Rabu, 30 April 2014

Sigi menjemput Sigit bag.2

Diposting oleh mongyimongyi di 09.11



Penulis : Jang Yiq


Cerita singkat bag.1
Sigi amat bergairah ahad pagi itu. Rupanya dia dan sahabatnya, Kinan, akan menghadiri acara ODOJ (One Day One Juz) di Masjid Raya Bogor. Usaha Kinan tidak sia-sia, Sigi memakai hijab yang membuat Kinan sangat terharu. Walau alasan kedatangan Sigi di acara itu, karena ucap Kinan tentang ustadz pengisi acaranya yang cakep badaiii...!.

Benar adanya, ustadz Sigit mampu menghipnotis Sigi. Penampilannya yang bak karikatur ikhwan, persis, dengan muka halus bersihnya yang sedikit berjenggot, plus, pakai kacamata yang meninggikan derajat karismanya. Wuih...Pesona ustadz Sigit membuat satu jam, dua jam berasa satu menit, dua menit. Sigi amat menikmati ceramah itu. Sampai tiba-tiba, rasa nyeri menghinggapi perutnya.  Maag-nya kambuh. Tidak ingin membuat Kinan khawatir, Sigi ke kamar kecil tanpa di antar Kinan. Dia meraung kesakitan sendiri, muntah darah, dan pingsan. Kinan yang terlambat menyadari situasi itu, menemukan Sigi sudah tergolek tidak sadarkan diri. Ustadz Sigit yang berada di tempat kejadian, di saat situasi darurat, ustadz Sigit tanpa pertimbangan Mahram, langsung membopong tubuh mungil Sigi ke dalam masjid sembari menunggu ambulance. Kinan merengek, menyesali kelalaiannya. 


Kini Sigi terbaring lemah di ruang gawat darurat...

***
Kinan masih berdoa. Lama sekali. Sangat berharap Tuhan mengabulkan permintaannya yang begitu sederhana. Kesempatan kedua untuk Sigi. Ya...Kehidupan baru setelah kejadian ini berlalu. Sebenarnya, ini bukan pertama kali, Kinan, melihat tubuh Sigi di bopong ke rumah sakit. Tiga bulan yang lalu, Sigi tertatih-tatih di papah papanya ke Rumah Sakit yang biasa tempat dia dirawat. Sigi masih sempat bercanda denganya, walau lambung nyeri hebat. Bisa tertawa cengengesan, meski perutnya bagai terlilit erat tali ususnya sendiri.  Sigi memang kuat, pantang terlihat rapuh dan lemah. Shocknya Kinan kali ini, Sigi berdarah dan hilang kesadaran.

Handphone Kinan bergetar, tanpa bunyi nada dering. Terpampang nama mama Kinan dilayar, Tante Dewi. Kinan mengusap-usap matanya yang masih basah, mengatur napasnya sebelum memencet tombol terima. Menghirup udara dan menghembuskannya kembali.

Assalmu’alaikum, tante...” Kinan mengawali percakapan. Suara Kinan sekarang sudah kembali seperti sedia kala, terdengar riuh dan gemuruh.
Pintar akting, dia…! ^0^

Wa’alaikumussalam...Nan. Sekarang, kamu lagi dimana, Nan? Sigi sudah dipindahkan ke Rumah Sakit Harapan Bangsa ke kamar inap nomor 27..” suara mama Sigi terdengar sedih.

“Di Musholla, tante…Ya, Kinan segera kesana!” jawab Kinan sigap. Dia berpikir, kapan tante Dewi memindahkan Sigi ke rumah sakit itu. Memang, Harapan Bangsa ibarat rumah kedua bagi Sigi. Ada dokter Fahri di sana. Dokter yang sangat faham betul riwayat penyakit Sigi. Dokter Fahri sudah menangani Sigi semenjak tiga tahun lalu, saat maag Sigi meningkat ke level serius. Dia juga sudah akrab dengan perawat-perawat di rumah yang dipenuhi orang tidak sehat itu. Bahkan, Sigi akan cukup terkenal di kalangan pasien-pasien lainnya kalau dia sudah menginap di kamar rawatnya. Bila rasa nyerinya sedikit lenyap, Sigi akan mulai belusukan ke setiap bangsal yang pintunya terbuka lebar. Sigi tidak akan mau berdiam diri kalau sedang di rumah sakit. Bercanda, tertawa dengan pasien lain yang senasib, membuat rasa sakitnya serasa menghilang, meski tidak benar-benar hilang.

Kinan cepat menanggalkan mukena yang sudah lengket dibadan. Bayangkan, satu jam, Kinan tepekur di dalam Musholla. Debak!! Kalau bahasa koreanya. Kinan berjalan cepat, tapi bukan seperti orang terburu-buru menapaki lorong rumah sakit islam Siti Hajar menuju gerbang keluar. Dicarinya taksi, tapi tidak satupun yang ada. Kinan berdiri cukup lama di pinggir jalan, dia nampak memencet nomor taksi yang kadang-kadang dia naikin. Motornya, Kinan tinggalkan di Masjid, Inshaa Allah aman. Siapa yang berani mencuri di rumahnya Allah?. Kalau ada, sungguh terlalu!! pakai gaya Rhoma Irama.
Maaf, bang H. Rhoma, pinjam kata-katanya dulu !

Lima menit pergi, menapaki enam, tujuh menit, Kinan tetap mematung di tempat. Dia menelpon balik mamanya Sigi, memberitahukan sedikit telat karena masih menunggu taksi. Kakinya mulai pegel, Kinan memijit-mijit betisnya sendiri. “Pada kemana taksi-taksi ini...” gerutu Kinan dalam batinnya.
Ehhh…Sik Kinan bisa emosi juga…^0^

“Tiiittttt...Tiiittttt...Tiiiittttt...” bunyi sepeda motor mengejutkannya. Ternyata, Marbot masjid raya. Dia membawa motor metiknya Kinan.

“Astaga…Tasku!” Kinan menepuk jidatnya sendiri. Hanya handphone yang dia ingat, syukur aja, tidak lupa bawa dirinya sendiri.
Aduh…maksudnya? Ngawur aja ni…^0^

Kinan meninggalkan tasnya dan juga tas Sigi di masjid, jadinya, Marbot yang namanya Amir itu menyusul Kinan ke rumah sakit. Eittt…Ternyata bukan Cuma itu tujuannya. Amir menyodorkan sebuket bunga mawar putih. Kaget bukan main Kinan. Seketika muka putihnya berubah merah muda.
Kinan, malu-malu ni ye…^0^

“Apa ini, pak…?” tanya Kinan memastikan jawaban pasti dari Amir. Karena bisa jadi, ini adalah ungkapan perasaan yang lama terpendam.
Hhohhoho…ada-ada saja…^0^

“Oh…Ini bunga dari ustadz Sigit mbk, untuk teman mbk yang sakit itu. Beliau menyampaikan permintaan maaf pada teman Mbak, karena, tidak sengaja menyentuhnya,” ujar Amir senyum-senyum ketika menyebutkan kata ‘menyentuhnya’. Aduh, Amir geli sendiri dengan kata-katanya.
Hahahaha…lucu…^0^

Raut muka Kinan bertransfigurasi dari pink ke merah tua. Malu dengan dirinya sendiri yang terlalu kegeeran. “Siapa juga yang mau kasih bunga kepadaku?” kilahnya dalam hati. Kinan mengambil buket itu dan mengucapkan terimakasih.

“Usatdz Sigit juga minta maaf, tidak bisa datang menjenguk teman Mbak. Beliau harus secepatnya kembali ke Jakarta,” terang Amir dengan logat Sundanya yang kental sekental-kentalnya. Kinan hanya mengangguk saja.

“Oya Mbak…Skalian ini motornya. Kalau motor temannya, masih tertinggal di Masjid. Mbak tenang saja, sudah saya amankan.” Lanjut Amir sembari turun dari motor Kinan.

“Terus…Bapak mau pulang pakai, apa? Timpal Kinan, menunjukkan sedikit simpati.

“Saya pakai bemo saja Mbak, ini sudah dikasih ongkos pulang sama ustadz Sigit.” Amir memperlihatkan selembar uang merah bergambar Seokarno dan Muhammad Hatta.




"Oh...Temannya enggak jadi dirawat disini, Mbak?" tanya Amir, kepo.

“Dia dipindahkan ke rumah sakit Harapan Bangsa, Pak. Mari, saya duluan…” Kemudiaan Kinan pamit untuk pergi. Dia seolah berlomba-lomba dengan angin untuk mencapai Harapan Bangsa. 
Ceritanya, Kinan ngebut ini…^0^

di rumah sakit Harapan Bangsa. Kinan menyusuri sederet kamar VIP rumah sakit Harapan Bangsa, menuju kamar yang bertuliskan nomor 27. Kamar kedua Sigi. Kamar yang selalu dihuninya jika dia harus berdiam barang semalam, dua malam di rumah sakit itu.
Sigi orang penting juga, ternyata. Ketika uang sudah bertindak, siapapun bisa menjadi orang terpandang…Hemm…Itulah kenyataan Dunia persilatan sekarang. ^0^

Kini, Kinan sudah berdiri di depan pintu kamar yang disebutkan tante Dewi. Sebelum masuk, Kinan benar-benar mempersiapkan mentalnya. Kembali, dia harus mengatur napasnya kemudian memasang senyum semanis-manisnya. Lagi-lagi dia harus bersandiwara mengajari mimik mukanya untuk tidak terlihat sangat terpukul. Kinan tidak mau, mama dan papa Sigi semakin terselebungi kepedihan. Dari kaca pintu luar, Kinan memperhatikan sejenak mama dan papa Sigi. Mama, duduk di samping ranjang Sigi, mengelus-elus rambut setengah bahu anak tertuanya. Ternyata Sigi belum terbangun dari mimpinya. Sedangkan papa, berdiri di sebelah mama menggendong sik adik Sigi yang terlelap didekapannya. Dirasa, pengamatan situasi sudah cukup, Kinan berani mengetuk pintu, pelan-pelan, dan membukanya seraya mengucapkan salam. Tetap dengan gaya kalemnya, Kinan menghampiri orang yang paling berharga buat Sigi.

Assalamualaikum, Om, Tante…” Kinan menyalami orang tua Sigi. Senyumannya masih terpampang nyata, dipaksakan untuk tidak meninggalkan bibir itu. Ehh..Lagi dah, pakai istilah syahrini. Kemudian, pandangannya beralih pada Sigi yang tak berdaya. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ya…Namanya sentimental, gampang banget meweknya. Hatinya benar-benar lembut.

“Maaf ya, Nan…Tante memindahkan Sigi ke rumah sakit ini, enggak bilang-bilang dulu. Kamu kan, tahu sendiri, hanya dokter Fahri yang memahami keadaan Sigi,” ucap mama Sigi dengan suara halus lembek dan sedikit serak-serak basah. Kinan menaruh buket bunga itu di meja dekat ranjang Sigi, dan berdiri disamping tante Dewi, mengusap-usap punggung perempuan separuh umur itu menenangkannya. Papa Sigi yang memang pengertian, memberikan isyarat kepada Kinan dan istrinya kalau dia akan keluar meninggalkan trio wek-wek itu. perempuan memang memiliki dunia tersendiri yang mungkin tidak akan pernah bisa dimengerti laki-laki. Aduh, dunia apalagi ini?.
Trio wek-wek? Maksudnya itu Mama Sigi, Sigi dan Kinan…^0^

***
Kantor kementerian agama…

Sore, raja siang mulai menunduk layu, ingin cepat-cepat pulang dan digantikan dengan kehadiran purnama. Ustadz Sigit termangu di ruang kerjanya, sendirian setelah rapat panjang dengan wakil menteri agama. Sigit merupakan asisten orang kedua terpenting di kementerian agama itu. Sigit mengingat lagi kejadian yang super mendadak menurutnya. Sampai-sampai dia harus menyentuh seorang gadis yang halal untuk dinikahinya.
Cie…Cie…Cie…^0^

Astagfirullah…!” ustadz Sigit menyoroti pikirannya yang melayang-layang ke arah Sigi. Dia memegang kepalanya, menyuruh dirinya sendiri untuk tidak melamunkan peristiwa tadi pagi.

Gimana kalau, mulai bag. 2 ini, kata ustadznya dihilangkan, Sigit aja ya…OK ^0^

“Trillillit…Trillillit…” handphone butut Sigit bersuara. Panggilan masuk. Diliriknya layar yang menyala itu. Dia tersenyum simpul. Diangkatnya telepon itu dengan segera. “Assalamu’alaikum...Malaikat kecilku,” Sigit menyapa adik bungsunya penuh kasih sayang.

“Abang, Janjikan akan pulang malam ini?” Andien merengek kangen kakaknya. Akhir-akhir ini, kesibukan Sigit bertambah dengan amanatnya sebagai pengurus pusat ODOJ nasional.

“Pasti dong...Awas ya, kalau Andien ninggalin abang tidur lagi,” Ancam Sigit bercanda. Sigit mengangkat tinjunya, seolah Andien berada dihadapannya sekarang.

“Makanya, Abang, nyampai rumahnya jangan terlalu malam. Andienkan harus tidur cepat. Lagian Rhoma Irama juga bilang jangan begadang kalau tidak ada gunanya,” cermah Andien sok dewasa, padahal usianya baru menginjak delapan tahun.

“OK, gadis manisku.” Sigit menutup teleponnya. Dia menghembuskan nafas lewat mulutnya, mengangkat kedua tangannya ke atas, meregangkan badannya yang sebenarnya tidak pegal. Lalu, bersiap-siap, pergi meninggalkan kantornya.

Magrib tiba. Sigit mampir ke sebuah masjid sederhana, namun sangat istimewa. Kenapa istimewa?. Ya...Masjid ini penuh dengan Jamaah yang akan sholat Magrib berjemaah. Subhanallah...di saat masjid lain, rata-rata hanya satu atau dua saf makmum, Masjid yang satu ini full dengan orang-orang baik laki-laki dan perempuan yang akan sholat berjamaah. Jaman sekarang, panggilan uang itu lebih menggiurkan daripada seruan Allah. Bayangkan, bagaimana manusia rela merangka demi selembar rupiah dan sangat enggan melangkah ke rumah Allah demi keridhaanNya.

Sigit mengambil wudhu, kemudian mengambil saf pertama. Dia sholat penuh kekhusyukan, dan dilanjutkan dengan sholat sunnah rawatib dua rakaat ba’diyah magrib. Tidak lupa berdoa, ini hal yang tidak kalah pentingnya. Selalu terselip asa akan kesembuhan adiknya. Dan lagi, aduh...Lagi dan lagi, sekelebat sosok Sigi hadir di sela-sela doanya. Sigitpun memohon kepada Allah, Dzat penguasa nyawa manusia, untuk memberikan kesembuhan juga kepada akhwat itu. Bagaimanapun, doa itu ada karena adanya asa yang kita inginkan. Jangan remehkan kekuatan doa. Doa itu ibarat doping yang memberikan kita energi dan semangat berlebih.
Betul atau benar? ^0^

Sigit mengitari kota Jakarta. Kota yang semakin malam semakin mengganas. Dia berhenti sebentar di mini market XXmart yang selalu berdekatan dengan YYmart. Sebatang coklat Silverking untuk Andien. Biasanya, coklat adalah senjata paling ampuh untuk melumpuhkan kekesalan Andien. Sigit tahu pasti, Andien tidak akan bisa marah dengan adanya makanan manis yang rada-rada pahit ini. tapi kali ini, Sigit membeli dua batang. Tumben banget.

“Abang...!” teriak Andien berlari ke pelukan kakak laki-laki satu-satunya itu. Sigit mendekap mesra malaikat mungilnya. Sigit mengeluarkan sebatang coklat yang dibeli tadi. Satunya lagi, tetap didiamkan dalam tas ranselnya. Andien menyambar coklat itu seraya mengucapkan terimakasih. Sigit menggendong adiknya, kemudian mendakit ibu bapaknya bersalaman yang memang sedari tadi menonton sepotong adegan indah persaudaraan.

“Andien, lain kali larinya pelan-pelan saja, ya...” ucap Ibu bijak menasehati. Andien cengar cengir sambil memeluk erat kakaknya. Andie tidak boleh lelah, apalagi terkejut atau kaget. Juga tidak sanggup terlalu senang. Bisa-bisa jantungnya berhenti berdetak. Andien dari sejak lahir, mengidap kelainan jantung. Dokter mendiagnosa, bilik jantung Andien berlubang  yang menyebabkan terjadinya kebocoran darah di bilik kiri dan bilik kanan jantung. Lubang itu semakin membesar yang bisa saja menyebabkan kegagalan jantung.

“Harus mendengarkan apa yang Ibu dan Ayah katakan, OK?” Sigit membuat perjanjian yang terus menerus sama dengan selalu melingkarkan jari kelingkingnya masing-masing. Andien mengangguk-angguk menurut. Polos sekali anak yang bau jahe ini.

Sigit masih menggendong Andien. Tidak ada rasa jemu terlihat di wajahnya. Dia mengelus-elus lembut rambut malaikat kesayangannya itu.  Andien ternyenyak, lelap sekali sampai tidak tersadar sudah berpindah ke tempat tidurnya. Sigit mengendap-endap keluar dari kamarnya, malam ini Andien akan tidur bersamanya. Dimatikannya lampu kamar, dan menutup pintu membiarkan Andien terbaring sendiri. Sigit menemui Ibu dan Ayahnya yang seolah menunggu segudang cerita aktivitasnya. Enak ya...punya orang tua yang selalu sigap mendengarkan curahan hati anaknya.

“Bagaimana perjalanan ke bogornya?” Ayah membuka diskusi malam itu. Sigit tertunduk malu, tapi senyum merekah menyungging di kedua sudut bibirnya.

Ibu mulai menggoda anaknya, “Sepertinya kita akan mendengarkan kabar baik, Bi...” sambar Ibu melirik Ayah. Ibu seakan bisa membaca isi hati dan pikiran anaknya. Ayah berdehem-dehem menyindir.

“Umi sudah tidak sabar ya...menggendong cucu,” sahut Abi bermaksud menggoda Sigit. Sigit merasa tersudut, kini ruangan itu teramat sempit untuknya bernapas. Udara ber-AC di ruang keluarga itu, terasa panas bak gurun Sahara. Sigit menyeka keringatnya yang masih bersembunyi dalam pori-pori kulitnya. Abi dan Uminya, sedari tahun-tahun lalu, mendesak halus anak sulungnya itu untuk mengakhiri masa jomblo. Beristri lebih baik daripada tidak beristri, begitu kata Abi. Beberapa bulan lagi, Sigit akan berusia 27 tahun terhitung 27 November. Umur yang tidak terlalu muda dan juga cukup dewasa untuk berani mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga.
Hahahay...angka 27 terus, dimaklumi saja itu nomor bersejarah ^0^

“Abi dan Umi, banyak-banyak berdoa saja ! Sigit sedang berusaha untuk mencari calon mantu buat Abi dan Umi,” jawaban diplomatis Sigit. Ehhh...Sigi muncul lagi dalam bayangan sekilas Sigit. Bahkan sampai detik ini, akhwat itu masih misteri baginya. Sigi? Siapa orang itu? Nama Sigi menghantuinya, setidaknya di setengah hari kehidupannya. Abi dan Umi terperanjat yang tidak ditampakkan. Mereka terperangah dengan kata pasti Sigit yang terdengar sangat serius saat ini. Mereka tersenyum membatin memperhatikan kekalutan dihati anak kebanggaannya itu. Rasa suka tanpa kompromi menghunjam hati Sigit.

***
Di rumah sakit Harapan Bangsa...

Kinan tepekur disebelah Sigi. Tangan Sigi, dia genggam erat seolah tidak akan melepaskannya. Pandangannya tidak mau meninggalkan Sigi yang masih payah. Dia mengusap kening sahabatnya itu.

 “Bangunlah, sayang...!” bisik Kinan ditelinga Sigi. Sudah hampir satu hari, Sigi berkelana di alam lain. Sigi belum jua menandakan akan siuman. Ini tidak lumrah untuk orang yang terserang maag.

“Nan...” Tante Dewi memasuki kamar Sigi bersama Om Adam dan dokter Fahri dan tiga perawat. Kinan bangun dari duduknya. Tapi aneh, ekspresi yang ditunjukkan tante Dewi dan Om Adam. Ada kegelisahan yang teramat di mata mereka. Dokter fahri mendekati Sigi, melakukan pemeriksaan rutin vital sign. Dokter Fahri menyoroti kedua mata Sigi dengan penlight, mengukur suhu badannya dan mendengarkan detak organ dalamnya dengan stetoscope. Dokter Fahri mendesah, mimik mukanya sangat-sangat serius. Yang biasanya sikap ramahnya tidak hilang, kini dia agak terlihat gusar.

“Kita harus melakukan CT Scan, sekarang juga!” suara dokter Fahri tegas. Kemudian dia menyuruh perawat menghubungi departemen yang bertugas menscanning pasien dan menyiapkan segala yang harus disiapkan. Satu perawat lari keluar dan duanya lagi bersiap akan memindahkan Sigi. Tubuh Tante Dewi bergetar, kakinya tak mampu lagi menopang badannya. Om Adam segera memapah istrinya. Dokter Fahri menenangkan orang tua Sigi dan menyuruh mereka menyiapkan kemungkinan terburuk yang terjadi kepada Sigi. Kinan juga ikut-ikutan terperenyak. Debaran jantungnya semakin cepat dan hampir roboh. Dia segera berpergangan pada ranjang yang sudah kosong, dan membiarkan Sigi dibawa ke ruang CT SCAN. Tante Dewi dan Om Adam mengikuti dokter Fahri untuk menemani Sigi. Kinan, terpatung di tempat. Tangannya mulai lemas, dan ‘brukkkk’ Kinan jatuh ke lantai. Dia menangis sejadi-jadinya. Air matanya terlalu deras untuk dibendung.

Tubuh Sigi bersiap-siap dimasukkan ke sebuah alat yang bisa memperlihatkan semua kondisi orang-organ dalam yang tidak nampak oleh mata biasa. Tubuh Sigi bergerak sedikit demi sedikit memasuki SCANNER. Tante Dewi dan Om Adam pasrah menyaksikan tubuh anaknya di sinar sinar X. Setelah beberapa lama, hasil pemeriksaan Sigi keluar. Sigi dikembalikan ke ruang  rawat semula. Kinan masih terjaga untuk menunggunya membuka mata. Kemudian dokter Fahri mengajak tante Dewi dan Om Adam ke ruang kerjanya. Seburuk apapun kondisi pasien, wali pasien harus tahu segala sesuatunya dengan detail.

Di dalam ruang kecil yang dipenuhi tumpukan buku-buku kedokteraan. Dokter Fahri mengambil nafas dan mengembuskannya perlahan. Dokter itu seakan tidak ingin menyampaikan hasil test, tapi profesionalitas harus tetap dijunjung tinggi. Om Adam terlihat tegar, sepertinya sudah sanggup menerima kenyataan pahit. Namun, tante Dewi harus terpaksa mendengarkan apapun yang akan dokter Fahri katakan. Ketidakikhlasannya masih amat besar dibandingkan dengan kerelaannya pada kondisi kritisnya Sigi. Dari muka dokter Fahri tertulis jelas, ada sesuatu yang tidak beres dengan kondisi Sigi.

“Maag kronis yang selama ini diidap Sigi, sudah berkembang ke arah yang lebih serius. Sekarang, kanker lambung menjangkit tubuh Sigi,” ujar dokter Fahri gemetar. Dia memperlihatkan lembaran-lembaran foto scan keadaan lambung Sigi saat ini. Ada bulatan besar di dinding alat pencerna makanan itu.
Ngeri…!^0^

“Lihat! Benjolannya terdapat di tengah-tengah dinding lambung. Ini akan sangat beresiko jika dibiarkan berlalut. Kami akan segera melakukan operasi pengangkatan, dan untuk membunuh seluruh sel kanker akan dilanjutkan dengan kemoterapi. Yang saya butuhkan sekarang adalah ketenangan kalian, Wi…Dam…Sigi sangat membutuhkan dukungan moral kalian. Dan kalian harus lebih tegar daripada Sigi. Pahamkan maksud saya?” terang dokter Fahri. Tante Dewi berupaya menahan emosinya lebih jauh. Dia tidak mengira penyakit maag Sigi akan semenakutkan ini jadinya.

“Lakukan apapun yang menurut dokter itu terbaik untuk Sigi.” Om Adam bersuara pasti. Dia  tetap stay calm dan berusaha menenangkan istrinya.

***
Sigit belum jua memejamkan matanya. Selarut ini, dia masih sibuk dengan kerjaannya yang bejibun. Dibalik meja, dia menatap Andien yang tertidur pulas. Adik satu-satunya itu, kapanpun bisa di ambil oleh Tuhan dari dekapannya. Sigit melepaskan lembaran-lembaran kertas yang sedari tadi dia ubrak abrik. Dia mendekati Andien, berbaring disampingnya. Sigit memeluk tubuh kecil itu dan mencium keningnya.

“Maafkan abang, tidak bisa selalu berada disisimu setiap waktu.” Sesal Sigit yang terlalu sibuk dengan amanahnya. Dia membelai-belai rambut adiknya, dan bebrapa menit kemudian Sigitpun tertidur.

***
Di padang ilalang, perempuan bergaun putih berlari-lari, tertawa lepas, dan berputar-putar riang. Ciehhhh...Bayangkan salah satu adegan di film India!. Dia amat menikmati semilir angin yang membelai ujung jilbabnya yang berkibar. Mewangi khas rumput liar merebak memenuhi penciumannya. Awan nampak bersahabat, membalut bumi dari terpaan sengatan sang surya. Perempuan itu berdendang sembari mengibas-ngibaskan gaunnya. Suaranya indah mengalun. Burung-burung buru-buru berkicau merasa tersaingi. Dari kejauhan, muncul sosok tinggi tegap berkacamata. Sigit melangkah mendekat. Dia meicingkan mata, memandang perempuan putih itu dari jarak beberapa meter. Senandungnya masih tertangkap indra pendengaran Sigit. Dia tersenyum menunduk, lega rasanya, seperti sekian tahun Sigit terjebak dan sekarang betapa bahagianya bisa bertemu seseorang di padang ilalang yang sangat luas ini yang entah dimana batas ujungnya. “ternyata aku tidak sendirian,” gumamnya. Sesaat dia menongakkan kembali penglihataannya, namun perempuan itu sudah tidak ada lagi di posisinya. Sigit terkesiap, gusar memandang kesana kemari mencari raga perempuan misterius itu. Sigit berlari ke tempat perempuan tadi berdiri. Kosong, tidak ada. Kepasrahan sudah menggelayut di wajahnya. “Aku sendiri lagi...” ratapnya pedih. Sigit merana. Dia kembali menapaki setiap jengkal padang itu. Beberapa langkah kakinya berjalan, mendadak pundaknya merasakan sentuhan jemari. Sigit terdiam, jantungnya berdenyut cepat. kemudian membalikkan tubuhnya pelan. Bukan main, Sigit terperangah. Perempuan yang tadi menghilang, kini tepat berdiri didepannya, menampakkan senyum bersahabat.

“Si...Gi...!” tukas Sigit terbata-bata.

Sigit terbangun. Peluh membasahi keningnya. Semburat kebingungan tergambar diwajahnya. “Sigi...Sigi...Sigi...”teriaknya dalam hati. “. Sigit terjaga malam itu. Matanya terus melek tak mampu menutup lagi. Ditatap adiknya yang terpulas seraya memperbaiki selimut yang membenamkan tubuh Andien.

Sigit mengambil air wudhu dan bermunajat dengan khusyuknya. Sholat malam dua rakaat, Sigit menyelipkan kegundahaannya untuk dia sampaikan kepada Sang Pencipta, “Ya Allah...berikanlah petunjukMu. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Dan Mengapa dia hadir dimimpiku?” batin Sigit menjerit meminta kemurahan Tuhan.

Bersambung...






4 komentar:

  1. aduh, ada apa dengan angka 27.

    wah..keren penggambarannya, Yiq. semakin hanyut sama ceritanya...aku sukaaaa. gak papa kok, kalau terdesak. masak mau nunggu ambulan dtg, keburu mati orang...jadi sedih.

    tapi kok bunga....ngapain, jadi geli. lucu Kinan banyak dialog sendiri..khayalan di pikirannya terlalu nyata buatnya :D

    btw, banyak istilah yang bikin saya ngakak.
    "mini market XXmart yang selalu berdekatan dengan YYmart" hehehe
    silverking..

    BalasHapus
    Balasan
    1. 27 kan nomor favoritku unn...tgl 27 aq lahir, tgl 27 aq di wisuda...

      ya,,iya,,,stlh baca ulang,,,kok bunga? hehehe..habis pas nulisnya kepikiran bunga aja...inshaa Allah, gak sia2 kok semua peristiwax,,nanti pasti ada sangkut pautnya di masa depan...

      alhamdullilah...istilah2ku bisa membuat mbk ran ketawa....

      ditunggu terus ya..kelanjutan ceritanya....

      Hapus
    2. wah, kalo itu...sy keterima kuliah tanggal 5, wisuda tanggal 5..

      hihihi jalannya mereka ketemulagi yg bikin pinisirin..

      Hapus
    3. sippp....lagi berpikir keras...supaya jalan ceritanya enggak mudah banget di tebak...

      Hapus

sedikit coretan darimu sangat berarti untukku menjadi lebih baik lagi. apapun itu tumpahkanlah isi pikiranmu tentang tulisan ini, terimakasih

 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea