Kamis, 24 April 2014

Sigi menjemput Sigit bag.1

Diposting oleh mongyimongyi di 12.51


                                                                           Penulis : Jang Yiq

Ahad pagi, Sigi terlihat sangat bergairah. Wajahnya berseri-seri bagai sinar mentari yang sayup-sayup menyelinap masuk kamarnya. Tumben, dia tidak melanjutkan tidur sehabis sholat subuh. Biasanya, hari minggu, Sigi menghabiskan waktunya untuk istirahat. Tidak ada yang namanya jalan-jalan, apalagi mencuci pakaian kotor. Setengah hari, sampai waktu zuhur, badannya akan selalu nyaman berbaring di kasur KW empuk peninggalan neneknya. Dan baru akan keluar kamar ketika perutnya teriak-teriak mau diisi. Lapar!!.

“Dingin…Dingin...” tukas Sigi menggigil setelah mandi yang teramat singkat untuk ukuran gadis jaman sekarang. Bersegera dia berdandan, dipilih pilah baju yang ada dilemari, mencari gamis hadiah dari sahabatnya, Kinan. Gamis biru putih model masa kini sengaja Kinan berikan di happy miladnya yang ke-20, tapi tak semenitpun Sigi pernah mencobanya sebelumnya. Sigi ingat dulu, ketika Kinan menyodorkan kado, Sigi mengira itu gaun malam ala-ala korea. Dibukanya bungkusan segi empat itu,  “bagus sekali!” seru Sigi sangat memaksa dengan memasang senyum merekah menunjukkan gigi putih rapatnya, tidak mau membuat hati karibnya menciut. Setelahnya, gamis itu tidur panjang di dalam lemari. Sampai pada hari ini, “inilah saatnya, pakailah aku!” jerit gamis itu bersorak sorai, saat Sigi mengambil dan mengenekannya di badan. “Bagus juga,” Sigi mengangguk setuju dengan pernyataannya sendiri. Sekarang yang dia butuhkan adalah hijab. Pergi ke pengajian tanpa hijab, oiiiii….apa kata Kinan nanti?. 

“Mama, pinjam hijabnya, ya...” teriak Sigi ngeloyor masuk ke kamar mamanya, mengacak-acak isi lemari untuk menemukan jilbab yang serasi dengan gamisnya. Setelah beberapa menit, Sigi kelaur jingkrak-jingkrak senang, hijab yang diinginkan sudah menutupi kepalanya. 

“Bisa pakai sendiri?” sindir mama yang masih asyik di dapur dengan nasi gorengnya.

“Jangan remehkan Sigi, ma...Ini mah, kecil...” Sigi menyentikkan jarinya menyombongkan diri, membuka kembali hijab yang sembarang dia kenakan tadi.

“Emangnya mau kemana,Gi?” tanya mama penasaran, karena untuk pertama kalinya Sigi berani memakai hijab.

“Ada ODOJ, ma...Pasti mama tidak tahu,kan...” olok Sigi agak jumawa. Padahal, dia aja tahu dari Kinan minggu lalu, saat menunggu Kinan selesai kuliah di kantin kampus.

“ODOJ?” timpal mama mengernyitkan pertanyaan dikeningnya yang sudah agak keriput. 

“ODOJ itu adalah One Day One Juz. Jadi, baca al-qurannya sehari harus satu juz, gitu...” Penjelasan Sigi seperti orang yang sudah pernah merampungkan satu juz dalam sehari, padahal tilawahnya aja enggak sampai setengah juz per hari. Mama hanya mengangguk sok mengerti seraya tersenyum mengamati anaknya yang heboh kegirangan.

Jarum jam terus merangkak menuju angka delapan. Sigi masih mematut diri depan cermin, asyik mencoba beberapa trend jilbab terkini. Tapi tak berhasil jua, membuatnya sedikit frustasi. “Hffffffhhh...Susahnye...” keluhnya menirukan gaya Ipin dan Upin, kartun produksi Malaysia yang populer di Indonesia. Gara-gara adiknya yang seumur balita, Sigi terpaksa ikut menongkrongi budak kembar botak dari negeri jiran itu. Setelah sekian menit, mencoba meleotkan ujung hijab kekanan kekiri, akhirnya, Sigi menyerah, terpaksa dia menggunakan gaya pesantrennya Kinan yang kolot. Sigi yang dasarnya cuek, tidak memerlukan waktu banyak untuk membuat suasana hatinya percaya diri. Setelah meninggalkan senyumnya di depan cermin, dia keluar kamar dengan bangganya, berhasil memakai jilbab bergaya paruh burung.

Bisa dibayangkan... ^0^

“Mama, aku pamit pergi,ya...” Sigi mendekati ibunya yang lagi sibuk menyiapkan sarapan di meja makan.
“Sarapan dulu, nanti maag-nya kambuh lho!” seru mamanya agak khawatir. Sigi memang menderita penyakit asam lambung. Dia harus berkali-kali bolak-balik rumah sakit untuk meredakan nyeri yang sudah sangat kronis itu.

“Aku udah telat ini, Ma. Lihat, Kinan udah menungguku!” Sigi memperlihatkan SMS Kinan yang baru masuk. Mama tidak mampu mencegatnya untuk sekedar sesendok nasi memasuki alat pencernaannya, buru-buru Sigi menjabat tangan mamanya dan mengucap salam perpisahan. Motor bebeknya sudah nangkring di depan garasi, tidak sabar untuk ditunggangi

Bismillahirrohmanirrohim….” Sigi melaju menyusuri jalan menuju tempat acara, Masjid Raya Bogor.
Di depan Masjid Raya, ramai benarrr, gerombolan para hijaber bersiap-siap memasuki rumah Allah itu. Mereka terlihat sangat bersemangat, seulas senyum seakan tidak mau meninggalkan bibir-bibir itu. Disana sini terdengar ucapan dan sambutan salam, cipika cipiki saling berangkulan. Rasa Ukhuwah begitu kental terasa. Binar muka mereka terpancar penuh kasih sayang. Padahal, tidak ada hubungan darah yang mengikat. Namun, sebenarnya, islam mengukuhkan mereka pada satu darah nenek moyang, keturunan Nabi Adam. 

Sungguh indah dipandang…^0^

Para lelaki berkoko juga tidak kalah bejibun.Ya, walau tidak semuanya memakai pakaian koko, tapi Sigi senang menyapanya dengan sebutan itu. Sigi tidak secentil itu untuk menyapa mereka langsung, Cuma di ucapan saja. Sigi selalu dibuat takjub dengan prilaku mereka. Kaum adam golongan ini, bagai sudah di program untuk menghormati para perintis hawa. Pandangan mereka terjaga, dan tidak sembarang mengumbar perhatian. Tapi Sigi yakin, pasti salah satu dari mereka ada yang merampok pandang, meski hanya sekilas di ujung mata. Mereka terlihat asyik bercengkrama, menggerak-gerakkan tangannya ke atas, ke samping dan ke bawah layaknya sang motivator, Mario Teguh. Entah apa yang mereka diskusikan, mungkin membahas masalah dakwah, mungkin juga perkembangan islam masa kini. 

Subhanallah…^0^

Sigi mengamati kagum dari atas motor bebeknya yang Sengaja  dijalankan sangat pelan, karena juga memang sudah akan memasuki halaman masjid. Terasa ada bulir embun menghinggapi hatinya, sejuk rasanya memandangi pemandangan yang ada disekitarnya. Apakah ini sebuah pertanda Sigi mendapatkah hidayah?.

Kita lihat saja nanti...^0^

Sigi memarkir motor bebeknya di parkiran kanan khusus Akhwat, panggilan sayang untuk kaum hawa berhijab. Hati-hati sekali, dia membuka helmetnya, takut jilbab paruh burungnya patah. Berharap bisa berkaca sepintas di spion, tapi urung dilakukan, karena tepat disebelahnya ada seorang akhwat yang tiba-tiba menyapanya dengan salam. 

Assalamu’alaikum....” ucapnya lembut. Sangat lembut sampai menggetarkan ulu hati Sigi. Kemudian akhwat itu berlalu pamit masuk duluan ke dalam masjid, meninggalkan senyumannya yang paling tulus. Sigi terhanyut sesaat, sampai lupa menghubungi Kinan. Kesadaraannya pulih, Sigi merogoh handphone disakunya dan membuat panggilan untuk Kinan.

“Anti, posisinya dimana? Ana di parkiran,ini... sungut Sigi dengan bahasa ala anak dakwah. Sebenarnya, dia hanya mencontek apa yang sering Kinan ucapkan di forum syuro kaderisasi kampus fakultas Psikologi. Karena seringnya dia menguping rapat para jantung pergerakan dakwah kampus.  

“ya, tunggu di situ! Ana keluar sekarang.” Kinan berjalan keluar Masjid menuju parkiran. Dia menoleh kesana kemari mencari sosok Sigi seraya handphone masih tetap diaktifkan. Sigi melambai-lambaikan tangannya sambil jingkrak-jingkrak, sangat senang sekali menangkap sosok Kinan seakan tidak berjumpa berbulan-bulan. Dan Kinan tersenyum menghampiri. 

Subhanallah…Cantiknya, ukhti…!” puji Kinan, entah itu dari hatinya yang paling dalam atau hanya sekedar basa basi untuk membesarkan hati Sigi yang sudah mau datang ke tempat itu. Seminggu ini, Kinan mati-matian merayu Sigi untuk hadir hari ini.  

“Sudah, jangan ngolok! Mana ustadz yang katamu cakep badai itu?” Sigi langsung mengutarakan alasan kedatangannya. Seminggu yang lalu, Kinan memang berucap, bakalan ada ustadz yang ganteng abisss dari Jakarta sebagai pengisi acara. Itupun Kinan terpaksa menyebutkannya. Maklum, Sigi sangat susah diajak ke acara-acara keagamaan, kalau alasaanya cuma untuk menambah ilmu.

“Enggak sabaran sekali, neng…” goda Kinan gemas menggelitik-litik dagu Sigi, cara Kinan menunjukkan kegembiraan pada sahabatnya itu.

“Kalau begitu, ayok, masuk! Aku mau duduk di deretan terdepan, biar jelassss semuanya,” Sigi menarik lengan Kinan, melangkah memasuki aula Masjid. Namun, Kinan menariknya lebih keras, membuat rangkakan kaki Sigi terhenti. Sembari tersenyum haru, Kinan memperbaiki Jilbab Sigi yang agak merong, semakin menajamkan gaya paruh burungnya dan merapikan gamis modis pemberiannya. Di hari ulang tahun Sigi, Kinan sengaja membelikan gamis. Setahun gamis itu tersimpan di lemari, sekarang Sigi memakainya. Benar-benar tidak terduga. Mata kinan berkaca-kaca memandangi penampilan Sigi kini dihadapannya. Usahanya selama setahun ini untuk mebujuk Sigi tentang kewajiban hijab bagi muslimah, seolah terbayar meski hanya untuk sehari. Sigi, gadis yang tomboi, selalu memakai pakaian yang kekurangan bahan, celana jeans pensil ketat, bertransformasi menjadi gadis kemayu, berhijab pula. Walau itu hanya hari ini, satu hari, tapi mampu membuat Kinan terenyuh.

Akupun ikut terhuyung...^0^

Bulir air mata itu pecah juga, merembes mencari tempat bermuara. “Mulai dah, lebay...” Sigi mendekap Kinan, mengelus-elus punggung sahabat sentimentalnya itu. Kinan sesegukan, menahan air matanya tidak mengalir lebih banyak lagi. Sekelebat, akhwat-akhwat lain menatap heran, seperti melihat sepasang saudara yang terpisah sejak lahir dan baru bertemu kembali setelah berumur dewasa.

Hehehehe…^0^

“Stop, dramasisainya! Sekarang, mari kita kejar barisan paling muka. Skalian saja,kalau boleh, aku...Ehhhh...Ana duduk dekat ustadz tampan itu.” Sigi menghapus sisa air mata di pipi Kinan. Kinan terhentak, sohibnya menduplikasi caranya berbicara, namun tidak menghilangkan jati dirinya yang blak-blakan. Mereka pun berjalan bergandengan. Sigi sangat mengerti isi hati Kinan. Kinan merindukan dirinya menjadi seorang muslimah yang seutuhnya. Sigi tersentuh melihat perjuangan sahabatnya itu, berjuang untuk merontokkan tembok berlin di dalam dirinya. 

Sigi dan Kinan berlarian kecil untuk memperoleh tempat duduk di garis terdepan. Antusias hadirin dan hadirot yang lain diluar dugaan Sigi. Dia harus berdesak-desakan, meski pada ujungnya dia dan Kinan terduduk di posisi garis kedua. Sigi menganga kagum, menatap poster besar bertuliskan ‘silaturrahim ODOJ (one day one juz) se-JABODETABEK”, nampak sederhana tapi begitu megah di mata Sigi. 

“Ini, gara-gara kamu...Ehhh...Lupa lagi...Anti, pakai acara nangis-nangis, terharu segala. Ludes dah, kesempatan Ana lebih dekat dengan ustadz ganteng,”  cibir Sigi dengan nada bercanda, membuat Kinan menahan tawa sembari membuat perutnya terasa sakit. Seandainya bukan di tempat sakral ini, sudah terpingkal-pingkal Kinan tertawa lepas. 

“Stop, bercandanya! Moderatornya sudah siap memulai acaranya, itu...” sela Kinan, Sigi langsung memperlihatkan muka serius kedepan, memperhatikan moderator yang membuka acara setingkat nasional itu. Kemudian dilanjutkan dengan lantunan tilawah yang amat merdu dari qori’ juara nasional, membuat bulu roma Sigi berdiri. Terhipnotis dengan setiap alunan firman Allah, Sigi mencoba menutup mata, menakjubkan!. Seumur-umur, Sigi baru mendengar tilawah sebegitu dahsyatnya. Kinan mencuri lirik ke arah Sigi, sunggingan senyum tertoreh lagi di wajahnya. Sekiranya, jika bumi ini adalah miliknya, dia rela melepasnya untuk Sigi, kalau memang itu membuatnya menjadi Sigi, sang hijaber syar’i.

Ohhh…Kinan…^0^

“Kita sambut pembicara yang sudah di tunggu-tunggu, utusan ODOJ pusat dari kementerian agama, ustadz Sigit Pratama. Tafadhol[1] ustadz...!” sang moderator mempersilakan ustadz Sigit mengambil spot di tengah-tengah hadirin yang hadir. Dengan gagahnya, ustadz Sigit melangkahkan kakinya ke tempat yang sudah disediakan. Memang dasarnya kece, ya…Mau bagaimanapun posenya tetap kerenlah!.

Sigi terpukau, matanya serasa ingin keluar dari kelopaknya. Bahkan untuk terpejampun tidak ada celah. Sungguh benar apa yang diungkapkan Kinan, Ustadznya tampan badai halilintar, pinjam istilahnya syahrini. Mukanya mulus bersih bak artis korea, hanya beberapa helai janggut yang menempel. Rambutnya hitam lurus. Ehhh…dia pakai kacamata, sihir karismanya semakin tajam. Kalau kalian pernah searching di internet karikatur sosok ikhwan, orang ini sama persis rupanya. Secepatnya, Kinan menutup mata Sigi yang sudah sangat melebar. “Jaga imaj, seorang akhwat harus mampu menjaga pandangannya,” ceramah Kinan yang memang sudah ahlinya dengan Ghodhul Bashor[2]. Dasarnya Sigi, dia menepis tangan Kinan, “Jangan ganggu kesenanganku, dong…” timpalnya merasa tak berdosa. 

“Ngomong-ngomong, udah nikah enggak ya…? Muda banget…” Sigi kelimpungan, tidak sanggup menyembunyikan keingintahuannya.

“Mirip bangetttt…Dengan gambar kartun ikhwan yang ada di internet. Persis…” sambung Sigi cengengesan.
Kinan menghembuskan napas, hffffhhhh…Dibiarkannya Sigi terus melotot ngawur dan berdoa agar ustadznya tidak risih kalau seandainya tiba-tiba ustadz Sigit mengalihkan sedetik pandangannya ke Sigi.
Satu jam lewat, dua jam berlalu. Sigi tak nampak bosan. Sesekali dia tertawa mendengar selipan guyonan dakwah sang ustadz. Ternyata ustadznya rada-rada sedikit lucu, gitu. Kalau Kinan, sibuk dengan catatan-catatan penting pembicaraan ustadz. Sudah menjadi kebiasaan untuk menulis intisari dari setiap taujih ataupun materi ceramah yang disampaikan. 

“Aduh…” Sigi menjerit dalam angannya. Dia memegang perut sebelah kirinya. Menahan nyeri dengan menekan-nekan lambungnya. Perutnya terasa terbakar, ulu hatinya seperti melepuh. Maagnya kambuh. Ustadz Sigit menjadi tidak menarik lagi. Ketampanannya buyar, karismanya memudar. Tidak mau membuat Kinan khawatir, Sigi pamit ke kamar mandi, beralasan akan buang air kecil. Kinan berdiri akan mengantarkan Sigi, tapi Sigi mengisyartkan untuk pergi sendiri, biar Kinan melanjutkan mencatat apa kata ustadz saja. Tanpa curiga sedikitpun, Kinan kembali duduk menyimak.

“Sakit…Sakit…Sakit…” rintihnya. Sigi mulai merasa mual, muntah-muntah yang tidak sembarangan. Keringat dinginnya bercucuran. Tidak mampu berdiri lagi, dia bersandar dan terduduk. Diraihnya handphone, berniat menelpon mama, tapi kantong gamisnya kosong. Astaga, handphonenya di dalam tas, tadi dia pindahkan saat memasuki masjid. Tubuh Sigi melemas, kesadarannya tinggal setengah watt. Dia mencoba meraih gagang pintu toilet, namun tenaganya sudah terkuras. Rintihannya tak tertahankan, Sigi mulai teriak pilu seraya mengetuk-etuk pintu, kecil sekali suaranya. Kecoapun tak akan mendengarnya. Kembali diraba perutnya yang bagai tersayat-sayat benda tajam, melilit-lilit menjeratnya. Sigi menggeliat-geliat bak cacing kepanasan. Sampai pada penglihatannya hitam, gelap dan pingsan.

“Bagi yang belum terdaftar menjadi anggota ODOJ, monggo daftar sekarang, di sini.” Ustadz Sigit menghimbau kepada seluruh hadirin ikhwan dan akhwat, tanda acara akan segera berakhir. Hadirin yang belum terdaftar, berhamburan ke pos pendaftaran yang sudah disediakan khusus ikhwan dan akhwat. Kinan tidak bergerak, masih terduduk. Kinan melirik jam tangannya, sekitar lima belas menit Sigi pergi dan tak kunjung balik. Perasaan risaunya menggelayut. Rencananya akan mendaftarkan Sigi untuk ikutan ODOJ hilang tertelan ludahnya yang was-wasan. Dia sangat tahu, Sigi mengidap maag kronis, dan kesalahannya dia mengabaikannya. 

Kinan berlari menuju toilet khusus perempuan yang terpisah beberapa meter dari bangunan utama masjid, dari ketiga baris toilet itu, cuma nomer ketiga yang tertutup. Pasti, Sigi di dalam pikir Kinan. Kinan menggedor-gedor pintu kamar kecil itu, tidak ada respon. Kinan mulai panik, pikirannya sudah tidak jernih. Dia mencoba mendobrak pintu itu sendirian, apalah arti kekuatan seorang perempuan, pintu tak bergerak sedikitpun. Air matanya timbul, tersedu-sedu dia memanggil nama Sigi seraya tak henti-hentinya menggedor pintu itu. 

“tolong…tolong…tolong…!” Kinan berteriak sekencang-kencangnya. Ditendang-tendangnya pintu yang masih kokoh berdiri itu. Kinan bak kerasukan Jin Iprit, sisi sentimentalnya digerus ketakutannya yang teramat sangat. 

Sekelompok laki-laki terlihat sempuyungan, ada emapt tepatnya. Usatdz Sigit, temannya ustadz Sigit, sang Moderator, dan Marbot Masjid. Ternyata Masjid sudah mulai sepi. Para hadirin silaturrahim sudah beranjak pulang. 

“Apa yang terjadi, ukhti…?” tanya Ustadz Sigit gusar. Kinan hanya bisa menunjuk-nujuk ke arah toilet, tak mampu berkata-kata lagi. Suaranya seperti tertelan kerongkongannya. Ustadz Sigit langsung mengerti, kemudian dia menyuruh Kinan minggir sejenak agar tidak menghalangi. Ustadz Sigit memperbaiki kacamatanya yang tak melorot, mengambil ancang-ancang untuk membuka paksa pintu itu. Satu kali benturan, tidak berhasil, dua kali, belum, dan ketiga kali “Brrrraakkkk….” Pintu aluminium itu menyerah juga. Ustadz Sigit terkejut, didapatnya tubuh perempuan yang terkulai. Sangat lemah dan darah berceceran di lantai dan bernoda di gamis Sigi. Refleks, keadaan genting, ustadz Sigit mengangkat tubuh kecil lunglai itu. Dia membopongnya keluar sembari berkata, “Cepat, panggil ambulance!!!”. Ustadz Sigit berlari diikuti Kinan dan ketiga lainnya. Marbot memanggil nomor darurat rumah sakit terdekat. Usatdz Sigit membaringkan Sigi, dan menyuruh Kinan memapahnya. Kinan masih saja merengek, memanggil nama Sigi. Dia membelai wajah Sigi, memerintahkannya untuk tersadar. Kinan berbisik di telinga Sigi, “Maafkan aku…”
“Sekarang, semuanya tenang!. Ambulance akan segera datang,” Ustadz Sigit menenangkan semua yang ada disana. Terpampang jelas, muka panik mereka.

Sepuluh menit kemudian, ambulance tiba. Kembali ustadz Sigit mengangkat tubuh Sigi dan memasukkannya ke ambulance. Kinan juga masuk menemani. Sebelum pintu mobil tertutup, Ustadz Sigit sempat memberikan kartu namanya, meminta dihubungi kalau Sigi sudah siuman. Kinan hanya menunduk, mengangguk seraya mengambil kartu yang bertuliskan nama, alamat kantor, nomer kontak dan alamat email itu. 

Ayok…kenapa ustadz Sigit memberikan kartu namanya? ^0^

Ambulance melaju kencang, mengamini kegalauan Kinan. Rumah Sakit Islam Siti Hajar menyambut Sigi yang sudah tak berdaya. Langsung dilarikan ke ruang gawat darurat, meminta pertolongan pertama. Kinan mondar-mandir cemas di luar ruangan ICU sambil menelpon orang tua Sigi. Mereka akan segera datang. Adzan zuhur berkumandang. Kinan beranjak ke Musholla Rumah Sakit, menunaikan sholat dan untuk menenangkan hatinya. Kinan mengambil air wudhu, dan melaksanakan sholat empat rakaat itu. kemudian dia menengadahkan kedua tanganya, menunduk sedalam-dalamnya, mengiba kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang,

Ya Allah…Kehendak-Mu tidak kuasa untuk hamba ubah. Takdir-Mu sudah Engkau tulis sebelum kami dilahirkan. Tapi hamba memohon, berikanlah dia kehidupan satu kali lagi. Izinkanlah dia menghirup napas sekali lagi.  Ini belum saatnya dia untuk menghadap-Mu, ya Rabb…Karena sudah semakin dekat dia dengan Hidayah-Mu, tinggal selangkah lagi, ya Rabb…Hamba merajuk kepada-Mu, kabulkan doa hamba…Amin.

Bersambung…..



[1] Silakan

[2] Menundukkan pandangan

10 komentar:

  1. sejak ustadznya dateng suasana berubah jadi lucu tapi tegang...dari awal udah lucu juga sih.. >_<

    jadi inget novel Pinkan..mbk Ulan n mbk Ilma "benci", gak suka ceritanya. padahal saya baca senyam senyum blushing sendiri.. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. novel pinkan belum kubaca unn...ceritanya mirip ya?^*^

      Hapus
    2. gak mirip...sama sekali. tapi jadi keinget serial pinkan gara2 "kasih kartu nama".

      oia oia, bisa y sampe muntah darah krn maag? itu darah karena muntahnya apa karena dy kebentur kepalanya?

      Hapus
    3. sipp...kirain mirip...

      klu maagnya sudah kronis, sampe muntah darah mbk ran...
      itu darah muntahnya sigi,,,yg berceceran ...hehehehe

      Hapus
    4. bahaya penyakit maag....tidak bisa diremehkan ini!!

      Hapus
  2. Haha... Ini baru cerita akhwat... Yup walopun sy lbih suka klo ni crita kgak ada sigitnya, g tau napa... Berhrapnya sigit cm pmanis tp tu g mungkin yah, hehe scara judul dah mengarah...


    g tau npa tu ustadz ksh2 kartu nma kgk penting, he :P.... Kesan sy wktu bc ni Subhanallah ... Ni crita dahsyat bgt bhas ODOJ, ni pasti si empunya cerita lg promosi ni... Trus pnyakit maagnya wuih sadis bgt, dramatis bgt, secara kalo maag sy kmbuh reaksinya bda, hoho tp ternyta kalo kronis tu prah bgt yah, soalnya kbayang si sigi ngenes bgt...

    critane asiiik yiq, lanjutkan :)... kalo Yiq pernah ntn SUCI 4, gaya critamu mirip Hipdzi, serius... Hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. belum pernah nonton SUCI 4 unn...Hipdzi itu siapa unn?

      Hapus
    2. Salah satu finalis SUCI 4...

      Hapus
    3. mari kita tetap berlatih nulis......

      kayaknya kita perlu banyak2 baca novel dan cerpen penulis2 lain unn...

      semangat menulis !!

      Hapus

sedikit coretan darimu sangat berarti untukku menjadi lebih baik lagi. apapun itu tumpahkanlah isi pikiranmu tentang tulisan ini, terimakasih

 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea