“maaf ,,saya akan pulang terlambat!”.
Sanni membanting HP-nya dan menjatuhkan diri dikasurnya yang mewah.
“siapa dia,,,berani sekali menolak permintaanku” katanya
sinis.
“lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan kalau dia balik
ke rumah ini” ancamnya.
***
Parman namanya, dulu
dia adalah seseorang bersahaja yang kini tersulap menjadi sosok insan yang
sederhana. Seuntai rahasia telah membawanya ke keluarga Sanni, demi menetap di
rumah itu Ia rela bekerja sebagai supir sekaligus bodyguard gadis manja itu.
Namun kerap kali Sanni memaksanya untuk sekedar berperan sebagai seorang kakak yang
pengertian bahkan di kondisi tak terduga Parman harus siap menjadi kekasih
palsu sang majikan. Wajahnya yang lumayan dengan tinggi badan yang menjulang
bak seorang model sangat cocok untuk dijadikan kekasih kebanggaan, terkadang Sanni
membawanya ke sejumlah pesta mewah untuk dipamerkan, dan Parman harus bersabar
untuk sebuah tujuan, Pencarian yang panjang selama lima belas tahun untuk
secarcik wasiat sang Ayah tercinta.
***
Tengah malam sekitar pukul dua belas lewat Parman tiba di
rumah. Motor Skuter tua yang ia tumpangi di geret-geret memasuki gerbang rumah.
Skuter itu harus sudah dimatikan lima meter sebelum sampai di depan gerbang,
kalau tidak ia lakukan maka tidak tanggung-tanggung Sanni langsung
menyemprotnya dengan omelan-omelan pedas bergaya sarkasme, maklum suara skuter
kesayangan Parman itu khas bagai mesin asap pembunuh nyamuk, Ributtttttt,,,gak
ketulungan,,,.
“eh,,,mas Parman,,tumben pulang larut” ucap bik Inah basa-basi
sembari membukakan pintu rumah.
“Sanni belum tidur bik?” Tanya Parman gelisah sambil tetap
berdiri di depan pintu.
“kurang tahu mas Parman,,,tapi tadi saya mendengar non Sanni
membanting sesuatu di kamarnya. Bibik nggak berani masuk,,,takutnya nanti bibik
yang kena marah. Ada masalah apa toh ?” nada bik Inah selayaknya ibu-ibu yang
sedang bergosip.
“nggak ada bik,,,terimakasih ,,,ya” ujar Parman sopan dan
berlalu menuju kamarnya di belakang. Terlihat kelesuan di gurat mukanya yang
semakin tirus.
Parman merebahkan badan, memejamkan matanya walau tidak
tertidur. Memori masa lalu kembali dalam ingatan. “Ketika keluarganya dulu hidup
bahagia berkecukupan. Keluarga yang terdiri dari Ayah dan Bunda, dia beserta
adiknya yang sedang bertamsya di sebuah taman kota di kawasan Jakarta Pusat.
Ya,,,waktu itu liburan sekolah, Parman merengek-rengek untuk pergi berlibur,
tidak perlu jauh ke luar negeri, di sekitar Jakarta saja tidak apa-apa pintanya.
Parman yang berumur tujuh tahun berjingkrak gembira ketika Ayah dan Bundanya
setuju untuk pergi, dan adiknya yang sebulan lagi genap akan berumur satu tahun
hanya bisa berteriak teriak tidak karuan melihat kakaknya yang bagai kuda liar
berlarian bebas di ruang keluarga. Sungguh bahagia masa itu”. Parman tersenyum
kecut, air mata merebak di pipinya. Dia membuka mata sembari punggung tangannya
sibuk menghapus air ajaib itu. Parman selalu menyebutnya air ajaib karena air
mata itu tidak hanya keluar ketika orang bersedih tetapi anehnya air mata itu
juga bisa jatuh di saat orang berbahagia.
“kenapa kamu menangis?” pak Yus teman sekamar Parman ternyata
memperhatikan sedari tadi, masih dengan tatapan bingung membuat Parman menyeruak
langsung duduk dari posisi tidurnya.
“memori yang sangat indah dan,,,,” Parman menghentikan kata-katanya.
“ceritakanlah Parman,,,memori indah yang membuatmu terharu
sampai air matamu menetes. . Karena isakanmu di tengah malam ini membuatku
terbangun dan merinding. Bagilah kebahagiaan itu kepada teman sekamarmu ini
walau sedikit” desak pak Yus dengan gurauan garingnya sambil nyengir mengusap-usap lengan
yang sudah dipenuhi bulu roma yang berdiri.
“perhatian banget. Terima kasih, sini aku peluk,,,” alih-alih
menanggapi permintaan pak Yus malah Parman mendekatkan tangannya dengan gaya
tubuh menggoda, membuat pak Yus geli-geli sendiri dan segera pergi menjauh.
Namun Parman tidak puas melihat kegelian
pak Yus, Ia pun mulai mengejar-ngejar pak Yus yang berusaha menghindar, membuat
suara gaduh dibumbui tawa tertahan Parman yang menikmati ekspresi rishi pak
Yus.
***
pagi harinya,,,,,,
“saya minta maaf karena tadi malam tidak bisa pulang cepat,,”
sapa Parman seusai salam, masih dengan posisi badan agak dibungkukkan.
“kamu dipecat,,,! Mulai hari ini silahkan pergi dari rumah
ini!” dengan nada cuek tanpa menatap Parman, Sanni beranjak meninggalkan meja makan.
Tidak terima, Parman langsung menyergap tangan Sanni, membuat
gadis berumur tujuh belas tahun itu marah dengan muka merah padam dan mata
nanar melototi Parman.
“lepaskan! Lepaskan!” Sanni meronta berusaha melepaskan
tangannya dari cengkraman Parman, tapi semakin kuat juga Parman mempertahankan
genggamannya bahkan Parman lebih terlihat marah lagi kepada Sanni.
“San,,,tolong,,tolong,,,!” suara Parman melemah. Air mata itu
kembali meleleh di pipinya.
“ini saya,,,,Abangmu” isak Parman lirih dalam hati.
Cengkraman Parman mengendur, perlahan dia melepas tangan
Sanni yang sudah memerah. Dia menunduk ingin menutupi air matanya yang sudah
terlanjur keluar. Sanni terdiam bengong
bagai terhipnotis, untuk pertama kalinya dia melihat Parman seperti itu,
menangis seolah memohon di depannya. Entah kenapa hatinya ikut perih melihat
air mata Parman. Dadanya terasa sesak seperti lahar yang tidak sabar menyembur
dari perut gunung, hatinya terkoyak bagai tertusuk ribuan duri.
“Mengapa rasanya sakit?“ Dia meremas-remas dadanya,
berbalik meninggalkan Parman. Langkahnya
gontai antara berbalik atau tidak. Dia berpikir mencabut kembali kata-katanya
tadi namun gengsinya terlampau besar untuk disingkirkan. Pantang menjilat ludah
sendiri, apalagi ini untuk seorang Parman yang hanya berstatus pembantu, tidak
ada artinya.
***
Pemandangan yang masih asing bagi Parman. Jeruji besi dan
tembok tanpa jendela berdiri tegap laksana prajurit Negara, mendekapnya dalam
kesendirian. Pakaian khas penghuni lapas menempel ketat bak benalu. Resmi
berstatus tersangka dengan nomor dada 273 demi sebuah pengorbanan. Habis di
pecat, bui menunggunya.
Parman termangu menopang dagunya di atas lutut, melingkari
lengan di betisnya yang ditekuk. Sudah tiga hari dia di dalam sel, masih dengan
penyesalan meninggalkan adiknya sendirian lagi. Sanni, Sannia Arumi, nama indah
pemberian ibu.
“Ibu,,,Ayah,,,Adik Parman sudah ketemu. Dia tumbuh remaja
sekarang. Dia cantik, manja, walau terkadang dia sangat keras. Tapi saya
maklumi sikapnya seperti itu, karena tidak ada Ibu, Ayah dan saya yang
membimbingnya. Dia di adopsi oleh orang kaya, jadi Ibu dan Ayah tidak perlu
khawatir lagi di alam sana, karena Dia hidup serba berkelebihan. Maafkan anakmu
ini, tidak bisa menjadi Abang yang baik buat Sanni. Setelah lima belas tahun
saya mencari keberadaannya, saya menemukannya. Tapi dia tidak mengenali saya.
Mungkin karena dulu ketika berpisah usianya masih terlalu dini sehingga tidak
ada memori tentang kita. Tidak apa-apa dia tidak mengingat kehidupannya yang
dulu, dengan bisa berada di dekatnya sekarang saya sudah terlampau senang, bisa
menjaganya, menghantarnya ke mana-mana tiap hari. Namun Sekarang,,saya
kehilangan dia kembali, sangat menyakitkan. Suatu hari, saya mengabaikan
permintaannya yang membuat dia marah besar, saya di usir dari rumah itu. saya
tidak bisa berbuat sesuatu untuk bertahan di sana, karena secara bersamaan saya
sudah berjanji pada polisi untuk menyerahkan diri. Inilah tempat saya sekarang,
penjara,,bukan di sisi Sanni lagi. Pengorbananku untuk adikku walau tidak
seberapa. Ibu,,Ayah,,,sekali lagi maafkan anakmu ini, tidak bisa menjalankan
wasiatmu untuk tetap menjaga Sanni,,maafkan saya,,,maafkan saya,,,maafkan saya”
Parman menangis dalam kesunyiannya. Air mata itu menjadi sangat akrab dengan
Parman. Semenjak kejadian lima belas tahun silam, air ajaib itu urung pergi
meninggalkannya.
***
Lima belas tahun silam,,,,
Pagi yang indah. Cuaca cerah menyambut, burung-burung
bernyanyi dan menari bergembira. Semilir angin sejuk menyapa lembut kedatangan
kami. Suara deru air terjun jatuh mengalun dan tenggelem tenang bersama aliran
air. Lambaian dedaun pohon palem seolah
berkata “hai,,,selamat datang di taman kota” dan semerbak harum bunga kenanga
dan melati berlomba-lomba menghampiri
kami. Hijauan rumput taman berteriak-teriak memanggil untuk diduduki.
Sanni duduk manja di dekapan Ayah. Tangan mungilnya sibuk berkutat
dengan boneka pandanya. Boneka itu kami juluki POO,,ketika dia mendengar kami
memanggil nama itu, adik kecil seketika jingkrak-jingkar meremas, memeluk dan
mencium POO. Sesekali berteriak-teriak gemas khas bahasa bayi yang sulit dimengerti.
Dan ajaibnya Ibuku selalu tahu makna suara dan ekspresi yang dilontarkan Sanni.
Apapun itu, ketika Sanni lapar sampai ingin Buang Air Besar, dengan merekahkan
hidungnya yang pesek, matanya mulai merah dan berair pertanda Sanni akan BAB,
Ibuku langsung paham.
“Man,,,jangan main jauh-jauh ya,,!” teriak Ibu yang sibuk
menyiapkan cemilan. selalu dengan panggilan akrab.
Parman manggut-manggut, usianya yang tujuh tahun menganggap
teriakan ibu angin lalu. Dia kembali asyik dengan bola kaki hadiah ulang
tahunnya.
Taman kota sungguh ramai, menambah semangat Parman untuk
mencari teman bermain sepak bola bersama. Ayah ikut nimbrung dengan Parman,
menambah keceriaan dalam diri Parman. Moment yang sangat jarang ia lalui
bersama ayahnya yang sangat sibuk dengan setumpuk pekerjaannya.
Tidak terasa pukul sebelas, matahari mulai menunjukkan
taringnya, merangkak semakin tinggi. Panasnya mulai menusuk kulit, sinarnya
yang tidak bersahabat membuat kami segera menghentikan liburan ini. Sangat
berbeda dengan suasana tadi pagi yang berdamai, saat siang , bumi bagai
panggangan super besar dampak dari
global warming.
“bumi sudah tua, makanya cuaca cepat berubah” jelas ayah
kepada Parman seraya kedua tangannya asyik menyetir.
Parman cemberut, mendekap kedua tangannya, marah karena belum
puas bermain.
“ayolah jagoan,,,tersenyumlah, masih ada minggu depan. Itu
lihat adikmu, dia tampak begitu ceria” bujuk Ayah yang juga memalingkan
pandangannya sejenak ke belakang tempat Ibu dan Sanni duduk.
Tiba-tiba “Darrrrrr,,,,,,,” Sebuah truck besar menabrak mobil
Parman dari belakang. Seolah waktu berhenti sejenak. Semuanya berubah menjadi
gelap, tidak ada kehidupan. Parman tersadar, dia merintih kesakitan. Ia mencoba
menggerakkan tubuhnya yang terjepit. Pandangan matanya terhalang darah segar
yang masih terus mengalir. Secarcik sinar siang menyelinap masuk melalui celah
mobil yang terbalik. Tangannya meraba-raba mencari sosok ayah yang tadi duduk
disampingnya.
“Ayah,,,Ibu,,,Adik,,,” suaranya lirih pelan hampir tenggelam
dalam keributan. Tangisannya sepi tak terdengar. Pita suaranya seakan
terpotong. Dia menoleh keluar jendela mobil namun hanya kaki-kaki beralas yang
sibuk ngeloyor lalu lalang. Kemudian gelap menyambutnya kembali dan kesunyian
menemaninya. Parman pingsan.
***
“parman,,,cepat buatkan aku susu panas!” teriak Sanni dari
kamarnya, selalu ia lakukan setiap malam walau Parman sudah hampir seminggu
tidak ada di rumah itu. dulu, terkadang Parman membuatkan susu panas untuknya.
“maaf Non,,,Parman sudah tidak di sini lagi. Bibik saja yang
buatin susu panasnya ya Non,,,” kata Bik Inah dari balik pintu kamar Sanni
menawarkan.
“hiks,,,hiks,,,hiks,,,” Sanni mulai menangis, bantal yang dia
tutupkan ke wajahnya tidak mampu meredam suara tangisannya yang semakin
membesar. Entah apa yang terjadi pada diri Sanni, dia begitu merindukan Parman,
bukan setiap hari tapi setiap detik. Bagai ada kontak batin, dia masih
merasakan sakit yang lebih melebihi ketika dia mengusir Parman.
“air mata itu,,,ada apa dengan air mata itu?” usiknya dalam
hati. Sanni kembali meraba-raba dadanya yang bagai di sayat sembilu. Nelangsa
sendiri.
Ingin sekali Sanni mencari sendiri keberadaan Parman atau
mungkin menyuruh pak Yus dan Bik Inah menyebarkan selebaran orang hilang, tapi
tidak pernah ada dalam kamus Sanni untuk menarik kata-katanya sendiri, dan
mungkin tidak akan pernah ada.
Di dapur mengendap-endap pak Yus dan menepuk bahu Bik Inah yang
bingung mendengar suara tangisan Sanni yang mengisi seluruh sudut rumah.
“apa sebaiknya kita cari Parman,,mas?, Non Sanni akhir-akhir
ini selalu memanggil Parman dan menangis”
suara bik Inah penuh kekhawatiran.
“mungkin dia merasa bersalah mbok,,” cibir pak Yus, tidak peduli
dengan majikannya.
“jangan begitu toh mas,,,Non Sanni kan majikan kita” .
“siapa suruh dia memecat Parman. Sekarang dia sadar sendiri
betapa pentingnya seorang Parman. Lagipula dunia ini tidak selebar daun
kelor,,,mbok. Dimana kita akan mencari satu manusia di antara milyaran manusia
yang ada” gerutu Pak Yus, masih dengan muka sewot.
“bagaimana kalau kita lapor ke polisi saja,,,” ide Bik Inah. Pak
Yus bersiul-siul sengaja tidak mendengarkan ide bik Inah.
“pokoknya,,,mas Yus besok temenin aku ke kantor polisi!”
paksa bik Inah dan meninggalkan pak Yus sendiri di dapur.
“ada apa dengan Parman
sampai-sampai Non Sanni bersikap seperti itu?” Tanya pak Yus pada diri sendiri, penasaran.
***
Esok hari,,,
“ada yang bisa di bantu pak,,buk,,?” sapa ramah seorang
polisi dihiasi senyum.
“begini pak polisi,,,saya mau mencari orang hilang” lapor pak
Yus terbata-bata, baru kali ini dia berhadapan langsung dengan polisi,
membuatnya panas dingin pucat, takut. Bik Inah malah sembunyi di balik punggung
kurus pak Yus.
“fotonya?” lanjut pak polisi.
Pak Yus menyerahkan foto Parman berukuran 4 x 3, foto yang
Pak Yus minta sebagai kenang-kenangannya tempo hari. Untung sempat minta dulu
sebelum Parman minggat.
“silakan isi biodatanya,,,” pak polisi menyerahkan secercah
formulir data orang hilang, masih mengamati foto seukuran bingkai dompet itu.
Tergambar di wajahnya,,,muka orang di foto kecil itu tidak asing baginya.
“Parman,,,” teriak polisi itu tiba-tiba. seketika membuat
kaget pak Yus dan bik Inah yang sibuk dengan identitas Parman.
“Parman Sanjaya. Orang yang di foto ini Parman Sanjaya kan?”
Tanya polisi meyakinkan dirinya kembali.
“iya,,,dia Parman. Apa pak polisi mengenalnya, dimana dia
sekarang?” sahut bik Inah heboh, terbersit sejumput kegembiraan di wajahnya
yang sudah mulai menua.
“dia di sini,,,” jawab pak polisi itu mantap.
“jangan bercanda berlebihan gitu dong pak polisi” seru pak
Yus.
“iya benar,,dia disini. Sudah tiga hari ini dia masuk sel”
pak polisi menegaskan kembali pernyataannya.
Pak Yus dan bik Inah terperanjat tidak percaya. Tidak mungkin
orang sebaik dan sejujur Parman menghuni sel penjara yang hanya diperuntukkan
bagi para terdakwa. Parman tak mungkin berurusan dengan pihak berwajib,
kalaupun harus, pasti itu karena kambing hitam akibat kesalahan orang lain.
“mari ikut saya,,,” pinta pak polisi.
Pak Yus dan bik Inah melangkah cepat, ingin segera memastikan
kalau ucapan pak polisi itu salah. Parman yang kami kenal bukan seseorang yang
rakus bak tikus ataupun seseorang teroris pembuat onar.
Namun, sungguh tersentak batin pak Yus dan bik Inah. Sosok
yang sangat akrab duduk termangu sendirian di dalam bui tak bersahabat. Menunudukkan
kepalanya dalam-dalam diantara kedua dekapan lututnya. Iya, dia Parman,,,.
Parman supir Sanni, Parman teman sekamar pak Yus.
“mas Parman,,,” suara bik Inah lirih. Dia mendekati Parman
pelan dan terduduk lemas berpegangan pada besi penjara.
“bik Inah,,,” desah Parman yang kemudian dia melirik ada pak
Yus yang berdiri mematung di samping pak polisi.
“bagaimana ceritanya Parman. Kenapa kamu bisa masuk ke tempat
ini?” pak Yus mulai angkat bicara setelah mereka duduk bersama di ruangan
pembesukan khusus narapidana.
Banyak sekali para
tahanan yang dijenguk pagi itu, kursi yang tersedia terisi penuh dengan
keluarga napi. sepanjang mata memandang terpampang berbagai reaksi muka, namun
yang pasti tidak ada respon senang, yang ada adalah wajah sedih, menangis dan
khawatir dengan nasib kerabat mereka. Begitupun dengan bik Inah tidak
henti-hentinya menitikkan air mata di hadapan Parman, namun pak Yus berusaha
tegar atas pristiwa yang menimpa Parman.
“saya tidak bisa bercerita” jawab Parman singkat.
“sampai saat ini saya belum mengerti kenapa kamu di penjara.
Tapi baiklah kalau kamu tidak mau cerita.
Mungkin Non Sanni harus tahu kalau kamu di dalam bui sekarang” gertak
pak Yus tegas, karena Sanni satu-satunya senjata yang mampu membuka mulut
Parman untuk membeberkan kebenaran yang mereka cari.
“tolong pak Yus,,bik Inah jangan berbicara masalah ini dengan
Sanni. Baiklah,,,saya akan cerita tapi jangan ada komentar ” Parman menyerah
juga.
Parman mengambil napas memulai mengisahkan perjalanan
hidupnya “Sanni adalah adik saya. Kami berpisah lima belas tahun yang lalu. Dia
masih berumur 1 tahun. Kecelakaan yang menimpa keluarga kami, mengambil nyawa
kedua orang tua kami. Saya dan Sanni yang bertahan. Kemudian oleh pihak rumah
sakit kami dititipkan di panti asuhan. Selang sebulan,,,Sanni di adopsi oleh
pak Wijaya dan Istrinya. Orang tua angkatnya yang sekarang. Waktu itu saya
menginjak umur tujuh tahun, tidak mengerti apa-apa. Lama tidak melihat adik
saya, saya pun bertanyak kepada pihak panti, mereka berkata kalau adik saya
akan baik-baik saja karena di ambil oleh keluarga kaya. Ketika saya dua belas
tahun, saya memutuskan keluar panti dan mencari Sanni. Berbekal alamat yang di
kasih Panti, saya menyusuri Jakarta seorang diri. Untuk bertahan hidup saya
melakukan kerja serabutan entah sebagai tukang parkir, cuci piring di
warung-warung bahkan pernah sebagai pemulung. Saat saya menemukan alamat itu,
ternyata pak Wijaya dan Istri sudah pindah. Saya kehilangan arah, kemana saya
harus mencari lagi. Dan sekitar dua
tahun lalu saya menemukan rumah pak Wijaya secara tidak sengaja. Ternyata
kantor tempat saya bekerja sebagai office Boy adalah miliknya. Dan dia
mempunyai anak tunggal namanya Sanni. Awalnya saya tidak percaya,,karena banyak
sekali di Jakarta ini bernama Wijaya,namun kembali saya dikejutkan ketika saya
melihat Sanni, ada tanda tahi lalat di lehernya yang sangat unik dan tidak
pernah saya lupakan. Kemudian saya konfirmasi ke pihak panti dan membenarkan
anak pak Wijaya itu adalah adik saya”.
Bik Inah dan pak Yus menganga tidak bisa menyembunyikan
keterekejutannya.
“ya,,,mengenai penjara. Saya menggantikan adik saya. Dia
tertangkap basah mencuri jepit rambut di salah satu Mall. Saya berusaha
meyakinkan polisi dan syukurnya pak polisi mengerti keadaan adik saya. Adik saya
adalah seorang klepto” lanjut Parman.
“ohh,,pantas kamu itu pulang larut malam itu” bik Inah
manggut-manggut.
“klepto?” sela pak Yus tidak mengerti.
“Bik Inah pasti pernah melihat kotak besar berisi setumpuk
barang-barang tidak berguna di lemari kamar Sanni. Itu hasil curian semua.
Waktu dia tertangkap saya di telepon pak polisi. Tanpa berpikir panjang saya
meminta polisi untuk menggantikan adik saya di penjara, saya tidak mau masa
depan adik saya rusak dengan berada di tempat ini. Mungkin ini hal terakhir
yang bisa saya lakukan untuknya” Parman mengakhiri ceritanya.
“lalu bagaimana kalau dia mencuri lagi?” Tanya pak Yus
menggebu-gebu tidak sabar menunggu jawaban Parman.
“klepto bisa disembuhkan. Itu hanya sebuah penyakit jiwa yang
membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Biasanya mereka
mengambil barang yang tidak berguna. Orang klepto hanya akan mengambil barang
yang menarik hatinya saja. Misalnya pak Yus punya HP dan ada mainan gantungnya.
Kalau penderita klepto, ketika dia hanya tertarik pada mainan gantungnya, maka
mereka akan mengambil mainannya doang. Sang penderita biasanya merasakan rasa
tegang sebelum mencuri dan kenikmatan setelah mereka melakukan pencurian. Ini
berbeda dari kasus mencuri biasa. Penyakit ini umum muncul pada masa-masa puber
dan ada juga yang sampai dewasa. Klepto ini juga bisa muncul karena sudah
terjadi cedera otak traumatik. Mungkin karena kecelakaan dulu, Sanni mengalami
cedera otak” suara parau Parman kembali mengingat peristiwa tempo dulu.
“kakak,,,!” rekahan suara lirih ditangkap telinga Parman.
Suara akrab yang sangat Ia rindukan, kini Ia dengar kembali. ternyata Sanni membututi pak Yus dan Bik Inah dari rumah.
Ketika Parman akan membalikkan punggungnya melihat sesosok
itu tiba-tiba”jangan berbalik!, jangan membuat saya semakin malu, saya seorang
adik durhaka yang tidak mengenal kakaknya sendiri bahkan dia memperlakukannya
dengan tidak adil”.
Air mata Parman bergulir. Isakannya semakin menjadi. Bahagia
karena sekarang adiknya sudah mengetahui keberadaannya, sedih karena keadaannya
yang tidak mampu menjaga adiknya. Seolah tidak mau kalah pak Yus dan bik Inah serempak
terserak, terharu menyaksikan pasangan saudara ini bersua kembali.
“kak,,kakak,,akhirnya aku bisa mengucapkan kata itu. maafkan
aku tidak menjadi adik yang baik untukmu. Sampai detik ini aku masih tidak
ingat siapa dirimu. Tapi entah kenapa saat melihat air matamu, batinku bagai
tercabik-cabik. Aku sangat yakin kakak adalah,,,,” kata-kata Sanni terputus,
dia tidak mampu melanjutkannya.
Dengan segera Parman memeluk adiknya. Tidak peduli kerumunan
orang melihatnya. Kerinduangan yang teramat dalam ingin membelai sayang
adiknya. Sanni memeluk kakaknya erat,,,bulir-bulir air matanya lagi-lagi
mengalir,, “Aku sangat yakin kakak adalah kakakku. Terima kasih telah menjagaku
dan berkorban untukku” ungkapnya dalam hati.
Pak Yus, bik Inah, dan semua orang yang berada di ruangan itu
terharu dengan pertemuan kembali kakak adik itu. Darah lebih kental dari air,
ikatan keluarga lebih dekat dari apapun.
Mataram,
2013
Dedikasi
buat keponakanku si embul ‘Arfa Aqila Yusuf’