Penulis : Jang Yiq
Cerita singkat bag.1
Sigi amat bergairah ahad pagi itu. Rupanya dia dan sahabatnya, Kinan, akan menghadiri acara ODOJ (One Day One Juz) di Masjid Raya Bogor. Usaha Kinan tidak sia-sia, Sigi memakai hijab yang membuat Kinan sangat terharu. Walau alasan kedatangan Sigi di acara itu, karena ucap Kinan tentang ustadz pengisi acaranya yang cakep badaiii...!.
Benar adanya, ustadz Sigit mampu menghipnotis Sigi. Penampilannya yang bak karikatur ikhwan, persis, dengan muka halus bersihnya yang sedikit berjenggot, plus, pakai kacamata yang meninggikan derajat karismanya. Wuih...Pesona ustadz Sigit membuat satu jam, dua jam berasa satu menit, dua menit. Sigi amat menikmati ceramah itu. Sampai tiba-tiba, rasa nyeri menghinggapi perutnya. Maag-nya kambuh. Tidak ingin membuat Kinan khawatir, Sigi ke kamar kecil tanpa di antar Kinan. Dia meraung kesakitan sendiri, muntah darah, dan pingsan. Kinan yang terlambat menyadari situasi itu, menemukan Sigi sudah tergolek tidak sadarkan diri. Ustadz Sigit yang berada di tempat kejadian, di saat situasi darurat, ustadz Sigit tanpa pertimbangan Mahram, langsung membopong tubuh mungil Sigi ke dalam masjid sembari menunggu ambulance. Kinan merengek, menyesali kelalaiannya.
Kini
Sigi terbaring lemah di ruang gawat darurat...
***
Kinan masih berdoa. Lama sekali. Sangat
berharap Tuhan mengabulkan permintaannya yang begitu sederhana. Kesempatan
kedua untuk Sigi. Ya...Kehidupan baru setelah kejadian ini berlalu. Sebenarnya,
ini bukan pertama kali, Kinan, melihat tubuh Sigi di bopong ke rumah sakit. Tiga
bulan yang lalu, Sigi tertatih-tatih di papah papanya ke Rumah Sakit yang biasa tempat dia dirawat. Sigi
masih sempat bercanda denganya, walau lambung nyeri hebat. Bisa tertawa
cengengesan, meski perutnya bagai terlilit erat tali ususnya sendiri. Sigi
memang kuat, pantang terlihat rapuh dan lemah. Shocknya Kinan kali ini, Sigi
berdarah dan hilang kesadaran.
Handphone Kinan bergetar, tanpa bunyi nada dering. Terpampang nama mama
Kinan dilayar, Tante Dewi.
Kinan mengusap-usap matanya yang masih basah, mengatur
napasnya sebelum memencet tombol terima. Menghirup udara dan menghembuskannya
kembali.
“Assalmu’alaikum,
tante...” Kinan mengawali percakapan. Suara Kinan sekarang sudah kembali seperti
sedia kala, terdengar riuh dan gemuruh.
Pintar akting, dia…! ^0^
Pintar akting, dia…! ^0^
“Wa’alaikumussalam...Nan. Sekarang, kamu lagi dimana,
Nan? Sigi sudah dipindahkan ke
Rumah Sakit Harapan Bangsa ke kamar
inap nomor 27..” suara
mama Sigi terdengar sedih.
“Di Musholla, tante…Ya,
Kinan segera kesana!” jawab Kinan sigap. Dia berpikir, kapan
tante Dewi memindahkan Sigi ke
rumah sakit itu. Memang, Harapan Bangsa ibarat rumah kedua bagi Sigi. Ada
dokter Fahri di sana. Dokter yang sangat faham betul riwayat penyakit Sigi. Dokter
Fahri sudah menangani Sigi semenjak tiga tahun lalu, saat maag Sigi meningkat ke
level serius. Dia juga sudah akrab dengan perawat-perawat di rumah yang
dipenuhi orang tidak sehat itu. Bahkan, Sigi akan cukup terkenal di kalangan
pasien-pasien lainnya kalau dia sudah menginap di kamar rawatnya. Bila rasa
nyerinya sedikit lenyap, Sigi akan mulai belusukan ke setiap bangsal yang
pintunya terbuka lebar. Sigi tidak akan mau berdiam diri kalau sedang di rumah
sakit. Bercanda, tertawa dengan pasien lain yang senasib, membuat rasa sakitnya
serasa menghilang, meski tidak benar-benar hilang.
Kinan cepat menanggalkan mukena yang sudah lengket dibadan.
Bayangkan, satu jam, Kinan
tepekur di dalam Musholla. Debak!!
Kalau bahasa koreanya.
Kinan berjalan cepat, tapi bukan seperti orang terburu-buru menapaki lorong
rumah sakit islam Siti Hajar menuju gerbang keluar. Dicarinya taksi, tapi tidak
satupun yang ada. Kinan berdiri cukup lama di pinggir jalan, dia nampak
memencet nomor taksi yang kadang-kadang dia naikin. Motornya, Kinan tinggalkan
di Masjid, Inshaa Allah aman. Siapa yang berani mencuri di rumahnya Allah?.
Kalau ada, sungguh terlalu!! pakai gaya Rhoma Irama.
Maaf, bang H. Rhoma, pinjam kata-katanya dulu !
Maaf, bang H. Rhoma, pinjam kata-katanya dulu !
Lima menit pergi, menapaki enam, tujuh
menit, Kinan tetap mematung di tempat. Dia menelpon balik mamanya Sigi,
memberitahukan sedikit telat karena masih menunggu taksi. Kakinya mulai pegel,
Kinan memijit-mijit betisnya sendiri. “Pada kemana taksi-taksi ini...” gerutu
Kinan dalam batinnya.
Ehhh…Sik Kinan bisa emosi juga…^0^
Ehhh…Sik Kinan bisa emosi juga…^0^
“Tiiittttt...Tiiittttt...Tiiiittttt...”
bunyi sepeda motor mengejutkannya. Ternyata, Marbot masjid raya. Dia membawa
motor metiknya Kinan.
“Astaga…Tasku!” Kinan menepuk jidatnya sendiri. Hanya handphone yang dia ingat,
syukur aja, tidak lupa bawa dirinya sendiri.
Aduh…maksudnya? Ngawur aja ni…^0^
Aduh…maksudnya? Ngawur aja ni…^0^
Kinan meninggalkan tasnya dan juga tas
Sigi di masjid, jadinya,
Marbot yang namanya Amir itu menyusul Kinan ke rumah sakit. Eittt…Ternyata bukan Cuma itu tujuannya. Amir menyodorkan
sebuket bunga mawar putih. Kaget bukan main Kinan. Seketika muka putihnya
berubah merah muda.
Kinan, malu-malu ni ye…^0^
Kinan, malu-malu ni ye…^0^
“Apa ini, pak…?” tanya Kinan
memastikan jawaban pasti dari Amir. Karena bisa jadi, ini adalah ungkapan
perasaan yang lama terpendam.
Hhohhoho…ada-ada saja…^0^
Hhohhoho…ada-ada saja…^0^
“Oh…Ini bunga dari ustadz
Sigit mbk, untuk teman mbk yang sakit itu. Beliau menyampaikan permintaan maaf
pada teman Mbak, karena, tidak sengaja menyentuhnya,” ujar Amir senyum-senyum
ketika menyebutkan kata ‘menyentuhnya’. Aduh, Amir geli sendiri dengan
kata-katanya.
Hahahaha…lucu…^0^
Hahahaha…lucu…^0^
Raut muka Kinan bertransfigurasi
dari pink ke merah tua. Malu dengan dirinya sendiri yang terlalu
kegeeran. “Siapa juga yang mau kasih bunga kepadaku?” kilahnya dalam hati. Kinan
mengambil buket itu dan mengucapkan terimakasih.
“Usatdz Sigit juga minta
maaf, tidak bisa datang menjenguk teman Mbak. Beliau harus secepatnya kembali ke
Jakarta,” terang Amir dengan logat Sundanya yang kental sekental-kentalnya.
Kinan hanya mengangguk saja.
“Oya Mbak…Skalian ini
motornya. Kalau motor temannya, masih tertinggal di Masjid. Mbak tenang
saja, sudah saya amankan.” Lanjut Amir sembari turun dari motor Kinan.
“Terus…Bapak mau pulang
pakai, apa? Timpal Kinan, menunjukkan sedikit simpati.
“Saya pakai bemo saja Mbak,
ini sudah dikasih ongkos pulang sama ustadz Sigit.” Amir memperlihatkan selembar
uang merah bergambar Seokarno dan Muhammad Hatta.
"Oh...Temannya enggak jadi dirawat disini, Mbak?" tanya Amir, kepo.
“Dia dipindahkan ke rumah
sakit Harapan Bangsa, Pak. Mari, saya duluan…” Kemudiaan Kinan pamit untuk
pergi. Dia seolah berlomba-lomba dengan angin untuk mencapai Harapan Bangsa.
Ceritanya, Kinan ngebut ini…^0^
di rumah sakit Harapan Bangsa. Kinan menyusuri sederet
kamar VIP rumah sakit Harapan Bangsa, menuju kamar yang bertuliskan nomor 27.
Kamar kedua Sigi. Kamar yang selalu dihuninya jika dia harus berdiam barang
semalam, dua malam di rumah sakit itu.
Sigi orang penting juga, ternyata. Ketika uang sudah bertindak, siapapun bisa menjadi orang terpandang…Hemm…Itulah kenyataan Dunia persilatan sekarang. ^0^
Sigi orang penting juga, ternyata. Ketika uang sudah bertindak, siapapun bisa menjadi orang terpandang…Hemm…Itulah kenyataan Dunia persilatan sekarang. ^0^
Kini, Kinan sudah berdiri di
depan pintu kamar yang disebutkan tante Dewi. Sebelum masuk, Kinan benar-benar
mempersiapkan mentalnya. Kembali, dia harus mengatur napasnya kemudian memasang
senyum semanis-manisnya. Lagi-lagi dia
harus bersandiwara mengajari mimik
mukanya untuk tidak terlihat sangat terpukul. Kinan tidak mau, mama dan papa
Sigi semakin terselebungi
kepedihan. Dari kaca pintu luar, Kinan memperhatikan sejenak mama dan papa Sigi.
Mama, duduk di samping ranjang Sigi, mengelus-elus rambut setengah bahu anak
tertuanya. Ternyata Sigi belum terbangun dari mimpinya. Sedangkan papa, berdiri
di sebelah mama menggendong sik adik Sigi yang terlelap didekapannya. Dirasa,
pengamatan situasi sudah cukup, Kinan berani mengetuk pintu, pelan-pelan, dan
membukanya seraya mengucapkan salam. Tetap dengan gaya kalemnya, Kinan
menghampiri orang yang paling berharga buat Sigi.
“Assalamualaikum, Om, Tante…” Kinan menyalami orang tua Sigi.
Senyumannya masih terpampang nyata, dipaksakan untuk tidak meninggalkan bibir
itu. Ehh..Lagi dah, pakai istilah syahrini. Kemudian, pandangannya beralih pada
Sigi yang tak berdaya. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ya…Namanya sentimental,
gampang banget meweknya. Hatinya benar-benar lembut.
“Maaf ya, Nan…Tante
memindahkan Sigi ke rumah sakit ini, enggak bilang-bilang dulu. Kamu kan, tahu
sendiri, hanya dokter Fahri yang memahami keadaan Sigi,” ucap mama Sigi dengan
suara halus lembek dan sedikit serak-serak basah. Kinan menaruh buket bunga itu
di meja dekat ranjang Sigi, dan berdiri disamping tante Dewi, mengusap-usap
punggung perempuan separuh umur itu menenangkannya. Papa Sigi yang memang
pengertian, memberikan isyarat kepada Kinan dan istrinya kalau dia akan keluar
meninggalkan trio wek-wek itu. perempuan memang memiliki dunia tersendiri yang
mungkin tidak akan pernah bisa dimengerti laki-laki. Aduh, dunia apalagi ini?.
Trio wek-wek? Maksudnya itu Mama Sigi, Sigi dan Kinan…^0^
Trio wek-wek? Maksudnya itu Mama Sigi, Sigi dan Kinan…^0^
***
Kantor kementerian agama…
Sore, raja siang mulai
menunduk layu, ingin cepat-cepat pulang dan digantikan dengan kehadiran
purnama. Ustadz Sigit termangu di ruang kerjanya, sendirian
setelah rapat panjang dengan wakil menteri agama. Sigit merupakan asisten orang kedua
terpenting di kementerian agama itu. Sigit mengingat
lagi kejadian yang super mendadak menurutnya. Sampai-sampai dia harus menyentuh
seorang gadis yang halal untuk dinikahinya.
Cie…Cie…Cie…^0^
Cie…Cie…Cie…^0^
“Astagfirullah…!” ustadz Sigit menyoroti pikirannya yang
melayang-layang ke arah Sigi. Dia memegang kepalanya, menyuruh dirinya sendiri
untuk tidak melamunkan peristiwa tadi pagi.
Gimana kalau, mulai bag. 2 ini, kata ustadznya dihilangkan, Sigit aja
ya…OK ^0^
“Trillillit…Trillillit…”
handphone butut Sigit bersuara. Panggilan masuk. Diliriknya layar yang menyala
itu. Dia tersenyum simpul. Diangkatnya telepon
itu dengan segera. “Assalamu’alaikum...Malaikat
kecilku,” Sigit menyapa adik bungsunya penuh kasih sayang.
“Abang, Janjikan akan pulang malam ini?”
Andien merengek kangen kakaknya. Akhir-akhir ini, kesibukan Sigit bertambah
dengan amanatnya sebagai pengurus pusat ODOJ nasional.
“Pasti dong...Awas ya, kalau Andien
ninggalin abang tidur lagi,” Ancam Sigit bercanda. Sigit mengangkat tinjunya,
seolah Andien berada dihadapannya sekarang.
“Makanya, Abang, nyampai rumahnya jangan
terlalu malam. Andienkan harus tidur cepat. Lagian Rhoma Irama juga bilang
jangan begadang kalau tidak ada gunanya,” cermah Andien sok dewasa, padahal
usianya baru menginjak delapan tahun.
“OK, gadis manisku.” Sigit menutup
teleponnya. Dia menghembuskan nafas lewat mulutnya, mengangkat kedua tangannya ke atas, meregangkan badannya yang
sebenarnya
tidak pegal. Lalu, bersiap-siap, pergi meninggalkan
kantornya.
Magrib tiba. Sigit mampir ke sebuah
masjid sederhana, namun sangat istimewa. Kenapa istimewa?. Ya...Masjid ini
penuh dengan Jamaah yang akan sholat Magrib berjemaah. Subhanallah...di saat masjid lain, rata-rata hanya satu atau dua
saf makmum, Masjid yang satu ini full dengan orang-orang baik laki-laki dan
perempuan yang akan sholat berjamaah. Jaman sekarang, panggilan uang itu lebih
menggiurkan daripada seruan Allah. Bayangkan, bagaimana manusia rela merangka
demi selembar rupiah dan sangat enggan melangkah ke rumah Allah demi
keridhaanNya.
Sigit mengambil wudhu, kemudian
mengambil saf pertama. Dia sholat penuh kekhusyukan, dan dilanjutkan dengan
sholat sunnah rawatib dua rakaat ba’diyah magrib. Tidak lupa berdoa, ini hal
yang tidak kalah pentingnya. Selalu terselip asa akan kesembuhan adiknya. Dan
lagi, aduh...Lagi dan lagi, sekelebat sosok Sigi hadir di sela-sela doanya.
Sigitpun memohon kepada Allah, Dzat penguasa nyawa manusia, untuk memberikan
kesembuhan juga kepada akhwat itu. Bagaimanapun, doa itu ada karena adanya asa
yang kita inginkan. Jangan remehkan kekuatan doa. Doa itu ibarat doping yang
memberikan kita energi dan semangat berlebih.
Betul atau benar? ^0^
Betul atau benar? ^0^
Sigit mengitari kota Jakarta. Kota yang
semakin malam semakin mengganas. Dia berhenti sebentar di mini market XXmart
yang selalu berdekatan dengan YYmart. Sebatang coklat Silverking untuk Andien.
Biasanya, coklat adalah senjata paling ampuh untuk melumpuhkan kekesalan Andien.
Sigit tahu pasti, Andien tidak akan bisa marah dengan adanya makanan manis yang
rada-rada pahit ini. tapi kali ini, Sigit membeli dua batang. Tumben banget.
“Abang...!” teriak Andien berlari ke
pelukan kakak laki-laki satu-satunya itu. Sigit mendekap mesra malaikat
mungilnya. Sigit mengeluarkan sebatang coklat yang dibeli tadi. Satunya lagi,
tetap didiamkan dalam tas ranselnya. Andien menyambar coklat itu seraya
mengucapkan terimakasih. Sigit menggendong adiknya, kemudian mendakit ibu
bapaknya bersalaman yang memang sedari tadi menonton sepotong adegan indah
persaudaraan.
“Andien, lain kali larinya pelan-pelan
saja, ya...” ucap Ibu bijak menasehati. Andien cengar cengir sambil memeluk
erat kakaknya. Andie tidak boleh lelah, apalagi terkejut atau kaget. Juga tidak
sanggup terlalu senang. Bisa-bisa jantungnya berhenti berdetak. Andien dari
sejak lahir, mengidap kelainan jantung. Dokter mendiagnosa, bilik jantung Andien berlubang yang menyebabkan
terjadinya kebocoran darah di bilik kiri dan bilik kanan jantung. Lubang itu
semakin membesar yang bisa saja menyebabkan kegagalan jantung.
“Harus mendengarkan apa yang Ibu dan
Ayah katakan, OK?” Sigit membuat
perjanjian yang terus menerus sama dengan selalu melingkarkan jari
kelingkingnya masing-masing. Andien mengangguk-angguk menurut. Polos sekali anak yang bau jahe ini.
Sigit masih menggendong Andien. Tidak
ada rasa jemu terlihat di wajahnya. Dia mengelus-elus lembut rambut malaikat
kesayangannya itu. Andien ternyenyak,
lelap sekali sampai tidak tersadar sudah berpindah ke tempat tidurnya. Sigit
mengendap-endap keluar dari kamarnya, malam ini Andien akan tidur bersamanya.
Dimatikannya lampu kamar, dan menutup pintu membiarkan Andien terbaring
sendiri. Sigit menemui Ibu dan Ayahnya yang seolah menunggu segudang cerita
aktivitasnya. Enak ya...punya orang tua
yang selalu sigap mendengarkan curahan hati anaknya.
“Bagaimana perjalanan ke bogornya?” Ayah
membuka diskusi malam itu. Sigit tertunduk malu, tapi senyum merekah
menyungging di kedua sudut bibirnya.
Ibu mulai menggoda anaknya, “Sepertinya
kita akan mendengarkan kabar baik, Bi...” sambar Ibu melirik Ayah. Ibu seakan
bisa membaca isi hati dan pikiran anaknya. Ayah berdehem-dehem menyindir.
“Umi sudah tidak sabar ya...menggendong
cucu,” sahut Abi bermaksud menggoda Sigit. Sigit merasa tersudut, kini ruangan
itu teramat sempit untuknya bernapas. Udara ber-AC di ruang keluarga itu,
terasa panas bak gurun Sahara. Sigit menyeka keringatnya yang masih bersembunyi
dalam pori-pori kulitnya. Abi dan Uminya, sedari tahun-tahun lalu, mendesak
halus anak sulungnya itu untuk mengakhiri masa jomblo. Beristri lebih baik
daripada tidak beristri, begitu kata Abi. Beberapa bulan lagi, Sigit akan berusia
27 tahun terhitung 27 November. Umur yang tidak terlalu muda dan juga cukup
dewasa untuk berani mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga.
Hahahay...angka
27 terus, dimaklumi saja itu nomor bersejarah ^0^
“Abi dan Umi, banyak-banyak berdoa saja
! Sigit sedang berusaha untuk mencari calon mantu buat Abi dan Umi,” jawaban
diplomatis Sigit. Ehhh...Sigi muncul lagi dalam bayangan sekilas Sigit. Bahkan
sampai detik ini, akhwat itu masih misteri baginya. Sigi? Siapa orang itu? Nama
Sigi menghantuinya, setidaknya di setengah hari kehidupannya. Abi dan Umi
terperanjat yang tidak ditampakkan. Mereka terperangah dengan kata pasti Sigit
yang terdengar sangat serius saat ini. Mereka tersenyum membatin memperhatikan
kekalutan dihati anak kebanggaannya itu. Rasa suka tanpa kompromi menghunjam
hati Sigit.
***
Di rumah sakit Harapan Bangsa...
Kinan tepekur disebelah Sigi. Tangan
Sigi, dia genggam erat seolah tidak akan melepaskannya. Pandangannya tidak mau
meninggalkan Sigi yang masih payah. Dia mengusap kening sahabatnya itu.
“Bangunlah, sayang...!” bisik Kinan ditelinga Sigi. Sudah hampir satu hari, Sigi berkelana di alam lain. Sigi belum jua menandakan akan siuman. Ini tidak lumrah untuk orang yang terserang maag.
“Bangunlah, sayang...!” bisik Kinan ditelinga Sigi. Sudah hampir satu hari, Sigi berkelana di alam lain. Sigi belum jua menandakan akan siuman. Ini tidak lumrah untuk orang yang terserang maag.
“Nan...” Tante Dewi memasuki kamar Sigi
bersama Om Adam dan dokter Fahri dan tiga perawat. Kinan bangun dari duduknya.
Tapi aneh, ekspresi yang ditunjukkan tante Dewi dan Om Adam. Ada kegelisahan
yang teramat di mata mereka. Dokter fahri mendekati Sigi, melakukan pemeriksaan
rutin vital sign. Dokter Fahri
menyoroti kedua mata Sigi dengan penlight,
mengukur suhu badannya dan mendengarkan detak organ dalamnya dengan stetoscope. Dokter Fahri mendesah, mimik
mukanya sangat-sangat serius. Yang biasanya sikap ramahnya tidak hilang, kini
dia agak terlihat gusar.
“Kita harus melakukan CT Scan, sekarang
juga!” suara dokter Fahri tegas. Kemudian dia menyuruh perawat menghubungi
departemen yang bertugas menscanning pasien dan menyiapkan segala yang harus
disiapkan. Satu perawat lari keluar dan duanya lagi bersiap akan memindahkan
Sigi. Tubuh Tante Dewi bergetar, kakinya tak mampu lagi menopang badannya. Om
Adam segera memapah istrinya. Dokter Fahri menenangkan orang tua Sigi dan
menyuruh mereka menyiapkan kemungkinan terburuk yang terjadi kepada Sigi. Kinan
juga ikut-ikutan terperenyak. Debaran jantungnya semakin cepat dan hampir
roboh. Dia segera berpergangan pada ranjang yang sudah kosong, dan membiarkan
Sigi dibawa ke ruang CT SCAN. Tante Dewi dan Om Adam mengikuti dokter Fahri
untuk menemani Sigi. Kinan, terpatung di tempat. Tangannya mulai lemas, dan ‘brukkkk’ Kinan jatuh ke lantai. Dia
menangis sejadi-jadinya. Air matanya terlalu deras untuk dibendung.
Tubuh Sigi bersiap-siap dimasukkan ke
sebuah alat yang bisa memperlihatkan semua kondisi orang-organ dalam yang tidak
nampak oleh mata biasa. Tubuh Sigi bergerak sedikit demi sedikit memasuki
SCANNER. Tante Dewi dan Om Adam pasrah menyaksikan tubuh anaknya di sinar sinar
X. Setelah beberapa lama, hasil pemeriksaan Sigi keluar. Sigi dikembalikan ke
ruang rawat semula. Kinan masih terjaga
untuk menunggunya membuka mata. Kemudian dokter Fahri mengajak tante Dewi dan
Om Adam ke ruang kerjanya. Seburuk apapun kondisi pasien, wali pasien harus
tahu segala sesuatunya dengan detail.
Di dalam ruang kecil yang dipenuhi
tumpukan buku-buku kedokteraan. Dokter Fahri mengambil nafas dan
mengembuskannya perlahan. Dokter itu seakan tidak ingin menyampaikan hasil
test, tapi profesionalitas harus tetap dijunjung tinggi. Om Adam terlihat
tegar, sepertinya sudah sanggup menerima kenyataan pahit. Namun, tante Dewi
harus terpaksa mendengarkan apapun yang akan dokter Fahri katakan.
Ketidakikhlasannya masih amat besar dibandingkan dengan kerelaannya pada kondisi kritisnya Sigi. Dari
muka dokter Fahri tertulis jelas, ada sesuatu yang tidak beres dengan kondisi
Sigi.
“Maag kronis yang selama ini diidap
Sigi, sudah berkembang ke arah yang lebih serius. Sekarang, kanker lambung
menjangkit tubuh Sigi,” ujar dokter Fahri gemetar. Dia memperlihatkan
lembaran-lembaran foto scan keadaan lambung Sigi saat ini. Ada bulatan besar di
dinding alat pencerna makanan itu.
Ngeri…!^0^
“Lihat! Benjolannya terdapat
di tengah-tengah dinding lambung. Ini akan sangat beresiko jika dibiarkan
berlalut. Kami akan segera melakukan operasi pengangkatan, dan untuk membunuh
seluruh sel kanker akan dilanjutkan dengan kemoterapi. Yang saya butuhkan
sekarang adalah ketenangan kalian, Wi…Dam…Sigi sangat membutuhkan dukungan
moral kalian. Dan kalian harus lebih tegar daripada Sigi. Pahamkan maksud
saya?” terang dokter Fahri. Tante Dewi berupaya menahan emosinya lebih jauh.
Dia tidak mengira penyakit maag Sigi akan semenakutkan ini jadinya.
“Lakukan apapun yang menurut
dokter itu terbaik untuk Sigi.” Om Adam bersuara pasti. Dia tetap stay
calm dan berusaha menenangkan istrinya.
***
Sigit belum jua memejamkan
matanya. Selarut ini, dia masih sibuk dengan kerjaannya yang bejibun. Dibalik
meja, dia menatap Andien yang tertidur pulas. Adik satu-satunya itu, kapanpun
bisa di ambil oleh Tuhan dari dekapannya. Sigit melepaskan lembaran-lembaran
kertas yang sedari tadi dia ubrak abrik. Dia mendekati Andien, berbaring
disampingnya. Sigit memeluk tubuh kecil itu dan mencium keningnya.
“Maafkan abang, tidak bisa
selalu berada disisimu setiap waktu.” Sesal Sigit yang terlalu sibuk dengan
amanahnya. Dia membelai-belai rambut adiknya, dan bebrapa menit kemudian Sigitpun tertidur.
***
Di padang ilalang, perempuan bergaun
putih berlari-lari, tertawa lepas, dan berputar-putar riang. Ciehhhh...Bayangkan salah satu adegan di
film India!. Dia amat menikmati semilir angin yang membelai ujung jilbabnya
yang berkibar. Mewangi khas rumput liar merebak memenuhi penciumannya. Awan
nampak bersahabat, membalut bumi dari terpaan sengatan sang surya. Perempuan
itu berdendang sembari mengibas-ngibaskan gaunnya. Suaranya indah mengalun. Burung-burung
buru-buru berkicau merasa tersaingi. Dari kejauhan, muncul sosok tinggi tegap
berkacamata. Sigit melangkah mendekat. Dia meicingkan mata, memandang perempuan
putih itu dari jarak beberapa meter. Senandungnya masih tertangkap indra
pendengaran Sigit. Dia tersenyum menunduk, lega rasanya, seperti sekian tahun
Sigit terjebak dan sekarang betapa bahagianya bisa bertemu seseorang di padang
ilalang yang sangat luas ini yang entah dimana batas ujungnya. “ternyata aku
tidak sendirian,” gumamnya. Sesaat dia menongakkan kembali penglihataannya,
namun perempuan itu sudah tidak ada lagi di posisinya. Sigit terkesiap, gusar
memandang kesana kemari mencari raga perempuan misterius itu. Sigit berlari ke
tempat perempuan tadi berdiri. Kosong, tidak ada. Kepasrahan sudah menggelayut
di wajahnya. “Aku sendiri lagi...” ratapnya pedih. Sigit merana. Dia kembali
menapaki setiap jengkal padang itu. Beberapa langkah kakinya berjalan, mendadak
pundaknya merasakan sentuhan jemari. Sigit terdiam, jantungnya berdenyut cepat.
kemudian membalikkan tubuhnya pelan. Bukan main, Sigit terperangah. Perempuan
yang tadi menghilang, kini tepat berdiri didepannya, menampakkan senyum bersahabat.
“Si...Gi...!” tukas Sigit terbata-bata.
Sigit terbangun. Peluh membasahi
keningnya. Semburat kebingungan tergambar diwajahnya. “Sigi...Sigi...Sigi...”teriaknya dalam hati. “.
Sigit terjaga malam itu. Matanya terus melek tak mampu menutup lagi. Ditatap
adiknya yang terpulas seraya memperbaiki selimut yang membenamkan tubuh Andien.
Sigit mengambil air wudhu dan bermunajat
dengan khusyuknya. Sholat malam dua rakaat, Sigit menyelipkan kegundahaannya
untuk dia sampaikan kepada Sang Pencipta, “Ya Allah...berikanlah petunjukMu.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Dan Mengapa dia hadir dimimpiku?” batin
Sigit menjerit meminta kemurahan Tuhan.
Bersambung...
aduh, ada apa dengan angka 27.
BalasHapuswah..keren penggambarannya, Yiq. semakin hanyut sama ceritanya...aku sukaaaa. gak papa kok, kalau terdesak. masak mau nunggu ambulan dtg, keburu mati orang...jadi sedih.
tapi kok bunga....ngapain, jadi geli. lucu Kinan banyak dialog sendiri..khayalan di pikirannya terlalu nyata buatnya :D
btw, banyak istilah yang bikin saya ngakak.
"mini market XXmart yang selalu berdekatan dengan YYmart" hehehe
silverking..
27 kan nomor favoritku unn...tgl 27 aq lahir, tgl 27 aq di wisuda...
Hapusya,,iya,,,stlh baca ulang,,,kok bunga? hehehe..habis pas nulisnya kepikiran bunga aja...inshaa Allah, gak sia2 kok semua peristiwax,,nanti pasti ada sangkut pautnya di masa depan...
alhamdullilah...istilah2ku bisa membuat mbk ran ketawa....
ditunggu terus ya..kelanjutan ceritanya....
wah, kalo itu...sy keterima kuliah tanggal 5, wisuda tanggal 5..
Hapushihihi jalannya mereka ketemulagi yg bikin pinisirin..
sippp....lagi berpikir keras...supaya jalan ceritanya enggak mudah banget di tebak...
Hapus