Aku menatap lemah ayah yang tertidur
pulas disampingku. Sudah sebulan aku terbaring di rumah sakit. Diusiaku yang
sepuluh tahun, secara mendadak aku mengalami serangan jantung.
Aku mengelus lembut pipi ayah,
terasa gurat kelelahannya di kulit tanganku yang keriput. Tidak seyogyanya
ayahku menghabiskan waktu mudanya untuk merawat hidupku yang tak berharapan.
Dokter memvonis, jatah nafasku mungkin hanya bersisa empat tahun lagi. Namun
ayah tidak menyerah dengan pengobatanku yang tampak sia-sia.
“ayah,,aku ingin pulang!” suaraku
lirih membangunkannya. Tubuhku yang kaku berusaha aku gerakkan untuk sekedar
terduduk. Sangat membosankan terus berada di rumah sakit ini. Aku ingin
menghirup bau selain obat-obatan. Aku suka harum rosemary. Aromanya menusuk
lembut penciumanku, membuat aliran darahku terasa berdesir ke seluruh tubuh.
“tentu saja kita akan pulang, tapi
Ayas harus janji dulu sama ayah. Ayas harus sembuh!” bujuk ayah. Ayah membelai
kepalaku yang gundul. Aku mengangguk dalam kepiluan, karena aku tahu pasti aku
tidak akan pernah sehat kembali. Kematian adalah satu-satunya jalan untuk
melepaskan diri dari jerat penyakit langka ini.
***
Tiga anak kecil kejar-kejaran di
padang ilalang itu, terkawal pohon-pohon cemara tinggi menjulang. Tempat terpencil
dan lebih tepat disebut hutan. Mereka tampak sangat menikmati hawa rerumputan
yang segera menembus indra penciuman. Tertawa lepas layaknya anak belia sungguh
sangat menyenangkan. Seakan-akan ingin melanggar kodrat manusia untuk menjadi
tidak dewasa. Kata orang bijak, dewasa itu memang enak tapi terlalu rumit untuk
dijalani. Aku mengamatinya dari beranda rumah seorang diri. Anak siapa yang
berani bermain di hutan seperti ini batinku tak melepaskan pandangan dari
mereka. Apakah mereka sama sepertiku?, Terkucilkan dari peradaban ini.
Angin dingin menyergap tulang.
Mantel putih aku tutup rapat-rapat membungkus tubuh. Penutup kepala rajutan
buatan ayah, aku raba-raba membenahi. Aku belum terbiasa dengan hawa dingin di
negeri awan. Semenjak pulang dari ruang perawatan, ayah membawaku pindah
ke gubuk asing di atas bukit berhutan. Udara di sini sejuk bersih yang
membuatku mungkin panjang umur.
“ayok masuk,,sudah gelap!” ayah
berteriak dari dalam rumah. Aku menoleh sebentar ke sumber suara, mengangguk.
Saat aku memandang ke depan lagi, anak-anak itu menghilang begitu saja, entah
mereka pulang kemana.
Aku meringsik masuk. Semilir angin
petang sempat membelai raga sebelum pintu rumah aku tutup rapat.
“Ayah…apakah tempat ini dekat
pemukiman?” tanyaku seraya duduk di sofa dekat perapian yang setia menyala dan
memberikan kehangatannya.
“tidak, rumah warga berjarak tiga
jam dari sini. Apa ada sesuatu?” nada khawatir ayah muncul lagi, dia menatap
cemas kearahku.
“tidak ada apa-apa kok…” aku
menggeleng menyangkal menyilangkan kedua tanganku dan dibumbui senyuman untuk
menghilangkan kerisauannya.
“lalu siapa anak-anak kecil tadi?”
wajahku mengerut, memikirkan berbagai kemungkinan cara tiga anak itu muncul di
padang ilalang.
“alien?” aku tiba-tiba berdiri
sembari kedua telapak tanganku menutup mulut yang menganga terkejut.
“tidak…tidak…tidak mungkin!. Tubuh
mereka tidak hijau, tidak ada antena pula. Tangannya dua, kakinya dua. Bahkan
mereka memakai pakaian seperti aku” suaraku pelan parau. Sibuk sendiri dengan
imajinasiku yang teramat jauh.
“buang pikiran anehmu itu, cepat
makan sini!”, Ayah seolah bisa membaca otakku, ternyata dia mengamatiku sedari
tadi. Khayalanku tidak kalah unik dengan bentuk tubuhku yang mengerikan.
“ayah, mengapa kita harus tinggal di
atas bukit hutan ini? bahkan Aku tidak satu spesies dengan Edward Cullen”
keluhku. Ini mungkin desahanku yang seratus kali aku lontarkan pada ayah sejak
sebulan kami ditempat ini.
“karena udara di sini bagus untukmu,
sayang” ayah merentangkan tangannya sambil mengambil oksigen dan menghembuskan
nafas. Akupun iseng mengikuti cara ayah dengan cekikikan, terlihat sangat lucu
ekspresi ayah dengan mulutnya yang sengaja di moncongkan.
***
Ayah berangkat ke kota, persediaan
makanan kami hampir habis. Aku duduk termangu di dekat jendela kamar yang
terbuka. Ilalang yang melenggok-lenggok karena terpaan angin merupakan hiburan
tersendiri di tempat sunyi ini. Aku tidak takut sendirian, karena aku sudah
terbiasa sepi.
Aku mulai meniru gaya ayah yang tadi
malam. Kedua tangan aku rentangkan dan menikmati udara yang segar dan bersih.
“benar apa yang dikatakan ayah”
batinku. Aku tersenyum, ayah memang tidak pernah berdusta kepadaku. Sekarang
aku mengerti, mengapa ayah menempatkanku di titik ini.
Aku merasakan aliran darahku. Entah
mungkin perasaanku saja, tapi aku menghayati setiap desirannya mengalir ke
seluruh tubuhku. Jantungku dapat jatah juga, “terimakasih tuhan, terima kasih
ayah, terima kasih darah” gumamku ceria.
“ayas !, ayas !” suara desahan
menyebut namaku, membuyarkan konsentrasi.
Aku terperangah, menoleh kesana
kemari mencari sumber bunyi itu. seperti suara seorang wanita paruh baya.
Suara panggilan itu makin jelas
tertangkap telingaku. Keberanianku tidak menciut. Aku melangkah keluar rumah,
merambah ilalang-ilalang yang tingginya hampir sama dengan dadaku. Aku berjalan
terseok-seok, mataku sibuk bergerak mengawasi sekitar, dan saat aku menyibak
ilalang terakhir, aku tersentak, penglihatanku terbelalak, kedap kedip tanpa
berhenti. Aku terkulai, kakiku yang rapuh terlemas tak mampu menopang badanku
yang ringan. Aku sangat jauh terseret sampai ke tepian sabana.
Hamparan kunang-kunang melayang
terbang di depan mataku, Sungguh indah. Mereka menyala warna warni, menari di
angkasa bagai menyambut kedatanganku.
“Ayas anakku, selamat datang!” seru
anggun penuh kharismatik. Seorang bak puteri dengan gaun putih terurai meraih
tanganku yang mengkerut.
“Ibu…ibu…ibu!. Aku sudah lama
menantimu!” kataku lirih. Ibuku tersenyum hangat menyambutku dengan pelukannya.
Dia membelai sayang kepalaku yang tak berambut dan mencium keningku yang
bertulang.
“Ayas, dengarkan baik-baik apa yang
akan ibu sampaikan!. Kamu adalah anak ibu yang paling gagah di dunia ini. Ibu
bangga melahirkanmu. Bertahanlah dengan ujian yang tuhan berikan untukmu karena
tuhan tahu kamu akan mampu menghadapinya. Jangan pernah menyerah dengan
hidupmu, karena itu terlalu berharga untuk dihabisi dengan penyesalan.
Berjanjilah demi ibu dan ayahmu!” bisik ibu ditelingaku.
Aku mengangguk tak mampu
berkata-kata. Air mataku terlampau tumpah membungkam mulutku untuk terbuka.
Kemudian serasa tangan mungil menyentuhku dari belakang. Aku menoleh, mereka
anak-anak seumurku yang bermain di padang ilalang. Mereka tersenyum kepadaku,
dan berlarian kembali di tengah kunang-kunang yang berhamburan.
“siapa mereka ibu?”
Ibu memandangi ketiga anak itu penuh
kasih sayang, “itu kamu sayang!. Lihatlah yang satu itu, dia sik ceria selalu
tersenyum walau dia kesakitan. Yang kedua, dia sik penurut. Dia anak yang
patuh, tidak pernah membangkang dan taat pada ayahnya. Dan terakhir yang
ketiga, dia sik ganteng. Ganteng hatinya, tidak sombong dan suka menolong”
gumam ibuku bangga, menunjuk satu persatu.
Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa
mereka adalah aku, sedangkan aku tidak mirip mereka. Mimikku mengernyit bingung
dengan penjelasan ibu.
Ibu menatapku senang melihat
setumpuk keheranan di wajahku. Dia terduduk dan mensejajarkan diri dengan
tinggiku sambil mengusap-usap kedua lenganku.
“Ayas sayang, hiduplah bahagia
anakku!. Maafkan ibu tidak bisa berada disampingmu” ucapan terakhir ibuku.
Sosoknya memudar transparan, kemudian menghilang dihadapanku. Begitupun dengan
ketiga anak itu, lenyap tak berbekas.
“ibuuuuu…!” teriakku. Tangan kecilku
sibuk menghempas-hempaskan udara mencari raganya. Aku tersedu, menangis
merindukannya.
“yas, Ayas…!” ayah mengguncang halus
tubuhku. Aku tersadar, kucuran peluh membasahi tubuhku. Nafasku
tersengal-sengal, sangat kelelahan. Air mataku luruh merintih.
Ayah segera menenangkanku “tidak
apa-apa, itu hanya mimpi, sayang!” ujar ayah. Ayah memelukku, mengusap-usap
punggung dan kepala botakku. Aku memegang ayah erat. Membenamkan tubuh mungilku
dalam rangkulannya.
Sejak mimpi itu, aku rajin berobat
walau pada kenyataannya sia-sia. Selalu tersenyum di depan ayah, tidak
menampakkan kesakitan yang sebenarnya progeria ini menjalar di tubuhku. Dan
sebagai laki-laki yang beranjak remaja, aku mulai memperhatikan penampilan yang
tak akan tampak di depan kaum hawa.
***
“ayah, aku ngantuk. Bisakah ayah
menggendongku?” pintaku lesu. Tubuhku bagai remuk rasanya. Persendian dan
tulangku sudah terasa berpisah dari penyatuannya.
Ayah menaruhku di punggungnya. dia
berdendang untukku. Ini pertama kalinya aku mendengar ayah bernyanyi, merdu sekali
membuatku terlelap, tidur dengan tenang. Suara ayah perlahan menjauh dari
pendengaranku, terdengar samar meski tidak menghilang.
“sayang, Ayas sayang…bangun!, kita
pergi jalan-jalan yuk…!, cuaca hari ini benar-benar cerah” ucap ayah parau.
Tubuh ayah gemetar, aku merasakan ketakutannya kehilangan diriku.
“ayah, aku menyayangimu” suaraku
melemah seperti berbisik. Aku terkulai, peganganku melemas.
Air mata ayah tidak terbendung lagi,
luruh mengalir tiada henti. Dia masih berdiri menggendongku dan melanjutkan
nada lagunya yang merintih.
***
Ayah,
terimakasih atas semua pengorbananmu. Engkau menghabiskan sisa mudamu karena
hasratku untuk hidup yang sangat tinggi semata-mata karena diriku yang
terbuang. Aku begitu menyusahkan, bukan?. Aku hanya bisa hidup tanpa tahu
kesulitan yang engkau hadapi. Aku tersenyum di atas air matamu yang mengalir.
Aku berpikir, apa yang pernah aku lakukan untukmu, ayah?. tidak ada yang aku
perbuat. Aku hanya beban berat yang selalu engkau pikul.
Ayah,
aku bahagia hidup bersamamu. Aku terharu bertemu Ibu meskipun dalam mimpi
singkatku. Aku senang memandang bayanganku yang sempurna di khayalanku. Ayah,
aku bangga memilikimu.
Mari
kita hidup bahagia!, hapus pilu dan kepedihanmu. Ayah, Ayas akan bertahan untuk
menempati janji agar tetap disampingmu. Aku akan berusaha melawan progeria ini.
walau mereka terlalu ganas untuk kutaklukkan. Meski Setiap detik tanpa
ampun mereka menyerang seluruh tubuhku. Tapi Antibodiku tak akan menyerah tanpa
syarat.
Ayah,
I love you,,!!
The end
Mataram, 16 september 2013
Penulis. Jang Yiq
.