“tidak!” teriakanku menggelegar di pagi buta. Sontak seisi rumah
menghampiri kamarku tergopoh-gopoh. Pintu kamar di dobrak. Ayah, ibu dan
abangku yang katanya paling ganteng seantero kompleks RSS (Rumah Sangat
Sederhana) melotot kearahku yang sedang mematut cemberut di depan cermin.
Aku menunjuk jerawat besar dipipiku, masih dengan mimik jengkel. Ayah
dan mamaku berbarengan menghela nafas, geleng-geleng heran dengan frustatsiku
karena bisul menyebalkan itu. Abangku yang jahil berulah “wah, bengkaknya besar
banget. Plak…” tanpa ampun telapak tangannya mampir dipipiku. Aku yang tanpa
antisipasi mengerang kesakitan. Berguling-guling di lantai menahan tamparan
mematikan. Tidak ada saksi atas penganiayan ini. Mama dan ayah sudah berlalu
sedari tadi. Sedangkan abangku, sebagai pelaku kejahatan cekikikan menonton penderitaanku.
“awas, akan kubalas!” ucapku penuh dendam, tetap memegang pipi
yang mulai memerah. Kuakui memang wajahku tidak mulus-mulus amat. Tapi setidaknya
tidak pernah muncul jerawat sebesar ini dimukaku yang cukup terawat.
“bisul sekecil itu, hebohnya gak ketulungan!” gerutunya. Abangku yang
paling usil sedunia melenggang bebas keluar kamarku tanpa peradilan. Sungguh
sadis, tidak ada rasa penyesalan tergurat diwajahnya. Abangku menganggap jerawatku
kecil, tapi bagiku itu sudah terlampau besar dihitung dari tingkatan penyakit
bisul.
***
Pagi ini, aku terpaksa satu mobil dengan sang terdakwa, gara-gara
mama dan ayah pergi reunian. Perjalanan ke sekolah terasa sangat lama.Padahal kalau
diantar mama cukup 15 menit saja sudah sampai. Aku membisu di balik masker wajah
penutup bisulku. Abangku malah tersenyum geli melihat marahku yang tak kunjung
mereda.
“kecantikan itu tidak seluruhnya dinilai dari luar. Inner beauty itulah yang terpenting. Jadi,
jerawat seimprit gitu enggak akan menghalangi laki-laki terpesona kalau tingkah
lakumu indah” ceramah abangku, lekas memegang kepalaku yang berjilbab. Aku
melihat segudang perhatiannya kepadaku, adik manja satu-satunya.
Sampai sekolah, ramai
teman-temanku bergerombolan didepan mading. Mereka berbisik-bisik sesekali
tertawa kegirangan. Barang ada sesuatu yang lucu dan menarik perhatian mereka. Karena
tidak biasanya mading itu dikerumuni seperti halnya kantin sekolah. Aku
menerobos kedepan dan terpampang nyata poster “seminar kecantikan produk Korea, facial gratis, jerawat out!”.
Mataku terperangah tak berkedap kedip membaca setiap detail isi poster. Tidak
terlupakan, waktu dan tempat sudah ku simpan rapi-rapi didalam otak.
“Aku harus ikut, pokoknya
harus. Tidak ada yang bisa menghalangiku termasuk abang!” batinku bersemangat.
Hanya dengan secarcik kata di poster, hilanglah kejengkelanku yang tadi pagi.
Aku melenggang santai melewati koridor, menebar senyum tersembunyi ke sekitar
menuju ke ruang kelas.
***
Hari yang dinanti tiba. Bertepatan dengan libur mingguan sekolah.
Pagi sekali aku sudah berdandan rapi. Jerawat yang ditepuk abangku kian membengkak,
bahkan sudah masuk fase bernanah.
“facial, facial, goodbye jerawat!” suaraku bergembira. aku jingkrak-jingkrak
kegirangan, mengendap melewati ruang keluarga yang sedang ramai. Ayah dan abangku
sedang asyik bermain halma dan ibuku berisik dengan suara gossip pagi yang
tidak pernah tertinggalkan.
Teman-teman seperjuanganku sudah menunggu depan pagar. Tanpa
mengantongi ijin keluar rumah, aku melesat bagai angin, tak terdengar dan tak
terlihat. Serta merta langsung mobil tumpangan ngebut menuju target.
Seminar dimulai. Sangat bersemangat aku mengikuti dan mencatat
tips-tips agar berwajah kinclong ala bintang Korea. Mulai dari rajin minum air
putih tiap hari, makan apel hijau setiap pagi, hindari makanan berlemak dan
tentunya rajin-rajin menyambangi salon untuk
berfacial ria.
“memang butuh perjuangan untuk mendapatkan wajah impian seperti
Song Hae Kyeo” gumamku seraya mengelus-elus mukaku yang rada kasar.
Seminar usai, waktunya facial
gratis. Semua peserta berhamburan, berebut ingin dipermak. Aku tidak mau kalah.
Aksi beringasku keluar menembus pagar betis yang panitia pasang. Aku melupakan
teman-temanku demi nomor urut terdepan. Usahaku tidak percuma, nomor 17 sekarang
sudah ada di kantong. Aku tertawa nyengir melihat teman-teman senasibku berada
di barisan paling bontot.
Satu persatu peserta bergiliran masuk sesuai nomor antrian. Jantungku
dag
dig dug senang menunggu saat namaku akan dikumandangkan. Betisku yang sudah
menjerit kesakitan tak terdengar oleh otakku untuk duduk istirahat.
“Alma salsabila!” panggil panitia lantang. Aku bergegas maju
dengan suasana hati yang tak tergambar. Seorang perempuan 30 tahun-an menungguku
dengan senyum merekah. Berbagai ramuan kecantikan merek x sudah tertata rapi di
tempatnya. Gosipnya, asli didatangkan dari korea.
“silakan duduk mbak!, saya akan segera memulai perawatan mukanya”
sapa perempuan itu sambil menunjukkan kursi khusus khas salon kecantikan.
Aku sok malu-malu, padahal dalam hatiku sudah tidak sabar
menerawang hasilnya. Setelah duduk nyaman, aku sedikit melirik ke botol
kemasaan itu, made in korea. Aku
semakin sumringah. Akhirnya tercapai keinginanku yang membara. Bertampang mulus
bagai porselin.
Layaknya percontohan kaum atas, menghabiskan jutaan rupiah untuk
sekedar memoles muka. Aku duduk rileks, menikmati setiap inci pijatan dimukaku.
Bisul yang menempel digosok-gosok sampai rata membuatku sedikit mengaduh. Tidak
apa-apa bersakit-sakit dahulu pikirku. Jatah setengah jam membuatku ketagihan.
Polesan terakhir, wajahku di semprot-semprot cairan bening seperti yang pernah
aku saksikan di drama-drama korea. Entah cairan apa itu, namun sejuk menembus
pori-pori parasku yang mulai bersinar.
Aku pulang berbunga-bunga seraya membayangkan tatapan silau mama,
ayah, dan abangku. Di perjalanan menuju rumah, tiada henti aku berfoto di
ponsel jadulku. Membandingkan sosok lamaku dengan figur baruku yang berkilau.
Jendela metro mini tak pelak jadi tempat berkaca. Kalau diterka, mukaku jauh
lebih jernih.
“senangnya, pasti aku akan menjadi pusat perhatian besok
disekolah” seruku narsis, sekiranya melupakan kawan-kawanku yang teler masih
menunggu antrian.
***
“oh my god!” suara
abangku melengking, membuatku terbangun sebelum azan subuh berkumandang. Jarum wekerku
tengah merangkak di angka empat, masih lumayan jauh dari bilangan lima lebih
lima belas.
Aku meringsuk malas, Merengek-rengek,
menendang-nendang selimut dan boneka-boneka diatas kasur. Tidak rela terjaga di
waktu sedini ini. Aku menatap abang nanar walau mataku berat untuk terbuka. Namun,
rautnya terbilang aneh. Tidak tergelak maupun terkekeh seperti biasa. Dia
terperangah dengan mulut menganga shock
bagai bersua hantu suster ngesot. Aku jadi merinding, gusar melirik ke sekitar.
Abangku mengarahkan telunjuknya ke wajah koreaku kemudian terbirit-birit menghindar.
Aku mengangguk mengerti, senyumku melebar jumawa “abangku saja
terpesona” batinku bergejolak. Kantukku tiba-tiba sirna, aku beranjak gemulai
menuju meja rias.
“mama!” suaraku berdengking memenuhi rumah. Wajahku membengkak
merah, seperti terserang lebah. Aku meraba-raba muka impianku yang berubah
menjadi boomerang. Terasa kesemutan yang cukup menyakitkan hati dan ragaku. Seketika
lenyaplah khayalanku menjadi gadis tenar
di sekolah. Aku meraung-raung terisak. Abangku diam-diam kembali mendekat dan
memelukku ikut prihatin.
Seminggu berlalu, bengkak tak kunjung menyingkir dari wajahku. Satu
pekan pula aku terpaksa absen di sekolah. Kerjaanku uring-uringan meratapi
nasibku yang sial. Teman-temanku menuntut akan datang membesukku, tapi bahkan
bayangannya pun tak terlintas. Di satu sisi, aku bersyukur juga mereka
membatalkan rencana paksaannya, mau disembunyikan dimana mukaku yang berantakan
ini. Tapi di pihak lain, kemalangan menantiku. Pasti di kelas sudah beredar
gossip tentangku yang tidak karuan.
“produk kecantikan itu perlu keserasian dengan kulit kita. Bisa
saja ada gejala alergi, Walaupun itu buatan korea. Contohnya adik, mukanya
sampai tembem begitu” jelas mamaku enteng seolah tidak ikut bersimpati.
“jangan terlalu berambisi
secantik artis-artis korea. Coba pikirkan, langit tropis dengan iklim empat
musim. Tentu kulit kita pasti berbeda!. Be
yourself, dek!, makanya kalau suka sesuatu jangan sampai seekstrim begitu,
yang biasa-biasa sajalah…” kata abangku bijak memperingatkanku.
Aku merasa beruntung. Untuk pertama kalinya berterimakasih pada
Tuhan dianugrahi kakak. Dibalik kejahilannya selama ini, abangku diam-diam
melindungiku. Aku tersipu, pengaruh drama korea yang aku tonton setiap hari
tanpa absen, begitu besar menempel disanubariku. Paras ayu Song Hae Kyeo
merebak diotakku, membuatku lupa diri. Padahal Allah telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baik bentuk dan rupa. Seharusya aku bersyukur dikaruniai wajah
tanpa cacat.
***
Kulit wajahku kembali seperti sedia kala. Aku sudah bertekad tidak
akan tergiur lagi pada iklan produk kecantikan korea. Bahkan kiblat dramaku
berubah ke Negara matahari terbit yang terkenal cantik alami.
Sampai di depan gerbang sekolah, gelaran tikar membentang. Tapi
ternampak sepi, hanya tiga empat siswa yang mendekat. Kembali perasaan ingin
tahuku menyeret untuk merapat. Namun aku berusaha menuruti kata hatiku yang
masih berpaku pada tekad. Tapi ujung-ujungnya azamku terkalahkan. Perlahan namun pasti, kakiku meminta untuk ikut
nimbrung. Sejengkal demi sejengkal langkahku bergerak dan tepat berdiam di
depan tumpukan kosmetik bermerek terkenal yang sering tersiar di televisi.
Instingku mulai ngelantur dan diamini oleh mata dan tanganku untuk
bergerak memilih dan memilah mana yang sekiranya sesuai dengan kulit
khatulistiwaku. Aku tercekat, mata dan tanganku kompak, terkesima dengan botol
berbandrol “KS III”, Brand bermutu made in
japan. Bagai ada seseorang yang berbisik ditelingaku “jika kamu memakainya,
kau akan secantik Kyoko Fukada”. Ragaku tersentak, tergurat senyum jahatku dan
aku mengangguk pasti akan membelinya.