Penulis : Jang Yiq
Ahad pagi, Sigi terlihat sangat bergairah. Wajahnya
berseri-seri bagai sinar mentari yang sayup-sayup menyelinap masuk kamarnya.
Tumben, dia tidak melanjutkan tidur sehabis sholat subuh. Biasanya, hari
minggu, Sigi menghabiskan waktunya untuk istirahat. Tidak ada yang namanya jalan-jalan, apalagi mencuci
pakaian kotor. Setengah hari, sampai waktu zuhur, badannya akan selalu nyaman
berbaring di kasur KW empuk peninggalan neneknya. Dan baru akan keluar kamar
ketika perutnya teriak-teriak mau diisi. Lapar!!.
“Dingin…Dingin...”
tukas Sigi menggigil setelah mandi yang teramat singkat untuk ukuran gadis
jaman sekarang. Bersegera dia berdandan, dipilih pilah baju yang ada dilemari, mencari gamis hadiah dari sahabatnya,
Kinan. Gamis
biru putih model masa kini sengaja Kinan berikan di happy miladnya yang ke-20,
tapi tak semenitpun Sigi pernah mencobanya sebelumnya. Sigi ingat dulu, ketika
Kinan menyodorkan kado, Sigi mengira itu gaun malam ala-ala korea. Dibukanya
bungkusan segi empat itu, “bagus
sekali!” seru Sigi sangat memaksa dengan memasang senyum merekah menunjukkan
gigi putih rapatnya, tidak mau membuat hati karibnya menciut. Setelahnya, gamis
itu tidur panjang di dalam lemari. Sampai pada hari ini, “inilah saatnya,
pakailah aku!” jerit gamis itu bersorak sorai, saat Sigi mengambil dan
mengenekannya di badan. “Bagus juga,” Sigi mengangguk setuju dengan
pernyataannya sendiri. Sekarang yang dia butuhkan adalah hijab. Pergi ke
pengajian tanpa hijab, oiiiii….apa kata Kinan nanti?.
“Mama, pinjam hijabnya, ya...” teriak Sigi ngeloyor masuk ke kamar mamanya,
mengacak-acak isi lemari untuk menemukan jilbab yang serasi dengan gamisnya.
Setelah beberapa menit, Sigi kelaur jingkrak-jingkrak senang, hijab yang diinginkan sudah menutupi kepalanya.
“Bisa pakai
sendiri?” sindir mama yang masih asyik di dapur dengan nasi gorengnya.
“Jangan remehkan
Sigi, ma...Ini mah, kecil...” Sigi menyentikkan jarinya menyombongkan diri,
membuka kembali hijab yang sembarang dia kenakan tadi.
“Emangnya mau
kemana,Gi?” tanya mama penasaran, karena untuk pertama kalinya Sigi berani
memakai hijab.
“Ada ODOJ,
ma...Pasti mama tidak tahu,kan...” olok Sigi agak jumawa. Padahal, dia aja tahu
dari Kinan minggu lalu, saat menunggu Kinan selesai kuliah di kantin kampus.
“ODOJ?” timpal mama
mengernyitkan pertanyaan dikeningnya yang sudah agak keriput.
“ODOJ itu adalah One Day One Juz. Jadi, baca al-qurannya
sehari harus satu juz, gitu...” Penjelasan Sigi seperti orang yang sudah pernah
merampungkan satu juz dalam sehari, padahal tilawahnya aja enggak sampai
setengah juz per hari.
Mama hanya mengangguk sok mengerti seraya tersenyum mengamati anaknya yang
heboh kegirangan.
Jarum jam terus
merangkak menuju angka delapan.
Sigi masih mematut diri depan cermin, asyik mencoba beberapa trend jilbab
terkini. Tapi tak berhasil jua, membuatnya sedikit frustasi. “Hffffffhhh...Susahnye...”
keluhnya menirukan gaya Ipin dan Upin, kartun produksi Malaysia yang populer di
Indonesia. Gara-gara adiknya yang seumur balita, Sigi terpaksa ikut
menongkrongi budak kembar botak dari negeri jiran itu. Setelah sekian menit,
mencoba meleotkan ujung hijab kekanan kekiri, akhirnya, Sigi menyerah, terpaksa
dia menggunakan gaya pesantrennya Kinan yang kolot. Sigi yang dasarnya cuek,
tidak memerlukan waktu banyak untuk membuat suasana hatinya percaya diri. Setelah
meninggalkan senyumnya di depan cermin, dia keluar kamar dengan bangganya,
berhasil memakai jilbab bergaya paruh burung.
Bisa dibayangkan... ^0^
“Mama, aku pamit
pergi,ya...” Sigi mendekati ibunya yang lagi sibuk menyiapkan sarapan di meja
makan.
“Sarapan dulu,
nanti maag-nya kambuh lho!” seru mamanya agak khawatir. Sigi memang
menderita penyakit asam
lambung. Dia harus berkali-kali bolak-balik rumah sakit untuk meredakan nyeri
yang sudah sangat kronis itu.
“Aku udah telat ini, Ma. Lihat, Kinan udah
menungguku!” Sigi memperlihatkan SMS Kinan yang baru masuk. Mama tidak mampu mencegatnya untuk
sekedar sesendok nasi memasuki alat pencernaannya, buru-buru Sigi menjabat tangan mamanya dan mengucap salam perpisahan.
Motor bebeknya sudah nangkring di depan garasi, tidak sabar untuk ditunggangi.
“Bismillahirrohmanirrohim….”
Sigi melaju menyusuri jalan menuju tempat acara, Masjid Raya Bogor.
Di depan Masjid
Raya, ramai benarrr, gerombolan para hijaber
bersiap-siap memasuki rumah Allah itu. Mereka terlihat sangat bersemangat,
seulas senyum seakan tidak mau meninggalkan bibir-bibir itu. Disana sini terdengar
ucapan dan sambutan salam,
cipika cipiki saling berangkulan. Rasa Ukhuwah begitu
kental terasa. Binar muka mereka
terpancar penuh kasih sayang. Padahal, tidak ada hubungan darah yang mengikat.
Namun, sebenarnya, islam mengukuhkan mereka pada satu darah nenek moyang, keturunan Nabi Adam.
Sungguh indah dipandang…^0^
Para lelaki
berkoko juga tidak kalah bejibun.Ya, walau tidak semuanya
memakai pakaian koko, tapi Sigi senang menyapanya dengan sebutan itu. Sigi
tidak secentil itu untuk menyapa mereka langsung, Cuma di ucapan saja. Sigi selalu dibuat takjub dengan prilaku mereka. Kaum
adam golongan ini, bagai sudah di program untuk menghormati para perintis hawa. Pandangan mereka terjaga, dan tidak sembarang
mengumbar perhatian. Tapi Sigi yakin, pasti salah satu dari
mereka ada yang merampok pandang, meski hanya sekilas di ujung mata. Mereka terlihat asyik bercengkrama, menggerak-gerakkan
tangannya ke atas, ke samping dan
ke bawah layaknya sang motivator, Mario Teguh. Entah apa yang mereka
diskusikan, mungkin membahas
masalah dakwah, mungkin juga perkembangan islam masa kini.
Subhanallah…^0^
Sigi mengamati
kagum dari atas motor bebeknya yang Sengaja
dijalankan sangat pelan, karena juga memang sudah akan memasuki halaman
masjid. Terasa ada bulir embun menghinggapi hatinya, sejuk rasanya memandangi
pemandangan yang ada disekitarnya. Apakah ini sebuah pertanda Sigi mendapatkah
hidayah?.
Kita lihat saja nanti...^0^
Sigi memarkir motor
bebeknya di parkiran kanan khusus Akhwat, panggilan sayang untuk kaum hawa
berhijab. Hati-hati sekali, dia membuka helmetnya, takut jilbab paruh burungnya
patah. Berharap bisa berkaca sepintas di spion, tapi urung dilakukan, karena tepat disebelahnya
ada seorang akhwat yang tiba-tiba menyapanya dengan salam.
“Assalamu’alaikum....” ucapnya lembut.
Sangat lembut sampai menggetarkan ulu hati Sigi. Kemudian akhwat itu berlalu pamit
masuk duluan ke dalam masjid, meninggalkan senyumannya yang paling tulus. Sigi
terhanyut sesaat, sampai lupa menghubungi Kinan. Kesadaraannya pulih, Sigi merogoh handphone disakunya dan membuat panggilan untuk Kinan.
“Anti, posisinya dimana? Ana di parkiran,ini...” sungut Sigi dengan bahasa ala anak
dakwah. Sebenarnya, dia hanya mencontek apa yang sering Kinan ucapkan di forum
syuro kaderisasi kampus fakultas Psikologi. Karena seringnya dia menguping rapat para jantung
pergerakan dakwah kampus.
“ya, tunggu di situ! Ana keluar sekarang.” Kinan
berjalan keluar Masjid menuju parkiran. Dia menoleh kesana kemari mencari sosok
Sigi seraya handphone masih tetap diaktifkan. Sigi melambai-lambaikan tangannya sambil jingkrak-jingkrak, sangat senang sekali menangkap
sosok Kinan seakan tidak berjumpa berbulan-bulan.
Dan
Kinan tersenyum menghampiri.
“Subhanallah…Cantiknya,
ukhti…!” puji Kinan, entah itu dari hatinya yang paling dalam atau hanya sekedar
basa basi untuk membesarkan hati Sigi yang sudah mau datang ke tempat itu. Seminggu ini, Kinan mati-matian merayu Sigi untuk hadir hari ini.
“Sudah, jangan ngolok! Mana ustadz yang katamu cakep badai itu?” Sigi
langsung mengutarakan alasan kedatangannya. Seminggu yang lalu, Kinan memang berucap,
bakalan ada ustadz yang
ganteng abisss dari Jakarta sebagai pengisi acara. Itupun Kinan terpaksa menyebutkannya. Maklum, Sigi
sangat susah diajak ke acara-acara keagamaan, kalau alasaanya cuma untuk
menambah ilmu.
“Enggak sabaran sekali, neng…” goda Kinan gemas
menggelitik-litik dagu Sigi,
cara Kinan menunjukkan kegembiraan pada sahabatnya itu.
“Kalau begitu,
ayok, masuk! Aku mau duduk di deretan terdepan, biar jelassss semuanya,” Sigi
menarik lengan Kinan, melangkah memasuki aula Masjid. Namun,
Kinan menariknya lebih keras, membuat rangkakan kaki Sigi terhenti. Sembari
tersenyum haru, Kinan memperbaiki Jilbab Sigi yang agak merong, semakin menajamkan gaya paruh burungnya dan
merapikan gamis modis pemberiannya.
Di hari ulang tahun Sigi, Kinan sengaja membelikan gamis.
Setahun gamis itu tersimpan di lemari, sekarang Sigi memakainya. Benar-benar
tidak terduga. Mata kinan berkaca-kaca memandangi
penampilan Sigi kini dihadapannya. Usahanya selama setahun ini untuk mebujuk Sigi tentang kewajiban hijab bagi
muslimah, seolah terbayar meski hanya untuk sehari. Sigi, gadis yang tomboi, selalu memakai pakaian yang
kekurangan bahan, celana jeans pensil ketat, bertransformasi menjadi gadis
kemayu, berhijab pula. Walau itu hanya hari ini, satu hari, tapi mampu membuat
Kinan terenyuh.
Akupun ikut terhuyung...^0^
Bulir air mata itu
pecah juga, merembes mencari tempat bermuara. “Mulai dah, lebay...” Sigi
mendekap Kinan, mengelus-elus punggung sahabat sentimentalnya itu. Kinan
sesegukan, menahan air matanya tidak mengalir lebih banyak lagi. Sekelebat,
akhwat-akhwat lain menatap heran, seperti melihat sepasang saudara yang
terpisah sejak lahir dan baru bertemu kembali setelah berumur dewasa.
Hehehehe…^0^
“Stop,
dramasisainya! Sekarang, mari kita kejar barisan paling muka. Skalian
saja,kalau boleh, aku...Ehhhh...Ana duduk dekat ustadz tampan itu.” Sigi
menghapus sisa air mata di pipi Kinan. Kinan terhentak,
sohibnya menduplikasi caranya berbicara, namun tidak menghilangkan jati dirinya
yang blak-blakan. Mereka pun
berjalan bergandengan. Sigi sangat mengerti isi hati Kinan. Kinan merindukan
dirinya menjadi seorang muslimah yang seutuhnya. Sigi tersentuh melihat perjuangan sahabatnya itu, berjuang untuk
merontokkan tembok berlin di dalam dirinya.
Sigi dan Kinan
berlarian kecil untuk
memperoleh tempat duduk di garis terdepan. Antusias hadirin
dan hadirot yang lain diluar
dugaan Sigi. Dia harus berdesak-desakan, meski pada ujungnya dia dan Kinan
terduduk di posisi garis kedua. Sigi menganga kagum, menatap poster besar
bertuliskan ‘silaturrahim ODOJ (one day one juz) se-JABODETABEK”, nampak sederhana tapi begitu megah di mata
Sigi.
“Ini, gara-gara
kamu...Ehhh...Lupa lagi...Anti, pakai acara nangis-nangis, terharu segala.
Ludes dah, kesempatan Ana lebih dekat dengan ustadz ganteng,” cibir Sigi dengan nada bercanda, membuat
Kinan menahan tawa sembari membuat perutnya terasa sakit. Seandainya bukan di
tempat sakral ini, sudah terpingkal-pingkal Kinan tertawa lepas.
“Stop, bercandanya! Moderatornya
sudah siap memulai acaranya, itu...” sela Kinan, Sigi langsung memperlihatkan
muka serius kedepan, memperhatikan moderator yang membuka acara setingkat
nasional itu. Kemudian dilanjutkan dengan lantunan tilawah yang amat merdu dari
qori’ juara nasional, membuat bulu roma Sigi berdiri. Terhipnotis dengan setiap
alunan firman Allah, Sigi mencoba menutup mata, menakjubkan!. Seumur-umur, Sigi
baru mendengar tilawah sebegitu dahsyatnya. Kinan mencuri lirik ke arah Sigi,
sunggingan senyum tertoreh lagi di wajahnya. Sekiranya, jika bumi ini adalah
miliknya, dia rela melepasnya untuk Sigi, kalau memang itu membuatnya menjadi
Sigi, sang hijaber syar’i.
Ohhh…Kinan…^0^
“Kita sambut
pembicara yang sudah di tunggu-tunggu, utusan ODOJ pusat dari kementerian
agama, ustadz Sigit Pratama. Tafadhol[1] ustadz...!” sang moderator mempersilakan ustadz Sigit
mengambil spot di tengah-tengah hadirin yang hadir. Dengan gagahnya, ustadz
Sigit melangkahkan kakinya ke tempat yang sudah disediakan. Memang
dasarnya kece, ya…Mau bagaimanapun posenya tetap kerenlah!.
Sigi terpukau,
matanya serasa ingin keluar dari kelopaknya. Bahkan untuk terpejampun tidak ada
celah. Sungguh benar apa yang diungkapkan Kinan, Ustadznya tampan badai
halilintar, pinjam istilahnya syahrini. Mukanya
mulus bersih bak artis korea, hanya beberapa helai janggut yang menempel. Rambutnya
hitam lurus. Ehhh…dia pakai kacamata, sihir karismanya semakin tajam. Kalau kalian
pernah searching di internet karikatur sosok ikhwan, orang ini sama persis
rupanya. Secepatnya, Kinan menutup mata Sigi yang sudah sangat melebar. “Jaga
imaj, seorang akhwat harus mampu menjaga pandangannya,” ceramah Kinan yang
memang sudah ahlinya dengan Ghodhul Bashor[2].
Dasarnya Sigi, dia menepis tangan Kinan, “Jangan ganggu kesenanganku, dong…”
timpalnya merasa tak berdosa.
“Ngomong-ngomong, udah nikah enggak ya…? Muda banget…”
Sigi kelimpungan, tidak sanggup menyembunyikan keingintahuannya.
“Mirip bangetttt…Dengan gambar kartun ikhwan yang
ada di internet. Persis…” sambung Sigi cengengesan.
Kinan menghembuskan napas, hffffhhhh…Dibiarkannya Sigi
terus melotot ngawur dan berdoa agar ustadznya tidak risih kalau seandainya
tiba-tiba ustadz Sigit mengalihkan sedetik pandangannya ke Sigi.
Satu jam lewat, dua jam berlalu. Sigi tak nampak
bosan. Sesekali dia tertawa mendengar selipan guyonan dakwah sang ustadz. Ternyata
ustadznya rada-rada sedikit lucu, gitu. Kalau Kinan, sibuk dengan
catatan-catatan penting pembicaraan ustadz. Sudah menjadi kebiasaan untuk menulis
intisari dari setiap taujih ataupun materi ceramah yang disampaikan.
“Aduh…” Sigi menjerit dalam angannya. Dia memegang
perut sebelah kirinya. Menahan nyeri dengan menekan-nekan lambungnya. Perutnya terasa
terbakar, ulu hatinya seperti melepuh. Maagnya kambuh. Ustadz Sigit menjadi
tidak menarik lagi. Ketampanannya buyar, karismanya memudar. Tidak mau membuat
Kinan khawatir, Sigi pamit ke kamar mandi, beralasan akan buang air kecil. Kinan
berdiri akan mengantarkan Sigi, tapi Sigi mengisyartkan untuk pergi sendiri,
biar Kinan melanjutkan mencatat apa kata ustadz saja. Tanpa curiga sedikitpun,
Kinan kembali duduk menyimak.
“Sakit…Sakit…Sakit…” rintihnya. Sigi mulai merasa
mual, muntah-muntah yang tidak sembarangan. Keringat dinginnya bercucuran. Tidak
mampu berdiri lagi, dia bersandar dan terduduk. Diraihnya handphone, berniat
menelpon mama, tapi kantong gamisnya kosong. Astaga, handphonenya di dalam tas,
tadi dia pindahkan saat memasuki masjid. Tubuh Sigi melemas, kesadarannya
tinggal setengah watt. Dia mencoba meraih gagang pintu toilet, namun tenaganya
sudah terkuras. Rintihannya tak tertahankan, Sigi mulai teriak pilu seraya
mengetuk-etuk pintu, kecil sekali suaranya. Kecoapun tak akan mendengarnya. Kembali
diraba perutnya yang bagai tersayat-sayat benda tajam, melilit-lilit
menjeratnya. Sigi menggeliat-geliat bak cacing kepanasan. Sampai pada
penglihatannya hitam, gelap dan pingsan.
“Bagi yang belum terdaftar menjadi anggota ODOJ,
monggo daftar sekarang, di sini.” Ustadz Sigit menghimbau kepada seluruh
hadirin ikhwan dan akhwat, tanda acara akan segera berakhir. Hadirin yang belum
terdaftar, berhamburan ke pos pendaftaran yang sudah disediakan khusus ikhwan
dan akhwat. Kinan tidak bergerak, masih terduduk. Kinan melirik jam tangannya,
sekitar lima belas menit Sigi pergi dan tak kunjung balik. Perasaan risaunya
menggelayut. Rencananya akan mendaftarkan Sigi untuk ikutan ODOJ hilang
tertelan ludahnya yang was-wasan. Dia sangat tahu, Sigi mengidap maag kronis,
dan kesalahannya dia mengabaikannya.
Kinan berlari menuju toilet khusus perempuan yang
terpisah beberapa meter dari bangunan utama masjid, dari ketiga baris toilet
itu, cuma nomer ketiga yang tertutup. Pasti, Sigi di dalam pikir Kinan. Kinan
menggedor-gedor pintu kamar kecil itu, tidak ada respon. Kinan mulai panik,
pikirannya sudah tidak jernih. Dia mencoba mendobrak pintu itu sendirian, apalah
arti kekuatan seorang perempuan, pintu tak bergerak sedikitpun. Air matanya
timbul, tersedu-sedu dia memanggil nama Sigi seraya tak henti-hentinya
menggedor pintu itu.
“tolong…tolong…tolong…!” Kinan berteriak
sekencang-kencangnya. Ditendang-tendangnya pintu yang masih kokoh berdiri itu.
Kinan bak kerasukan Jin Iprit, sisi sentimentalnya digerus ketakutannya yang
teramat sangat.
Sekelompok laki-laki terlihat sempuyungan, ada emapt
tepatnya. Usatdz Sigit, temannya ustadz Sigit, sang Moderator, dan Marbot
Masjid. Ternyata Masjid sudah mulai sepi. Para hadirin silaturrahim sudah
beranjak pulang.
“Apa yang terjadi, ukhti…?” tanya Ustadz Sigit
gusar. Kinan hanya bisa menunjuk-nujuk ke arah toilet, tak mampu berkata-kata
lagi. Suaranya seperti tertelan kerongkongannya. Ustadz Sigit langsung
mengerti, kemudian dia menyuruh Kinan minggir sejenak agar tidak menghalangi. Ustadz
Sigit memperbaiki kacamatanya yang tak melorot, mengambil ancang-ancang untuk
membuka paksa pintu itu. Satu kali benturan, tidak berhasil, dua kali, belum,
dan ketiga kali “Brrrraakkkk….” Pintu aluminium itu menyerah juga. Ustadz Sigit
terkejut, didapatnya tubuh perempuan yang terkulai. Sangat lemah dan darah
berceceran di lantai dan bernoda di gamis Sigi. Refleks, keadaan genting,
ustadz Sigit mengangkat tubuh kecil lunglai itu. Dia membopongnya keluar
sembari berkata, “Cepat, panggil ambulance!!!”. Ustadz Sigit berlari diikuti
Kinan dan ketiga lainnya. Marbot memanggil nomor darurat rumah sakit terdekat. Usatdz
Sigit membaringkan Sigi, dan menyuruh Kinan memapahnya. Kinan masih saja
merengek, memanggil nama Sigi. Dia membelai wajah Sigi, memerintahkannya untuk
tersadar. Kinan berbisik di telinga Sigi, “Maafkan aku…”
“Sekarang, semuanya tenang!. Ambulance akan segera
datang,” Ustadz Sigit menenangkan semua yang ada disana. Terpampang jelas, muka
panik mereka.
Sepuluh menit kemudian, ambulance tiba. Kembali ustadz
Sigit mengangkat tubuh Sigi dan memasukkannya ke ambulance. Kinan juga masuk
menemani. Sebelum pintu mobil tertutup, Ustadz Sigit sempat memberikan kartu
namanya, meminta dihubungi kalau Sigi sudah siuman. Kinan hanya menunduk,
mengangguk seraya mengambil kartu yang bertuliskan nama, alamat kantor, nomer
kontak dan alamat email itu.
Ayok…kenapa ustadz
Sigit memberikan kartu namanya? ^0^
Ambulance melaju kencang, mengamini kegalauan Kinan.
Rumah Sakit Islam Siti Hajar menyambut Sigi yang sudah tak berdaya. Langsung dilarikan
ke ruang gawat darurat, meminta pertolongan pertama. Kinan mondar-mandir cemas di
luar ruangan ICU sambil menelpon orang tua Sigi. Mereka akan segera datang. Adzan
zuhur berkumandang. Kinan beranjak ke Musholla Rumah Sakit, menunaikan sholat
dan untuk menenangkan hatinya. Kinan mengambil air wudhu, dan melaksanakan
sholat empat rakaat itu. kemudian dia menengadahkan kedua tanganya, menunduk
sedalam-dalamnya, mengiba kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang,
“Ya Allah…Kehendak-Mu
tidak kuasa untuk hamba ubah. Takdir-Mu sudah Engkau tulis sebelum kami
dilahirkan. Tapi hamba memohon, berikanlah dia kehidupan satu kali lagi. Izinkanlah
dia menghirup napas sekali lagi. Ini belum
saatnya dia untuk menghadap-Mu, ya Rabb…Karena sudah semakin dekat dia dengan
Hidayah-Mu, tinggal selangkah lagi, ya Rabb…Hamba merajuk kepada-Mu, kabulkan
doa hamba…Amin.”
Bersambung…..
sejak ustadznya dateng suasana berubah jadi lucu tapi tegang...dari awal udah lucu juga sih.. >_<
BalasHapusjadi inget novel Pinkan..mbk Ulan n mbk Ilma "benci", gak suka ceritanya. padahal saya baca senyam senyum blushing sendiri.. ^_^
novel pinkan belum kubaca unn...ceritanya mirip ya?^*^
Hapusgak mirip...sama sekali. tapi jadi keinget serial pinkan gara2 "kasih kartu nama".
Hapusoia oia, bisa y sampe muntah darah krn maag? itu darah karena muntahnya apa karena dy kebentur kepalanya?
sipp...kirain mirip...
Hapusklu maagnya sudah kronis, sampe muntah darah mbk ran...
itu darah muntahnya sigi,,,yg berceceran ...hehehehe
kasian Sigi..
Hapusbahaya penyakit maag....tidak bisa diremehkan ini!!
HapusHaha... Ini baru cerita akhwat... Yup walopun sy lbih suka klo ni crita kgak ada sigitnya, g tau napa... Berhrapnya sigit cm pmanis tp tu g mungkin yah, hehe scara judul dah mengarah...
BalasHapusg tau npa tu ustadz ksh2 kartu nma kgk penting, he :P.... Kesan sy wktu bc ni Subhanallah ... Ni crita dahsyat bgt bhas ODOJ, ni pasti si empunya cerita lg promosi ni... Trus pnyakit maagnya wuih sadis bgt, dramatis bgt, secara kalo maag sy kmbuh reaksinya bda, hoho tp ternyta kalo kronis tu prah bgt yah, soalnya kbayang si sigi ngenes bgt...
critane asiiik yiq, lanjutkan :)... kalo Yiq pernah ntn SUCI 4, gaya critamu mirip Hipdzi, serius... Hehe...
belum pernah nonton SUCI 4 unn...Hipdzi itu siapa unn?
HapusSalah satu finalis SUCI 4...
Hapusmari kita tetap berlatih nulis......
Hapuskayaknya kita perlu banyak2 baca novel dan cerpen penulis2 lain unn...
semangat menulis !!