalah
kediaman bangsawan Inggris yang masih tegak berdiri kokoh sejak abad ke-13 dan
merupakan kastil terbesar kedua yang ada di Inggris. Bangunan yang besar
berdiri kokoh dengan gaya arsitekstur khas gothik Inggris kuno. Aku terkagum-kagum,
tidak menyangka bisa menjamah bangunan ini. Aku menginjak rumput lapangan
tempat Harry berlatih sapu terbang, aku memasuki perpustakaan bertumpuk koleksi
buku-buku yang dibaca para penyihir. Dan kami dibolehkan menaiki menara tertinggi,
sehingga dapat menikmati kastil megah itu.
Dua
jam kami melihat semua sisi bangunan itu. saat melewati lorong keluar menuju
pintu utama. Mendadak aku melihat bayangan masuk ruangan sebelah kanan. Aku terdiam,
kemudian memisahkan diri dari rombongan. Rasa penasaran teramat besar untuk
dihentikan oleh ketakutanku. Aku diam-diam menengok ruanga itu, ternyata ini
adalah ruangan rahasia dalam film Harry
Potter and the Chamber of Secrets. Aku berdecak mengawasi setiap sudut ruang.
“Oh My God...”
desahku. Bayangan itu kini berdiri didepanku, melayang-layang. Herannya bulu
kuduk-ku tidak berdiri, malah aku
menghayati suasana seram itu. Bayangan itu mengelilingi seraya tertawa. Aku membalas
dengan senyuman termanisku, melambai-lambaikan tanganku tanda perjumpaan.
“Hello, Harry...”
ucapku pelan, sosok Daniel Radcliffe itu tiba-tiba terdiam. Badannya yang
transparan sekarang menatapku garang, sama seperti pose di posterku lengkap
dengan jubah dan tongkat sihirnya. Aku membalas tatapannya, tanpa takut. Dan “Bruggg....”
Aku terkulai, pandanganku kabur, gelap.
***
Aku
tersadar, menemukan diri tergolek di tempat tidur rumah sakit. Berbagai ekspresi
wajah sekarang menatapku. Ada yang memandang kasihan, ada yang menggebu
penasaran ingin mengintrogasiku tentang apa yang terjadi. Dan akau hanya
tersenyum, bersyukur mereka menemukan, dan bahagia bisa bertemu Daniel Radcliffe
meski itu adalah sebuah jin yang menampakan diri mirip seperti pemeran Harry
Potter itu.
“Impianku
terwujud! Menginjakkan kaki di Inggris, berjumpa J.K.Rowling, dan bertemu Daniel
Radcliffe.” Aku menjerit dengan bahasa Indonesia, membuat orang-orang di
bangsal rumah sakit itu tertawa heran dengan kekonyolanku.
***
Aku
balik ke london. Di hari terakhir kami di Inggris, aku dan Joana sepakat akan
menaiki London eye. Diketinggian 135 meter kami menikmati kota London sembari
berdekapan, terharu bahwa kini mimpi itu menjadi kenyataan.
-the end-
Jenny Weasley?? :)
BalasHapusoh yah ... link si guri ngomong inggris dong Yiq :)
BalasHapus