penuli : Jang Yiq
Cerita
singkat bag.3
Sigi sukses menjalani operasi
pengangkatan kanker di lambungnya tanpa harus kemoterapi untuk membunuh sel-sel
yang mungkin saja bisa menyebar kembali.
Kini, Kinan dan orang tuanya bisa bernapas lega, Sigi masih diberikan
kesempatan kedua oleh Allah untuk menjadi insan yang lebih baik lagi.
Sigit menerima biodata keempat dari
murrabinya. Seorang dokter yang pintar nan cantik bernama Yuli Evanti. Murrabi
merekomendasikan akhwat terbaik menurutnya, meski usianya terpaut
tiga tahun lebih tua
dari Sigit. Kali ini, Sigit benar-benar mempertimbangkannya, walau Sigi sudah
memenuhi relung hatinya. Sigit berusaha bersikap adil. Memperhitungkan akhwat
yang sudah ada digenggamannya atau mengedepankan perasaannya yang mungkin hanya
sesaat. Siapalah Sigi, Sigit pun belum mengenal gadis yang ditolongnya itu.
***
Seminggu
berlalu...
Sigit
terduduk tenang, padahal sedang berdebar hebat. Tidak pernah dia bayangkan,
hatinya akan segemuruh ini berhadapan dengan akhwat yang akhir-akhir ini dia
pandang dari selembar foto saja. Ternyata, aslinya lebih cantik dan terkesan
sangat matang. Yuli Evanti, begitu ayu nan anggun dengan sikap malu-malunya.
“Ayo...
Monggo dimulai ta’arufnya[1],”
ucap murrabi Sigit yang diketahui bernama pak Salihuddin. Murrabi selaku jembatan
penghubung dua insan ini mulai mengarahkan mereka ke pokok permasalahannya.
Sigit
masih terdiam, bingung harus mengawalinya darimana. Biasanya, berkenalan pasti
akan tanya nama, alamat, pekerjaan, pendidikan. Semua itu, Sigit sudah
mengetahuinya melalui biodata.
“Boleh
ana[2] yang
bertanya duluan?” suara lembut nan syahdu itu terdengar. Yuli Evanti
berinisiatif membuka percakapan. Dia mengangkat wajahnya dan berani beradu
pandang dengan Sigit. Sigit salah tingkah mendadak disorot oleh dua mata sayup
itu. Terpancar aura sangat kuat yang mungkin bisa menariknya masuk lebih dalam.
Tapi inilah perkenalan, tidak boleh menghindar untuk mengetahui keperibadian
satu sama lain. Cara yang paling islami demi secercah bahtera kehidupan bersama
di masa mendatang. Sigit menyingkirkan rasa canggungnya. Dia menegapkan
posisinya yang tidak pernah bengkok dari awal.
“Silakan,
ukhti[3]...”
jawab Sigit, mengatur nadanya agar terkesan berwibawa. Dia ingin terlihat
sempurna di mata perempuan asing dihadapannya itu.
“Apakah
antum siap menjadi imam ana?” tanya Yuli tegas, namun tidak
menghilangkan kesan karismatiknya. Tidak ada sedikit kegentaran dalam dirinya.
Sigit
membaca, pasti ini bukan pertama atau kedua kalinya dia menghadapi situasi
seperti ini, sangat berpengalaman batin Sigit.
“Apakah
anti juga siap menjadi pendamping ana? Layaknya Siti Khadijah yang setia
disamping Rasullulah?” Sigit bertanya balik seolah akan menguji kecerdasaan
akhwat yang bergelar dokter ini.
“Jika
antum menginginkan seseorang seperti
Siti Khadijah, afwan[4] bukan
ana orangnya. Istri Rasullulah adalah manusia yang namanya sudah terjamin masuk syurga. Ana perempuan
biasa yang menginginkan seorang suami yang akan mengantarkan hamba pada
keridhaan-Nya,” timpal Yuli mantap, terlontar lantang tanpa sedikit keraguan
dengan jawaban itu.
Sigit
terkesiap, akhwat ini sungguh membuatnya takjub. Kini, hatinya membenarkan apa
yang dikatakan murrabinya, dia adalah akhwat terbaik yang ditawarkan untuknya.
“Bagaimana,
Git?” pak Salihuddin memecah kebisuan Sigit. Sigit melirik murrabinya yang
penuh senyum kemenangan. Setelah beberapa biodata ditolak, hari ini Sigit
dibuat tak berdaya menghindari akhwat yang mungkin Allah ciptakan untuknya.
Akan tetapi, Sigit tidak mau menyerah terlalu dini, mengakui dan mengatakan
“iya” terlalu cepat. Dia mau menggali lebih banyak lagi pengetahuan akhwat ini.
Sigit jangan main-main, kasihan
akhwatnya itu...^-^
“Trrrriiiilllliiitt...Trrriiillliiittt...”
bunyi ponsel butut Sigit memecah suasana. Sigit lupa untuk mensilentnya. Terpampang nama abi dilayar. Dia
permisi buru-buru untuk mengangkat, karena abi tidak akan repot-repot
menghubunginya kalau tidak dalam keadaan genting.
“Assalamu’alaikum,
bi...” tukas Sigit agak resah. Pasti terjadi apa-apa yang membuat abinya
kewalahan.
“Andien
jatuh dari tangga villa, Git. Sekarang abi sedang menuju rumah sakit. Ummi-mu
pergi ngisi pengajian dan belum pulang. Kalau bisa, secepatnya kamu nyusul ke
sini!” suara abi diseberang terdengar gusar. Abi menutup teleponnya, sepertinya
dia sekarang berada di atas mobil
ambulance.
“Villa?
Sekarang abi sedang di Bogor?” pekik Sigit kaget.
“Kapan
abi dan ummi ke Bogor? Tadi pagi mereka tidak bilang apa-apa padaku,” Sigit berbicara pada dirinya sendiri.
Sigit
menghampiri tempatnya duduk tadi. Dia terlihat lesu dengan mukanya yang
memucat. “Afwan, ana mohon diri pamit. Tadi abi menelpon, ada sesuatu yang
sangat mendesak dan ana harus segera
menyusul abi. Sekali lagi, afwan.” Lirih Sigit, tanpa mendengar persetujuan
murrabi dan Yuli, Sigit segera berlalu, lari tak melihat ke belakang lagi. Adik
kesayangannya, satu-satunya, sekarang sedang kesakitan. Tubuh semungil itu sudah
menanggung sakit yang teramat untuk anak seusianya.
Pak
Salihuddin sepertinya paham apa yang lagi terjadi. Sigit tidak akan bertindak
seperti itu kalau bukan tidak menyangkut keluarganya. Sedangkan Yuli, bengong
menatap Sigit menjauh dan menghilang dari penglihatannya. Sangat tidak sopan,
seseorang meninggalkan sebuah percakapan tanpa alasan yang jelas batin Yuli kesal.
“Afwan,
Nak. Bapak mengenal Sigit sangat baik. Dia tidak pernah bertindak sembarangan.
Bapak mengira ada sesuatu yang harus dia selesaikan.” Terang murrabi Sigit
dengan hati-hati. Dia mengerti, bagaimana perasaan seorang gadis yang ditinggal
pergi di tengah perkenalan resmi.
Yuli
mengangguk pelan, memaklumi. Namun sesungguhnya tersirat kekecewaan mendalam,
“Akankah ini penolakan lagi? Ya Allah, rasanya aku sudah menyukainya.” sungut
Yuli dalam hatinya yang perih, berharap Sigit tidak masuk dalam daftar panjang
nama ikhwan yang pernah mengabaikannya.
***
Sigi
bersandar dipembaringan, masih di kamar rawat VIP-nya. Proses pemulihan masih
berlangsung, dokter Fahri belum mengijinkannya meninggalkan rumah sakit.
Semenjak bangun dari pingsannya, dua hari setelah pengangkatan kanker,
Sunggingan senyum menghiasi bibirnya. Dia terus memperhatikan benda yang selalu
nempel ditangannya. Buket bunga mawar yang sudah layu dan secarcik kartu nama
bertuliskan Sigit Pratama. Kinan memberikannya sebagai kejutan saat dia membuka
mata. Kinan menceritakan semua peristiwa yang terjadi, bagaimana paniknya Sigit
dan membopongnya, memberikan kartu namanya, sampai menitipkan sebuket bunga
yang membuat Sigi sangat tersanjung, berasa istimewa.
istimewa, katanya Cherrybelle..^0^
istimewa, katanya Cherrybelle..^0^
Kinan
memperhatikan Sigi sesaat memasuki ruangan , dia baru kembali dari kampusnya,
kuliah perdana setelah sekian hari setia menjaga Sigi. Kinan tersenyum-senyum melirik
kartu nama di tangan kanan Sigi. Ingatannya melambung saat Sigit begitu panik
dan menyodorkannya sepotong kertas mungil itu. Kinan sengaja tidak menghubungi
Sigit dan memberitahukan kalau Sigi sudah membaik. Dia menaruh harap, suatu
hari nanti Sigit-lah yang akan datang menjemput Sigi. Dan bunga mawar itu,
meski akan mengering, nampak begitu indah di mata Sigi. Kemarin-kemarin, tante Dewi
pernah akan membuangnya, karena sudah mulai kecoklatan dan tidak enak
dipandang. Kinan bersusah payah mempertahankan mawar itu dipotnya, di meja
kecil samping ranjang. Kinan berkilah, itu adalah sesuatu yang berharga untuk
Sigi.
“Belum
bosan juga melototin terus itu benda!” ejek Kinan semakin mendekat ke sisi Sigi.
Dia memegang pipi Sigi yang berona merah. Salah tingkah, Sigi cekatan merengkuh
Kinan, “Terima kasih atas hadiahnya,” bisik Sigi cekikikan.
“Maksudnya?
Itu bukan dari aku, lho!” Kinan mencubit lembut telinga Sigi, gereget melihat tingkah
Sigi yang mulai kasmaran. Sigi menggeliat
kegelian,
daerah telinganya terlalu sensitif untuk di sentuh.
“Aduhhh...”
erang Sigi mengaduh
kesakitan sambil memegang lambungnya, karena bergerak
banyak belum bisa di terima oleh perutnya yang terjahit.
“Maaf...”
sungut Kinan terkesiap seraya menampakkan muka penuh sesal. Dia membelai rambut
Sigi untuk menenangkan. Sigi terenyuh merasakan sentuhan kasih sayang
sahabatnya itu. dia kembali memeluk Kinan tanpa menanggalkan buket dan kartu
nama itu.
Manisnya persahabatan ini, semanis
madu asli sumbawa, hehe... ^0^
***
Bangunan
megah rumah sakit Harapan Bangsa menyambut kedatangan Sigit. Tergopoh-gopoh
Sigit menyisir bangsal matahri bernomer 327, tempat Andien di rawat sekarang. Ruangan itu
terletak di ujung lorong. Sebelum masuk, Sigit mengatur titme jantungnya,
mengusir peluhnya, merapikan rambut, pakaian dan kacamatanya, seolah ingin
menghadap seorang calon mertua. Dia mengetuk pelan daun pintu, dan membukanya
penuh penghayatan sembari mengucapkan salam signyal seorang muslim. Sigit
menjinjing kakinya pelan, menghadap abi yang sendirian meratap pilu tubuh kecil
Andien yang terkapar lemah. Andien nampak bagai robot, mulutnya menganga dengan
selang endotracheal yang memancang tegak
ditengah
rongga, kepalanya tertempel pengontrol fungsi otak, dan dadanya dipasang
alat pemantau kerja jantung.
sungguh ngeri...^0^
sungguh ngeri...^0^
“Abi…” lirih Sigit memegang pundak ayahnya. Abi
mengusap tangan Sigit dan memberikan isyarat untuk duduk disebelahnya. Air mata
abi meleleh. Ini pertama kalinya abi menangis di depan Sigit, membuat hati Sigit
getir. Sigit melihat sisi lain ayahnya. Seorang ayah yang selama ini tangguh
menjelma menjadi rapuh. Ingin Sigit ikut memikul kegundahan abi, namun Sigit
harus menjadi kayu yang kokoh sebagai penopang.
“Ini salah abi. Ummi sudah melarang tapi abi yang ngotot bawa Andien ke sini. Seandainya
abi mendengarkan ummi…,” abi menyeselai perbuatannya sendiri.
“Istgifar abi! Ini bukan salah siap-siapa, memang
takdir Allah yang membuat hari ini menjadi seperti ini,” ujar Sigit membesarkan
hati abinya. Sigit mengelus-elus punggung abi, berusaha menenangkannya.
“Oya, ummi-mu segera menyusul kesini.” Lanjut abi
dengan suara parau. Sigit mengangguk mengerti. Ummi-nya tipikal pendakwah yang tidak akan segera meninggalkan majelis taklim selama
acaranya belum kelar dari tanggung jawabnya, apapun yang terjadi.
***
Tengah malam, bayangan berkelebat di kantin sepi rumah
sakit. Dengan sangat hati-hati sosok itu memasuki ruang gelap itu. langkahnya
bak maling, melompat selangkah demi selangkah. Dia kemudian ngeloyor ke bagian
dapur. Disana lampu dinyalakan, terang, tapi temaram terlihat dari lobi utama.
Sigit yang sekiranya sedang duduk-duduk menikmati air
mancur di samping meja resepsionis, terpancing curiga dengan aksi aneh itu. Dia
mendekat ke tempat paling ramai di saat perut gemercing minta untuk di isi. Dia
membuka pintu kaca transparan yang memang tidak pernah terkunci. Sigit
menyelinap masuk, rasa penasarannya menumbuhkan keberanian untuk menangkap
basah orang itu. Derap kakinya semakin mendekati ke sumber sinar.
Perlahan-lahan Sigit mengintip di balik pintu yang masih menganga, terperangah.
Ternyata perempuan berhijab sedang memasak sesuatu. Aroma
harumnya menyerbak masuk indra penciuman sigit. Tergambar makanan itu, apapun
itu, pasti akan enak tercicip lidah.
“kruuukkk...”
Sigit memegang perutnya yang berbunyi, ternganga dengan suaranya yang mungkin
bisa terdengar oleh akhwat itu. Prasangka untuk menyergap hilang seketika. Tidak
mungkin dia maling yang akan mencuri makanan kantin ini. Seorang yang paham
agama, tahu betul bahwa mengambil sesuatu yang bukan haknya merupakan dosa yang
tidak sepele. Sigit pelan-pelan menjauhi tempat itu. Saat langkahnya baru
beberapa jarak dari pintu, seketika penerangan seluruh kantin bersinar, Sigit
membatu, terpaku ditempat.
“Stop!” suara itu terlalu lembut untuk
membentak. Dia menodongkan benda tumpul di kepala Sigit. Tubuh Sigit kaku,
nyalinya menciut. Dia mengangkat tangan tanda bendera putih berkibar.
“Berlutut!”
perintahnya lagi, sekarang ucapannya semakin tegas meski tersirat getaran
takut. Benda tumpul itu berpindah menekam di bagian leher. Sigit menekuk
lututnya, patuh dengan bentakan itu. Situasi bisa berbahaya jika bertingkah
gegabah. Akhwat itu, berjalan maju, kini tepat berdiri di depan Sigit. Betapa
terkagetnya, Sigit dan akhwat itu terperanjat menatap satu sama lain.
“Anti!” Sigit mendecak, tidak menyangka
akhwat itu adalah perempuan yang menjerit minta tolong di depan kamar mandi
wanita, di masjid, dulu.
“Ustadz
Sigit!” pekik Kinan tak kalah terperangah. Dia serta merta melepaskan benda
tumpul itu dari tangannya, menunduk melihat sendok nasi kayu itu tergeletak di
lantai.
“Af...wan.” Lanjut Kinan terbata-bata.
Dia masih tidak percaya, segitu cepatnya Allah mengabulkan permintaannya. Kini,
disini, Sigit datang, entah dia hadir dalam rangka apa, Kinan tidak peduli.
Yang pasti, Sigit berada di rumah sakit ini, tempat Sigi dirawat.
“Ya
Allah, apakah ini bagian dari sekenario-Mu?” tanya Kinan di tengah relung batinnya
yang bersorai senang.
Sigit
tersenyum simpul, tidak pernah membayangkan dia akan bersua lagi dengan akhwat
ini. Ada seulas asa yang bercokol di palung hatinya yang terdalam, sebatas
takdir perjumpaan kembali dengan akhwat yang sekiranya belum lama ini mengusik
hidupnya.
Kinan berdiri, kemudian beranjak pergi meninggalkan
Sigit yang tetap berlutut, bengong, bingung tak sanggup berujar.
“Ya
Allah, inikah petunjuk-Mu?” lubuk hati Sigit menderu. Ternyata harapan itu
masih ada, walau hanya sekilas.
***
Semangkuk
bubur kacang ijo tersaji di hadapan Sigi. semuringah, Sigi mulai menyantapnya
lahap. Sesendok demi sesendok dia kunyah penuh nikmat, enak sekali. Ditengah
malam begini, Sigi sangat ingin memakan makanan itu. seperti orang ngidam yang
berhasrat makan durian di musim kelengkeng, harus dipenuhi saat itu juga. Demi kesembuhan sohibnya, mau tidak mau,
Kinan harus
meminta ijin koki kepala untuk meminjamkan dapurnya barang malam ini saja. Alhasil,
kendatipun seadanya, Sigi sangat menyukai bubur buatan Kinan.
Kinan
girang memperhatikan Sigi
melahap semangkuk bubur kacang ijo itu sampai benar-benar habis. Dia mengambil mangkuk dan sendok itu dari tangan Sigi.
Sigi mengerling, curiga, di tengah malam begini, Kinan masih terlihat segar
bugar.
“Terima kasih buburnya,” tukas Sigi manja. Kinan
tertawa, gigi rapat putihnya tersibak, membuat Sigi semakin mengendus ada
sesuatu yang tidak beres dengan sentimental ini.
“Sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan olehku?
Jangan-jangan…” Sigi mulai melemparkan umpannya, menunjuk muka Kinan yang mulai
memerah menahan tawanya. Sigi memasang Raut kecurigaan matang-matang, sasaran terkunci,
tidak boleh terlepas.
Kinan menciut memandang tatapan Sigi. Rasa tidak enak
hatinya timbul, membuat Sigi penasaran, apalagi ini menyangkut diri Sigi
sendiri. Sisi sentimental terlalu kuat melekat pada diri Kinan. Dia melemah,
ingin membeberkan apa yang menimpanya tadi di dapur. Namun, Kali ini Kinan akan
sedikit melawan dirinya, tetap kukuh tidak akan menceritakan kejadian tadi.
“Kalau Sigi tahu, tadi aku bertemu dengan ustadz
Sigit, pasti, pasti, dia akan merengek untuk dipertemukan. Tidak… tidak… tidak…
Sigi tidak boleh tahu kejadian malam ini. Tapi, kasihan Sigi, kerinduannya
sudah teramat besar untuk di bendung. Tapi, ini tidak boleh. Biarkan jodoh yang
mempertemukan mereka kembali dalam ikatan yang halal.” Pikiran Kinan
bergejolak. Biarlah terjadi perang dalam batinnya, biarlah Sigi merasakan
kecewa untuk saat ini, biarlah hanya Allah yang menjalankan sekenario-Nya
dengan sempurna.
***
Pagi hari, cerah dan hangat. Mentari serasa bersahabat
sebelum siang menyinsing. Sigi menapaki taman atap rumah sakit. Taman yang di
desain khusus untuk terapi pasien. Berjejeran bunga mawar dan krisan
yang mewangi. Evorbia juga
tumbuh di sudut-sudut petak. Rumput-rumput menjalar di tepian paping-paping. Di tengah terdapat kolam
penuh ikan koi dengan air gemercik. Pohon cemara berdaun jarum tegap kokoh disamping
kolam. Di bawah cemara, kursi kayu gantung, manis diperpaduannya. Taman itu
masih sepi meski ini adalah spot yang paling tepat untuk menikmati jingga yang
keluar dari peraduannnya. Sigi duduk santai menghirup udara yang sangat
segar,
membiarkan sinar menerpa wajahnya yang menirus. Kerudungnya terkibas angin sepoi. Dia mengencangkan sweternya, dingin. Tubuhnya yang masih
kaku sangat membutuhkan hawa senja. Dokter Fahri menyarankan Sigi untuk
melakukannya rutin tiap pagi, berjalan di bebatuan alam yang membentang mengelilingi
taman.
Penantian adalah suatu ujian...
Tetapkanlah kuselalu dalam harapan...
Karena keimanan tak hanya
diucapkan...
Adalah ketabahan menghadapi
cobaan...
Bergema
dari mulut Sigi, senandung bait nasyid dari grup vokal “Dans” yang diperkenalkan Kinan padanya, menyindir tanpa pengingkaran,
menggambarkan penantiannya pada persona Sigit yang entah kapan akan berakhir.
Kekagumannya saat pertama melihat bertransformasi menjadi bulir-bulir kasih di kalbu.
Sigi merogoh sakunya, kartu nama itu kembali mengingat kenangan, menguak memori
beberapa minggu lalu. Kian muncul hasrat untuk menghubungi nomer itu, tapi
nasehat Kinan sudah terpatri diotaknya, “Biarkan
pemilik tulang rusuk itu yang datang menjemput. Nikmatilah setiap detik
penantian itu, seperti Fatimah yang diam-diam menunggu Ali tiba untuk
melamarnya. Itulah cinta suci, cinta tanpa noda.”
“Oh,
bungaku!” Sigi tersadar, bunga mawar yang sudah tak putih lagi itu tertinggal
dikamarnya. Tadi selesai tilawah, dia bersegera menuju taman, khawatir akan
tertinggal sunrise. Dia bangkit dari
duduknya, berjalan bermaksud mengambil bunga itu. Akan tetapi, mendadak langkahnya
berhenti, Sigi terperenyak. Sigit ada dihadapannya, berdiri sembari menggendong
seorang anak kecil, Andien. Sigit yang memang sudah hadir sedari tadi, tidak
kalah terhenyak. Pertanyaannya yang tadi malam sangat cepat dijawab oleh Allah,
surprise tak terduga. Peluh Sigit bercucuran
di cuaca yang tak menyengat. Bagai tersambar petir di siang bolong, membuatnya
membatu.
Tiba-tiba
air mata Sigi menetes, terharu karena bertemu lagi, dan menangis karena tak
disangka Sigit, laki-laki yang membuatnya takjub, sudah menjadi milik
seseorang. Sigi merasa bodoh, menanti seseorang yang ternyata sudah tidak
melajang. Sigi tidak mempertimbangkan, oh, mungkin itu adiknya, keponakannya,
sepupunya, anak angkat atau anak orang lain. Kini yang ada dibenaknya dan
membenarkan keyakinannya, Sigit sedang merangkul anak kandungnya sendiri, mirip
sekali. Sigi berlari, menghindari Sigit yang masih mematung. Isakannya
tertangkap telinga Sigit. Ingin sekali Sigit mengejar dan bertanya, Sigi mengapa kamu menjauhiku? Ini aku, Sigit. Tidakkah kamu juga
menanti kedatanganku sama sepertiku?. Sigit hanya memandang sampai sosok
itu menghilang, tak kuasa mendekat apalagi untuk sekedar mengetahui isi hati
Sigi.
“Setidaknya
aku sudah menemukanmu, Sigi.” desah Sigit, berbicara pada Andien yang
menatapnya tersenyum. Kendatipun Andien tidak sepenuhnya mengerti, tapi seulas
senyuman yang dia berikan untuk abangnya, bisa melegakan hati Sigit yang kalut.
Sigit pun ikut tersenyum melihat sunggingan adiknya.
Bersambung...
haduh...haduh haduh... :D lanjut lanjut Yiq..padahal gak semudah itu bikin cerbung
BalasHapussulit bingitz mbk ran...bikin cerpen aja pusing apalagi buat cerbung...tp tetap aja q coba...walau hasilnya seada-ada...
Hapusoke mbk ran,,,,tinggal 2 bagian lagi....tangkyu udh jd pembaca setiaku....tp minggu ni mw fokus sm lomba blog itu mbk ran, kemungkinan lanjutan ini akan keluar 2 minggu lagi...please bersabarlah menunggu kelanjutannya...hehe