penulis : Jang Yiq
Cerita singkat bag.2
Sigi
di vonis mengidap kanker lambung, membuat tante Dewi dan om Adam terhenyak
menerima kenyataan yang mendadak itu. Sedangkan Kinan belum mengetahui kondisi
Sigi. Dia sudah cukup terguncang dengan keadaan Sigi yang masih belum siuman.
Bahkan dokter Fahri pun tidak menduga
secepat itu maag kronis Sigi berubah menjadi benjeolan ganas.
Bayangan
Sigi menghantui Sigit sepanjang hari. Persitiwa tak terkira di ahad pagi itu, membentuk
Sigi dalam pikiran dan mimpinya, seolah memiliki tempat tersendiri. Sigi
membawa Sigit pada satu rasa baru dalam hidupnya, rasa suka, meski sesungguhnya
Sigit belum menyadari sepenuhnya.
***
Rumah sakit Harapan bangsa, pukul 01.00 am
Sigi kembali berbaring di kamar rawat,
setelah selesai dilakukan scanning pada tubuhnya. Kinan tak sejengkalpun
meninggalkannya kecuali untuk sholat. Dia tetap setia menunggu Sigi sampai
matanya akan terbuka. Dia terus memperhatikan muka Sigi yang tak berekspresi. “Ayo,
bangun! Kumohon...” jerit Kinan dalam hatinya seraya membenamkan wajahnya ke
kasur Sigi, akan memasuki dini hari, mata Kinan tampak tidak lelah dan
mengantuk. Staminanya, seolah di cahrger full semenjak pagi, untuk
membuatnya bertahan sampai Sigi mau bangkit dari mimpi buruknya.
Pintu kamar terbuka. Rupanya tante Dewi,
Om Adam, dan dokter Fahri. Tampak mimik mereka tidak wajar. Tante Dewi terlihat
masih di topang om Adam. Mereka kemudian duduk di sofa panjang di sudut kanan
ruangan. Kamar rawat nan mewah ini, memang sangat besar. Dilengkapi berbagai
macam perkakas. Sofa, kulkas penuh makanan, TV, AC, kamar mandi pribadi, bahkan
tempat tidur khusus pengunjung. Kinan tidak menyadari kedatangan tante Dewi, Om
Adam, dan dokter Fahri. Dia tetap menundukkan kepalanya di samping badan Sigi.
Pantas saja Kinan tidak berkutik...dia
tertidur. Baterainya lobet…^0^
“Kalau, Sigi belum juga siuman, besok
kita akan melakukan operasinya,” ujar dokter Fahri meyakinkan orangtua Sigi.
“Ini, tidak bisa ditunda lagi. Aku minta
persetujuan kalian.”
lanjut dokter Fahri menyodorkan formulir persetujuan wali. Om Adam
menandatangani surat itu, tanpa membacanya kembali, karena sudah sangat percaya
pada dokter Fahri yang merupakan sahabatnya selama puluhan tahun. Om Adam tahu,
Sigi sudah dianggap anaknya sendiri oleh dokter Fahri. Pasti dia akan melakukan
yang terbaik untuk kesembuhan Sigi. Tante Dewi Cuma mampu mengangguk-ngangguk
sepakat dengan suaminya. Pita suaranya sudah berantakan untuk bisa menghasilkan
bunyi.
Dokter Fahri pamit. Dirasa seluruhnya sudah menemukan titik
sepakat. “Semuanya akan baik-baik saja.
Jadi, tolong jangan khawatir!” harap dokter Fahri sebelum keluar dari ruangan
itu. Sepertinya tante Dewi agak tenang dengan seruan itu. Dia mengusap-usap
matanya yang sembap sembari menghampiri Kinan yang mendengkur. Om Adam, mohon
diri pulang mengambil barang-barang Sigi yang diperlukan selama di rumah sakit.
Sedangkan adik Sigi, di jaga baby sitter.
“Nan...” suara lembut tante Dewi, dan
sedikit sentuhan di pundak membuat Kinan tersentak.
“Tante, bagaimana hasil pemeriksaannya?”
Kinan serta merta menanyakan kegundahannya selama beberapa jam ini.
“Besok, Sigi akan di operasi,” lirih tante Dewi.
“Operasi? Tante, sebenarnya Sigi sakit
apa?” mata Kinan mulai berkaca-kaca,
ditahannya untuk tidak tumpah. Firasatnya mengatakan
ada sesuatu yang buruk menimpa Sigi.
“Sigi, kanker lambung. Maag kronisnya
memicu daging tumbuh pada alat pencernaanya. Itu, harus segera diangkat,
Nan...” tante Dewi dengan hati-hati menjelaskannya. Dia cemas Kinan akan
semakin terpuruk.
“Aku percaya, Sigi bisa melewati cobaan
ini, tante. Allah tidak akan membebani hambaNya melamapui batas kemampuannya.”
tukas Kinan. Dia melanjutkan sekenario ketergarannya di depan mama Sigi.
Sementara itu, hati kecilnya terdengar gaduh dengan jeritan tangisnya.
“Kamu jangan seperti Sigi, ya...Jaga
kesehatan, atur pola makan, dan rajin-rajin berolahraga. Kamu sudah makan?
Tante lapar...” cakap tante Dewi sambil beranjak mengambil makanan di dalam
kulkas. Dia mengeluarkan sejumlah roti, biskuit, buah-buahan dan sebotol susu
segar. Kinan, lekas menyerobot makanan di tangan tante Dewi yang kewalahan
memegang semuanya. Bersemangat Kinan memakan santapan itu untuk membesarkan
hati tante Dewi. Tante Dewi puas memperhatikan nafsu makan Kinan yang tidak
berkurang kendati tertekan.
“Tante, boleh saya menginap malam ini?
Saya mau berada disamping Sigi sampai dia terjaga.
Tante, tenang saja, saya akan minta ijin pihak kampus, dan juga saya sudah memberitahu mama, please… ”
mohon Kinan di sela-sela makannya. Dia memasang muka
memelas seraya menguncupkan kedua tangannya. Tante Dewi mesam-mesem geli
setelah seharian ini diselubungi kesedihan.
Ehh…Kinan
bisa membuat sedikit sunggingan senyum di bibir tante Dewi. Hebat….kalah Sule.
Tepuk tangan dong, buat Kinan!.
Kinan dan Sigi adalah dua
sejoli yang sangat merekat. Bak di tempel lem Altekong, susah sekali untuk
dipisahkan. Mereka berkarib sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. Bisa
dibilang tidak terpisahkan sampai perguruan tinggi. Tumbuh bersama, dan
memiliki banyak kesamaan. Hobi traveling,
makanan favorite “Tahu Tek-Tek”, film
kesukaan “Home Alone”, mereka berdua
tidak berbeda. Namun prinsip dan penampilan jauh dari kata serupa. Tatkala
memasuki kuliah, Kinan memilih menjadi pejuang dakwah kemudian menutup aurat,
sedangkan Sigi memutuskan untuk menjadi anak media reportase yang tetap stylish dan gaul. Kendati berbeda jalur,
tetap saja mereka bagai anak kembar siam. Selagi Kinan sibuk dengan agenda
syuro[1] dan
berbagai kegiataan religi, Sigi tidak pernah risih untuk meliput jalannya acara
Kinan, lamun dipaksa mengenakan hijab ala-ala tengkorak. Bayangkan hijab yang hanya menutup kepala dan leher itu!. begitupun
juga, momen Sigi untuk meliput banyak berita sebagai sebaris kata dan sepenggal
kalimat di majalah kampus, Kinan senantiasa menolong biarpun sekadar sebagai
editor kacang-kacangan. Semakin beranjak dewasa, tidak terhitung berapa banyak
perselisihan yang terjadi. Mulai dari kesalahpahaman sampai perbedaan pendapat.
Tapi acap kali berhasil mencapai kata sepakat. Tidak ada masalah yang tidak
bisa diselesaikan, selama rasa empati itu masih menepel di jiwa dan raga. Namun
satu hal yang tidak akan mereka perdebatkan, tipe suami ideal. Kinan, jelas
akan berkiblat pada para ustadz hanif, maka Sigi sudah tentu akan condong ke
para pria macho berwajah rupawan. Dan inilah persahabatan. Berbeda tapi tetap
satu.
Sahabat adalah seseorang yang ada
di kala kau terjatuh dan hadir di setiap kau berbahagia. Sahabat adalah orang
yang mampu mendengarkan lagu di dalam hatimu, dan ikut menyanyikan lagi saat
kau lupa liriknya, Katanya Rons Imawan dalam bukunya “The fabulous Udin” , Mantap
!!. selamat hari persahabatan!!! Emang ada? ^0^
***
Besok hari, Senin, pukul 08.00 am
Sigi tetap memejamkan
matanya. Tim dokter yang dipimpin dokter Fahri sudah siap akan melakukan
operasi. Kembali Sigi harus dipindahkan dari kamar rawatnya. Sejumlah perawat
mendorong ranjang Sigi untuk ditempatkan di ruang operasi. Kinan, tante Dewi,
dan om Adam, harap-harap cemas mengikuti Sigi yang akan memasuki ruangan yang
entah, tidak ada yang tahu, dia akan keluar dengan selamat atau hanya tinggal
nama.
“Kami minta doanya, semoga
operasi ini berjalan lancar. Kami akan berusaha maksimal,” ucap dokter Fahri,
sesaat sebelum memulai pembedahannya. Kinan, tante Dewi, dan Om Adam, menunggu
di depan kamar maut itu. Kinan, duduk sayup, layaknya menunggu kedatangan mempelai pria. Dia
lebih suka menyendiri, menunduk untuk menenangkan hatinya yang berkecamuk sembari
terus berdoa tiada henti untu keselamatan soulmatenya
itu. Tante Dewi dan om Adam saling berangkulan, bagai sepasang sahabat yang tegang
menonton pertandingan bola.
Dua jam lewat,
lampu merah di atas pintu ruang operasi masih menyala terang. Tiada rasa jemu
menghampiri Kinan dan orangtua Sigi. Raut Kinan makin resah, terlalu lama
menurutnya, cuma mengangkat sekutil kanker. Dia mulai mondar-mandir. Giliran tante
Dewi, yang sudah mulai bisa mengontrol tangisnya, mendekati Kinan untuk
menenangkannya. Memeluk Kinan yang masih memasakan diri untuk tegar. Di saat
emosi mereka tidak menentu, lampu yang selalu dinanti kepadamannya, akhirnya
menurut. Lampu merah itu redup. Dan lima menit kemudian, sosok dokter Fahri
muncul dari balik pintu. Dengan gagahnya, dan senyuman merekah cukup sebagai
penanda kalau pembedahannya berhasil. Kinan melelehkan air matanya yang selama ini disuruhnya membeku. Dia
serta merta sujud syukur layaknya Evan Dimans dan kawan-kawan yang baru saja
menjebol gawang lawan. Jebretttt!.
Tante dewi dan om Adam merangkul bahagia dokter Fahri, sohib mereka. Mereka menghembuskan napas lega. Sebahagia tatkala TIMNAS U-19 Indonesia menang telak melawan TIMANS U-19 Korea Selatan.
Kenapa
dokter Fahri tidak akting seperti di sinetron-sinetron? Pura-pura pampang muka
sedih, manyun, geleng-geleng kepala, gagal menyelamatkan peran utama. Dan kemudian,
jingkrak-jingkrak senang, berhasil membuat sang keluarga berdebar-debar. Atau tokoh
utama beneran mati, Dan
beberapa episode selanjutnya, muncul pemeran lain yang mirip tokoh utama atau
kembaran tokoh utama yang berpisah sejak bayi karena penculikan…hohoho ^0^
“Alhamdullilah, kankernya berhasil
diangkat, dan kabar baiknya, Sigi tidak perlu menjalankan kemoterapi, karena sel-sel kankernya
belum sempat menyebar. Untung benjolan itu dideteksi dini dan segera dilakukan operasi,”
terang dokter Fahri sumringah. Kinan, tante Dewi, dan om Adam
mengangguk-ngangguk tak mampu bercakap-cakap.
“Kami tetap akan mengontrol kondisi
Sigi, sampai benar-benar pulih.” Lanjut dokter Fahri yang juga turut
berbahagia.
Pagi itu, seakan semua beban terangkat. Ringan sekali perasaan mereka bertiga,
sekarang. Tiada henti ucapan syukur mereka panjatkan. Sekarang sunggingan
senyum tertulus itu kembali menghampiri bibir kinan setelah seharian kemarin,
Kinan harus bersandiwara dengan senyuman palsu.
“Terima kasih, ya…Allah…atas
kesempatan kedua-Mu.” lirih Kinan dalam batinnya yang ramai dengan sorak sorai
kegembiraan.
***
Pukul 16.00 pm di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia, Depok
Hembusan angin, lembut
menerpa raga mereka. Kesejukan terpancar dari jejeran pohon-pohon menghijau di
tepian danau. Air danau yang tenang, bening, menambah keelekon pemandangan asri
masjid yang berada di tengah-tengah kampus itu. Sholat ashar berjamaah telah
usai. Wajah-wajah berseri para jemaah meninggalkan masjid dengan tenang, dan
ada yang memilih berdiam untuk sekadar istirahat sembari membaca buku atau
kegiatan berguna lainnya. Sekawanan laki-laki bercelana di atas mata kaki
tampak membentuk lingkaran di selasar masjid. Tepatnya enam orang sedang
bersiap-siap akan memulai kajian rutin mereka setiap sekali seminggu. Terlihat
Sigit hadir di tengah-tengah liqo’[2] itu. mereka
barang waktu mengadakan pertemuan di rumah Allah itu. Murrabi mereka yang
merupakan dosen bergelar profesor di UI, sering menganjurkan tempat itu.
Memang tempatnya asyik, Coiii…Seandainya di
tepian danau ini bukan masjid, mungkin sudah jadi tempat favorit kencan para
mahasiswa-mahasiswi.
Memang harus begitu tugas seorang ketua!.
“Alhamdullilah, lancar,
bang…” jawab Sigit mantap. Halaqoh[6] ini
sangat berasa kekeluargaan. Tidak ada yang memanggil akhi[7]
maupun antum[8].
Mereka membawa tata krama persaudaraan. Yang lebih tua dipanggil abang, yang
muda cukup sebut nama atau ada embel-embel “dek…”.
“Bagaimana akhwat-akhwat di
Bogor? Tidak adakah yang membuat hatimu kecantol?” Fahmi mulai usil. Maknae[9] ini
suka menggodai abang-abangnya, terutama Sigit yang masih belum mendapatkan
tambatan jiwa. Walaupun Fahmi paling muda di kelompok itu, tapi Fahmi lebih
berani melepas masa lajangnya sejak setahun lalu.
Sigit mesem-mesem, berusaha
menutupi hatinya yang sedang gundah gulana. Sebenarnya, ingin sekali dia
memuntahkan semua apa yang ada dibenaknya, tapi ini belum waktunya untuk
menceritakan keadaan yang sedang menimpa dirinya.
“Kalau sudah ada, pasti ana
bagi-bagi ceritanya.” tukas Sigit bernada canda, sengaja untuk membuang curiga,
bahwa memang tidak dapat dipungkiri kalau hatinya sekarang sedang berwarna
warni bagai pelangi di siang hari.
Hahahaha…^0^
Fendi, Fahmi dan ketiga kawan
lainnya terbahak-bahak, tidak bisa dikelabui. Semuanya sudah berpengalaman
kecuali Sigit. Sangat tahu kalau Sigit sedang bergejolak. Mereka tidak mendesak
Sigit untuk mencurahkannya hari ini, mereka akan sabar dan sabar menunggu,
sampai tabir itu terungkap dengan sendirinya.
Mata adalah cermin hati. Benar enggak sih? ^0^
Sigit menciut, lagi merasa
kerdil di hadapan teman-temannya, setelah kemarin disudutkan oleh kedua
orangtuanya. Untung murrabi datang, memecahkan keriuhan. Menyelamatkan Sigit
dari keterperosokan olokan yang makin dalam. Murrabi yang telah dianggap
sebagai ayah kedua bagi Sigit dan teman-temannya. Beliau tidak hanya
memposisikan dirinya sebagai guru. Sifat kebapakaannya membuat anak-anak
binaannya merasa nyaman untuk curhat. Bahkan tidak jarang juga, beliau berperan
menjadi teman, sebagai lawan bercanda dan bermain. Bersegera mereka terdiam,
menyambut kedatangan sosok yang disegani. Agenda utama dimulai. Mengawali
dengan pembukaan, dilanjutkan dengan pembacaan Al quran, taujih[10]
singkat, sirah nabawiyah, dan materi utama, berlangsung khidmat. Keseriusan
ekspresi menyimak penyampian sang murrabi. Kegiatan liqo’ ini, sesuai kebiasaan
akan diakhiri dengan sholat magrib berjamaah di masjid itu. Sesudah zikir,
mereka berkumpul lagi untuk pamitan, saling merangkul ala “bromence : brother romance” saling mengikatkan kasih sayang
diantara mereka. Kecuali Sigit yang berdiam di masjid. Tadi murrabi memberi
isyarat lirikan untuk tetap tinggal.
Selepas dirasa aman, mereka
duduk bersila di dalam masjid. Murrabi mengeluarkan amplop coklat, dan Sigit
sudah pasti paham maksud dan tujuan gurunya itu.
“Coba dipertimbangkan, Nak…”
pinta murrabinya. Ini adalah biodata keempat yang diterima Sigit. Namun, ketiga
yang lalu dia tolak, karena setelah melalui beberapa pertimbangan, Sigit merasa
akhwat yang direkomendasikan pendidiknya itu tidak sesuai dengan apa yang
dikriteriakan. Sigit menerimanya. Dia membuka pelan isi amplop itu didepan
murrabinya. Terpampang foto full
badan dan kertas yang bercoretkan biodata. Sigit membacanya sekilas, “Syukron.
Ana akan istikharoh dulu, Pak…” Sigit memasukkan biodata itu keranselnya.
“Baiklah. Bapak akan
menantikan jawabanmu. Akhwat ini, bapak menjaminnya, dia yang terbaik.” Tegas
murrabi menepuk halus pundak Sigit. Sigit mengangguk, memberikan kepastian
dengan pertimbangannya. Walau terjadi pertarungan
batin, Sigit meski bersikap adil. Tidak ingin mengedepankan perasaan yang
mungkin hanya sesaat, dan mengabaikan akhwat yang terbaik menurut murrabinya.
“Tetapi
boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh
jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui, (QS. Al-Baqarah :216)”^0^
Sigit membuka lagi biodata akhwat itu.
Dia mencermati setiap detail yang tertulis di kertas itu. nama, dr. Yuli
Evanti. Bekerja sebagai dosen di
fakultas kedokteran UI. Usia 30, tiga
tahun lebih tua dari Sigit. Itu bukan persoalan untuk Sigit, kriteria umur
tidak masalah,
dia lebih muda atau lebih tua dari dirinya. Kemudian, dia mengalihkan
perhatiannya ke helaian foto 4R. Nampak anggun, cantik, dan tinggi berbalut
sopan dan syar’i.
“Pintar,
pula. Tidakkah dia terlalu sempurna untuku?” Sigit berdecak kagum, takjub walau
sekedar secarcik gambar. Sigit tertegun, tanpa diminta, Sigi, lagi, lagi, dan lagi
ada dipikirannya. Gambarannya begitu nyata, senyata foto akhwat yang ada
dihadapannya. Sigit terlena sejenak, namun segera sadar dan menepis bayangan
yang tidak sepatutnya dikhayalkan. Seseorang yang tidak halal untuknya. Dia
kesal pada dirinya yang tak mampu menahan nafsunya. Sigit menepuk-nepuk pipinya
sendiri supaya tersadar, “Asstagfirullah...Asstagfirullah...Asstagfirullah...”
gumamnya menyesal. Dia kembali pada akal sehatnya, memandangi foto akhwat itu
lagi lekat-lekat. Sigit menarik napas dan menghembuskannya, memejamkan mata,
mensingkronkan pikiran dah hatinya agar tertuju pada gambar akhwat yang ada
didepannya.
“Baiklah. Aku akan meminta petunjuk
Allah.” Sigit memantapkan hatinya. Siapa tahu dialah bidadari yang benar-benar
ditakdirkan untuknya.
Diseperempat malam, sigit sungguh
melakukan istikharoh. Dia merendahkan diri, mengangkat kedua tangannya,
menggunakan bahasa yang halus nan menyentuh, Sigit meminta Allah mencurahkan
tanda-tandaNya.
“Ya Allah, jika benar akhwat ini adalah yang Engkau pilihkan untukku, maka dekatkanlah dia kepada hamba. Berikanlah isyarat
yang meyakinkanku, andaikata dia bakal calon istriku.” Sigit terus merengek di
hadapan Allah, sampai malam yang diselimuti gelap, tersingkap menyambut
datangnya subuh.
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar
sedikit coretan darimu sangat berarti untukku menjadi lebih baik lagi. apapun itu tumpahkanlah isi pikiranmu tentang tulisan ini, terimakasih