Jumat, 27 Juni 2014

Sigi menjemput Sigit bag.6 (End)

Diposting oleh mongyimongyi di 09.57 2 komentar


    penulis : Jang Yiq                                         
Cerita Singkat bag. 5
Ketidaksengajaan, ummi bertemu Sigi. Sigi menguak kisah hidupnya akhir-akhir ini, tentang dirinya, tentang Sigit dan tentang isi hatinya. Bagaimana pertemuan bermula sampai pengandaian seperti apa akhirnya. 

Melalui ummi, Sigit memperkenalkan diri pada Sigi. Bukan Kinan, bukan juga insiatif Sigit sendiri. Awal yang canggung, bisa teratasi dengan Sigit yang cepat menguasai keadaan dan pembawaan Sigi yang apa adanya. No Jaim and to the point. Tawa hadir di acara jumpa pagi itu, namun ada akhwat lain yang sedang merana, menunggu sebuah jawaban. Yuli Evanti masih penuh harap bahwa Sigit akan memilih dirinya.

***
“Hari ini, kami akan balik ke Jakarta. Andien sudah diperbolehkan pulang,” Ummi membuka pembicaraan lagi, sesaat Sigit pergi dari tempat itu.

“Apa? Ummi akan meninggalkan Bogor?” Sigi mengkonfirmasi lagi apa yang didengarnya tadi.

Ummi mengangguk dengan serangai. Dia menepuk-nepuk pundak Sigi yang terlihat melemas, mengerti atas kekecewaan bersua yang terlalu singkat. Dua hari, bukan waktu yang cukup untuk lebih dekat dengan ummi, dan barang tentu juga dengan Sigit.

“Bogor dan Jakarta, dekat kok,” Ummi menghibur Sigi sambil melirik Kinan untuk menegaskan kalimatnya, memang benar Bogor dan Jakarta tidak sejauh Jogjakarta dan Madura.

“dekat BGT, ummi...!” ceplos Kinan senyum-senyum ke arah ummi.

Sigi merubah mood-nya. Dia melebarkan senyum, mencoba mengusir rasa sesal. Dia telah merelakan Sigit, meski tidak sepenuhnya. Sigi tidak kuasa mempertanyakan apa yang dirasakan Sigit pada dirinya. Terlalu dini untuk meneror Sigit di pertama saling tahu. Perasaan tidak bisa dipaksakan, hati tidak dapat untuk dibagi. Cinta tidak harus memiliki. Begitu dialog-dialog di drama korea ^0^. Lagipula Sigi juga akan segera meninggalkan rumah sakit ini dan menjalankan aktivitas kembali seperti sedia kala.  Menjadi mahasiswa, wartawan kampus, dan pastinya menjadi Sigi yang dulu, ceria penuh canda. Tapi sekarang dia akan hadir dengan penampilan yang beda, berhijab. Bukan Sigi yang modis and stylish ala-ala gadis gaul abad-21, sekarang dia berbusana rapi dan tertutup, berkaos kaki tanpa super high heels

“Ini alamat ummi. Ummi akan senang sekali kalau nak Sigi dan Kinan berkenan mau mampir jika ke Jakarta!” ummi menyodorkan selembar kertas.

Kinan menyambar kertas itu seenaknya. Dia membaca abjad yang bertuliskan jalan Fatmawati nomor 13 jakarta Selatan. 

“Tidak sekalian sama nomor telepon, ummi?” tanya Sigi bernada canda penuh pengharapan ummi akan dengan suka rela menyebutkan satu nomor saja, terserah nomor telepon siapa, entah itu nomor telepon rumah, ummi, dan kalau beruntung nomor Sigit. Apalagi Sigi tersadar kartu nama Sigit sudah tidak ditangannya lagi.

“Aaauuuu...!!” jerit Sigi, ternyata kinan refleks mencubit pahanya, seperti biasa sebagai peringatan untuk tetap menjaga image. Kinan nyengir saja diplototin Sigi karena aksinya itu.

Ummi sekali lagi dibuat tertawa oleh kedua hijaber itu, melihat Sigi yang manyun seraya mengusap-usap lengannya yang mungkin memerah. Dan memperhatikan Kinan yang nunduk malu di depan ummi.

“Ini!” ummi memberikan secarcik kertas kecil kepada Sigi. Ya ampun, itu kartu nama Sigit yang Sigi tinggalkan di taman kemarin pagi. 

“Kok, bisa ada di ummi?”  Sigi melongo sambil menatap ummi. Dia belum percaya kartu nama itu kembali ketangannya. 

“Sigit yang menemukannya di taman atap. Dia bilang ini punyamu, jadi harus dikembalikan kepemiliknya.” Jelas ummi. 

Sigi mengambil kartu nama itu di tangan ummi. Tangannya bergetar terus mengelus-elus barang mungil itu. Kinan terharu, bulir air mata muncul di sudut matanya, namun dia tahan untuk tidak menetes. Kinan juga tidak menyangka kartu nama itu akan dilihatnya lagi. Ummi-pun ikut terhanyut dalam moment-moment terakhir itu.
Allah sungguh Sang Kreator tanpa tandingan,  selalu membuat sesuatu tak terduga yang membuat hidupmu penuh kejutan ^0^

***
Hari Rabu, 07.30 pagi...

Sigit duduk di meja dan kursi yang sama saat terakhir dia meninggalkan tempat itu. Dia datang lebih awal dari perjanjian dengan pak Salihuddin dan Yuli. Sekarang mukanya tidak nampak sedikitpun keragu-raguan, dia sangat yakin akan keputusannya saat ini. Dua hari berturut-turut dia melakukuan istiharah untuk memantapkan dirinya akan pilihan pendamping hidup. Perkara yang terlihat sepele namun berat timbangannya di akhirat kelak. 

Sigit melirik jam tangannya, masih dua puluh menit menuju jam delapan. Dia mengeluarkan buku dalam ranselnya, Fiqih Dakwah jilid 2 yang setebal bantal sekarang sudah terbuka didepannya. Dia melahap lembar demi lembar buku wajib untuk kalangan da’i itu. Serius  sekali, dia menela’ah setiap kata bahsaan. 

Waktu berjalan cepat, sudah tepat pukul delapan Waktu Indonesia Barat. Sigit hanyut dengan bacaannya. Dasarnya hobi membaca, tidak sesuatu-pun dihiraukan. Ya, Yuli sudah ada sedari tadi di tempat makan itu, sedang berdiri agak jauh dari posisi Sigit. Dia mengintip di balik pembatas rotan ruang makan seraya mesam mesem sendiri memandangi muka Sigit yang terpantau tetap fokus dengan buku didepannya. Yuli enggan menghampiri Sigit tanpa keberadaan pak Salihuddin sebagai pihak ketiga. Ingat, fitnah ^0^. Dia sangat girang mengetahui hari ini Sigit akan memberikan jawaban yang sudah sangat ditungguinya. Membayangkan bahwa Sigit akan menjawab yes yang akan membuatnya berbunga-bunga.
Eh...lupa dia, GB... GB... ukhti...setan sepertinya sudah mulai merasuk ini. Astagfirullah...^0^

Assalamu’alaikum...” sebuah suara kecil mengejutkan Yuli, Pak Salihuddin mengendap-endap dibelakangnya. Yuli langsung membalikkan badannya dan tersipu malu seraya membalas salam itu, tertangkap basah mengagumi Sigit diam-diam.

“Ini saatnya, Nak!” cakap pak Salihuddin memastikan Yuli sudah mempersiapkan jiwanya. Apapun keputusan Sigit harus bisa dia hormati dan terima dengan sepenuh hati. Baik itu penerimaan ataupun penolakaan, adalah hak Sigit yang tidak bisa di ganggu gugat. 

Yuli mengangguk pasti, menghilangkan keresahan pak Salihuddin. Jauh-jauh hari dia sudah menggembleng mentalnya agar tidak nampak bodoh di depan seorang ikhwan. Karena, seperti kita ketahui, Yuli Evanti cukup sering mendengar kata afwan. Dan dia sudah terbiasa, bahkan mungkin dentuman “no” yang keluar dari mulut kaum pria selama ini sudah sangat akrab dengan hidupnya. 

Berdua mereka mendekati Sigit yang sangat konsentrasi membedah buku Fiqih dakwah itu. Sekali lagi pak Salihuddin memecah suasana yang terkesan canggung, melayangkan salam kesejahteraan untuk sesama. Sigit membuyar, dia mengalihkan pandangannya kepada dua orang yang memang ditunggu-tunggu. Sigit menyunggingkan senyum menyambut kedatangan mereka, selayaknya tuan rumah menanti hadirnya tamu istimewa. Sigit mengisyaratkan dengan tangannya untuk mempersilakan duduk. Sempat sudut matanya mengerling ke arah Yuli, Sigit makin melebarkan seringainya yang menangkap kekikuan Yuli yang tak mampu disembunyikan kali ini. 
Seberapapun berpengalamannya seorang penyanyi pasti dia pernah merasakan gugup di atas panggung. Begitulah kira-kira penggambaran Yuli saat ini, walaupun ini adalah ta’aruf yang kesekian kali, di depan Sigit dia tidak mampu menutupi keresahan hatinya, hemm... Hemm  ^0^

“Yahhhh... bapak kira kita yang akan menunggu kehadiranmu, Git. Tapi malah kita yang ditunggu,” ucap pak Salihuddin santai sambil menoleh ke arah Yuli. Yuli menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mungkin akan berona merah.

“Hari ini ana jadwalnya masuk siang, Pak.” Kilah Sigit yang memang sudah tidak sabar melontarkan hasil renungannya.

“Oya, Afwan atas sikap ana minggu lalu. Ana tidak bermaksud meninggalkan acara, tapi adik ana terjatuh dari tangga dan harus dirawat di rumah sakit. ” lanjutnya merasa harus memberikan penjelasan atas ketidaksopanannya terhadap Yuli.

“Nak Yuli, ada yang mau disampaikan, monggo!” pak Salihuddin memberikan kesempatan untuk Yuli mengungkapkan apa saja yang mengganjal.

“Ana tidak berhak untuk berprasangka buruk terhadap antum. Jadi, apapun alasannya, ana sudah memaafkan kejadian tempo lalu. Hari ini ana akan mendengarkan apa tindakan antum selanjutnya dengan proses ini.” tegas yuli tanpa bertele-tele membuang waktu. Seperti yang dia lantunkan, dia tidak akan nampak bodoh dan mengiba di hadapan ikhwan, meskipun itu adalah Sigit. walau hati sebenarnya berbicara sebaliknya, mau mengulur waktu lebih lama agar makin dekat dengan Sigit, dia bisa memahami apa yang dirasakannya, mampu mendengar jeritan batinnya, Sigit jadikan aku isterimu!. 

Sigit membalas dengan senyuman kata-kata Yuli yang terkesan buru-buru menginginkan ketok palu. Sigit melihatnya lekat-lekat, membenarkan dirinya atas kekaguman akan kepintaran Yuli. Usianya menyatakan kematangannya, kedewasaannya, dan kesiapannya untuk membina bahtera rumah tangga.

Yuli menyembunyikan malunya dalam-dalam. Dia memasang muka tegar, sekali lagi, pantang terlihat bodoh dan lemah. Dia mencoba mengontrol emosinya yang ibarat gunung meletus siap menghamburkan lava panasnya. Harap-harap cemas ni yee ^0^. Dia memaksa Senyum, menggambarkan kerelaannya atas apapun itu yang diucapkan Sigit. Please jangan melihatku seperti itu! tidakkah kau tahu, aku sudah sangat meleleh, batin Yuli bergema.

“Baiklah. Ini adalah pilihan yang sulit dalam hidupku, sangat sulit, tapi ana sudah menetapkan keputusan. Ukhti Yuli Evanti, bersediakah anti?!” ujar Sigit lantang, sungguh tidak ada keragu-raguan pada mimiknya.
Yuli Evanti membetot, kini menitikkan air mata, terisak. Dia sudah tidak sanggup untuk bersandiwara lagi di hadapan Sigit dan pak Salihuddin. Dia mengangguk pasrah, ikhlas atas vonis terakhir Sigit.

***
Sigi merentangkan kedua lengannya, meregangkan badannya yang kilu. Sedari keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, dia belum diperbolehkan beraktivitas. Kerjaannya, tidur dan tidur di kasur yang sudah beberapa minggu ini ditinggalkannya. Suasana yang menjenuhkan. Di rabu pagi ini juga begitu, Sigi belum bisa kemana-mana, ke kampus, kumpul dengan teman organisasinya, dan yang paling dinanti-nanti, bergabung dengan lingkaran kajian.  Masa istirahatnya terus berlanjut sebelum dokter Fahri menyatakan sembuh total.  

Dia melirik meja samping, ada buket bunga mawar yang sekarang menghitam kering di pot warna putih dan sebingkai kartu nama atas nama Sigit. Sigi manyun memandangi dua benda yang paling berharga itu. Pembicaraannya dengan Kinan kemarin malam terngiang jelas dikepalanya, “Jaga Iffah [1]dan Izzah[2]mu. Gengsi dong, perempuan yang menelopn laki-laki!!” tukas Kinan. Malam itu, Sigi beradu argumen dengan Kinan. Ilmunya yang sedangkal selokan menguji kepahaman Kinan yang sudah sedalam kali. 

“Lalu, bagaimana dengan Siti Khadijah yang melamar Rasullulah. Bukankah memalukan seorang perempuan menawarkan dirinya untuk dinikahi?” protes Sigi. Dia membela diri dengan fakta yang tak mungkin terbantahkan.

“Bukan masalah perempuan menunjuk laki-laki yang ingin dijadikan suami. Nah, sekarang lihat konteksnya. Kalau memang perempuan itu sudah mantap untuk menikah, boleh-boleh saja. Tapi kamu, mau nikah enggak sama Sigit?! jika untuk main-main apalagi buat pacaran, itu salah besar!!” terang Kinan serius kalau membahas tentang fiqih.

“Dan juga ada aturan-aturan syar’i-nya. Bukan sembarang nyebut dan nunjuk siapa orangnya. Sekarang, saya mau perjelas statusmu, sudah siap menikah? Ya atau tidak !? Kalau memang ya, saya siap menjadi jalurmu!”  usul Kinan. 

“Memang saya busway, pakai jalur khusus segala!” solot Sigi. Sigi terkesiap, menyadari persoalaan ini sungguh rumit dari yang diduga. Dia merenungi setiap kata Kinan tadi. Betapa syariat islam itu mudah tapi sulit untuk dijalankan. Menikah itu gampang, tapi itu butuh mental baja untuk mengarungi bahteranya.

“Ingat!, Sigit itu seorang ikhwan. So pasti, dia juga tidak sembarangan dalam berhubungan dengan lawan jenis.” Seloroh Kinan. Skak mat, Kinan memukul telak Sigi. Dia merasa menang mampu membuat Sigi berpikir lagi untuk menjalin komunikasi dengan Sigit. inilah jurus-jurusnya untuk menghindarkan Sigi supaya tidak terlampau jauh mengharapkan Sigit. 
Hati tidak ada yang bisa menebak. Mungkin sekarang bilang “ya” tapi siapa yang sangka besok akan bilang “tidak” ^0^

Sigi mendengus, “Siapkah aku untuk menikah?” tanyanya pada diri sendiri, masih menatap benda-benda pemberian Sigit.

“Tok... Tok... Tok... Gi, boleh saya masuk?” pekik Kinan di luar kamar.

“Masuk...!” teriak Sigi, tetap dalam posisi duduknya di atas kasur.

Kinan membuka pintu itu dengan nampan penuh sarapan ditangannya. Lemparan senyum Kinan menyertai kehadirannya. 

“Saatnya sarapan, tuan puteri...” Kinan menaruh semangkuk bubur ayam dan segelas susu didekat Sigi. Dia memperhatikan Sigi yang sendu tidak bergairah menoleh padanya.

“Masih memikirkan diskusi yang semalam, ya?” tebak Kinan, seolah bisa membaca isi pikiran karibnya itu.
“Sudah dipikirkan baik-baik?” goda Kinan, menyenggol-nyenggol lengan Sigi.

Sigi tidak menggubris, dia mengaduk-aduk kesal buburnya, tak berminat untuk memakannya barang sesendok. Seleranya sudah ditelan habis oleh pertanyaan-pertanyaan Kinan yang membuatnya puyeng.

“Cepat buat keputusan. Nanti keburu Sigit diambil orang, lho!!” Kinan malah semakin asyik manas-manasin Sigi. 

Sigi kian geram dibuatnya. Dia melototin Kinan yang cekikian dan memaksanya untuk melahap sesendok full bubur ayam yang sudah dia sodorkan didepan mulut Kinan. Bukannya menggubris Sigi, Kinan malah melenggang keluar dari kamar Sigi.
Kinan... Kinan... Ada-ada saja kamu ini ^0^

***
Dua bulan kemudian...

Sigit turun dari mobil, hebohnya diikuti oleh Yuli yang memegang tangan Andien, menuntunnya berjalan. Layaknya sketsa keluarga harmonis, mereka bertiga menapaki gembira balok-balok paping yang berjejer rapi menuju pintu utama masjid. Kalau kalian mengira ini adalah masjid raya bogor, tebakanmu benar. Tempat inilah saksi bisu antara Sigit dan Sigi. Bagai menapak tilas kisah hidupnya beberapa bulan lalu, Sigit menyempatkan diri mampir di rumah Allah itu. 

Azan zuhur berkumandang, mengalun indah. Wuduhnya yang selalu terjaga, Sigit segera mengambil shaf pertama sholat berjamaah khusus kaum pria. Dia terduduk sebentar menunggu lantunan perintah sholat itu selesai. Sedangkan Yuli dan Andien bersiap dengan mukenanya di shaf terakhir dibalik tirai pembatas. 

Iqomat menyambut. Semua jamaah berdiri, berjejer lurus tak bercelah. Mereka semua siap akan menunaikan sholat empat rakaat di siang hari itu.

Tafadhol[3], ustadz!” Muaddzin[4] tadi mempersilakan Sigit menjadi pemimpin ustadz. Tanpa sungkan Sigit maju menuju mimbar masjid akan mengimami. 

Sholat dimulai, berlangsung khidmat di masjid yang besar nan megah dengan jamaah yang cukup dihitung dengan jari. Selesai sholat dan berdzikir, mereka saling bersalam-salaman.

“Ustadz Sigit?!” tegur seseorang saat Sigit akan bersalaman dengannya. Sigit tersenyum,   memicingkan matanya, mengerutkan kening berusaha mengingat sosok yang mungkin pernah bersua dengannya.

“Saya Amir, ustadz. Marbot masjid ini, ingat?” seloroh Amir, memasuki ruang memori Sigit.

Asstagfirullah, Mas Amir! Maaf, mas, tidak mengenali tadi,” gubris Sigit, dia memeluk Amir.
Ala-ala bromance lee jong suk dan kim woo bin  gitu.. hehehe ^0^.  

“Senang bisa melihat ustadz lagi. Dalam rangka apa ustadz kembali ke Bogor?” Amir basa basi dengan Sigit. Dia begitu senang bertemu lagi dengan Sigit.

“Adik saya harus check up di rumah sakit Harapan Bangsa, Mir. Itu dia!” Sigit menunjuk Andien yang digendong Yuli, mendekat ke posisi mereka.

“Ustadz bawa isteri juga?!” Amir tersenyum ke arah Yuli. Yuli tersenyum menyapa,  menundukkan kepalanya sedikit pada Amir.  

“Wahhh... Saya kira ustadz akan menikah dengan akhwat yang dulu ustadz tolong di masjid ini.” cerocos Amir tidak mempertimbangkan keberadaan Yuli disana. Sigit hanya tersenyum mendengar Amir berbicara ceplas ceplos, tidak mengiyakan, juga tidak mangkir. Yuli canggung menyikapi kata-kata Amir.

“Trillilit....Trillillit...” ponsel Amir berdengung. Dia cepat merogoh dan menjawab panggilan itu, “Assalamu’laikum, mbak... ya, saya segera kesana.” Amir menutup teleponnya.

“Maaf, ustadz. Saya ada janji. Mbak yang dulu ustadz tolong itu datang mengambil motornya yang dia titip dulu. Sekarang baru sempat diambil. Saya permisi dulu, Assalamu’alaikum...” Amir berlalu meninggalkan Sigit, Yuli, dan Andien.

Sigit terhentak. Dia berlari mengikuti Amir. Dia sangat yakin, mbak yang disebutkan Amir adalah Sigi.
Yuli terpaku melihat kepergian Sigit, dia mentertawakan dirinya sendiri, menguak kembali proses dua bulan lalu di pagi hari rabu. 

“Baiklah. Ini adalah pilihan yang sulit dalam hidupku, sangat sulit, tapi ana sudah menetapkan keputusan. Ukhti Yuli Evanti, bersediakah anti?!” ujar Sigit lantang, sungguh tidak ada keragu-raguan pada mimiknya.
Yuli terdiam, tidak menjawab entah itu adalah pertanyaan atau pernyataan yang masih akan berlanjut. 
“Bersediakah anti memaafkan ana. Afwan ana tidak bisa melanjutkan proses ini ke jenjang berikutnya. Ana menolak bukan karena ana tidak suka, justru ana-lah yang tidak pantas untuk menjadi suami anti” lanjut Sigit.
Dubrakkk... bagai petir di pagi buta menghantam raga Yuli. Dia masih terdiam, diamnya kali ini untuk mengatur emosinya , untuk merangkai kata perpisahan yang pas untuk mengakhiri ta’aruf  yang melelahkan itu.
“Ana menghargai putusan antum. Ya, ana sependapat, antum mungkin tidak pantas untuk ana. Semoga antum mendapatkan seseorang yang pantas menurut antum dan mudah-mudahan pantas juga menurut Allah.” Lirih Yuli. 
Yuli Evanti membetot, kini menitikkan air mata, terisak. Dia sudah tidak sanggup untuk bersandiwara lagi di hadapan Sigit dan pak Salihuddin. Dia mengangguk pasrah, ikhlas atas vonis terakhir Sigit.

**
Amir mengeluarkan motor bebek itu dari garasi masjid. Kurang lebih tiga bulan boncengan itu terlelap di sana. Sigi mengelus-elus tunggangannya yang paling setia itu, “Maafkan aku, baru bisa menjemputmu sekarang.” Dia ngomong sendiri seolah motornya mendengarkan. Gayanya yang aneh itu membuat Kinan dan Amir terbahak-bahak.

“Monggo di bawa pulang, mbak.” Ucap Amir masih geli dengan tingkah Sigi.

“Terima kasih, mas Amir sudah menjaga dan merawat motorku. Maaf, cuma ini yang bisa kami beri,” Sigi mengeluarkan amplop pertanda terima kasih. 

“Tidak usah, mbak. Saya ikhlas sepenuh jiwa dan raga.” Amir menolak uang pemberian Sigi.

Kinan merebut amplop itu dari tangan Sigi, “Ini hak mas Amir, tolong diterima, ya...”  ngotot Kinan memberikannya kepada Amir.

Amir dengan malu-malu akhirnya mengambil amplop itu. Kinan bernapas lega melihat amplop itu sudah berpindah tangan.

“Oya, mbak, di dalam saya bertemu dengan ustadz Sigit, yang menolong mbak dulu saat mbak pingsan di kamar mandi.” Amir lagi-lagi nyelonong saja ngomongnya.

“Apa? Ustadz Sigit?!” Kinan tersentak, tumben-tumbennya dia terbelalak mendengar nama Sigit. Dia mengerling ke Sigi yang sangat-sangat tertegun. Sigi menatap sayu ke depan seraya menyunggingkan senyum kecil.

Ya, Sigit lagi-lagi mendadak membuntang dihadapannya. Dia berdiri dengan gagahnya seakan menyiratkan akulah pemeran utamanya. Dia melangkah mendekati posisi Sigi, bak model yang melintas di catwalk yang menjadi pusat perhatian Sigi, Kinan, dan Amir. Sontak situasi berubah kagok. Kinan merempet ke samping Amir menempatkan diri menjadi penonton dan membiarkan Sigi menjadi pusat lampu pertunjukan. 

Sigit berhenti, tepat dua meter jarak antara dia dan Sigi. Dia mematung, air matanya merembes. Sigit menangis, merasa sangat berterima kasih kepada Allah. Taruhan yang dia buat dengan-Nya, berani melepaskan Yuli Evanti yang terbilang ideal menjadi ibu dari anak-anaknya, demi menanti hari dimana dia akan bersemuka dengan Sigi, gadis yang siapa dia Sigit-pun masih meraba. Namun hatinya sudah terlalu kuat terpaut pada dirinya.

“Inilah saatnya!!” Sigit histeris dalam relungnya. Dia mengatur irama napasnya untuk menghilangkakn kikuk yang menyergap.

“Sigi...” suara Sigit bergetar. Dia menguatkan genggaman tangannya, mengais keberanian untuk kata-kata selanjutnya.

“Abang...” tiba-tiba Andien berteriak memanggil Sigit, dia masih digendong Yuli yang berjalan mendatangi mereka. Andien meminta didekap abangnya, Sigit mengambil Andien dari rengkuhan Yuli.

Sigi mengamati Yuli yang sangat akrab dengan Andien dan Sigit. Merasa diperhatikan, Yuli angkat bicara, “ohh... Anti yang namanya Sigi. Perkenalkan saya Yuli.”

“Anti tahu ana?” tanya Sigi yang identitasnya diketahui oleh orang yang baru pertama kali ditemuinya itu.
“Sigi banyak cerita tentang anti. Waaahhh... ana sekarang benar-benar merasa dicampakkan.” Sungut Yuli bernada santai.

“Maksud anti?” timpal Sigi yang buntu tentang pembicaraan perempuan dewasa didepannya itu. Kinan dan Amir melongo-longo dengan percakapan itu.

“Sigit, cepat lamar dia! Berapa lama lagi antum akan menunggunya?! Tidak bisa menjadi isterimu, setidaknya ana bisa jadi saksi antara kalian berdua.” Solot Yuli tidak ingin lagi memperpanjang kisah Sigit yang menanti Sigi.

“Tidak...” ucap Sigi lemah. Dia mengalihkan matanya ke arah Sigit.

“Aku... Aku... tidak ingin dilamar ...” suara Sigi menggegar.

“Tapi, biarkanlah aku meniru Siti Khadijah detik ini, biarkan aku yang datang menjemputmu.”

“Sigit Pratama, bersediakah antum menjadi imamku?” Sigi berkaca-kaca. Dia mulai linglung. Kinan segera menopang tubuh sahabatnya itu. Ada kebanggan tersendiri, hari ini dia mendapati Sigi begitu berani mengungkap semua yang ada di hati dan pikirannya. Kini, Sigi adalah Sigi yang siap mengambil keputusan untuk hidupnya.

“Aku bersedia!” jawab Sigit. Air matanya tumpah tak terbendung, tidak mampu berkata-kata lagi. Otaknya blank tak bisa berpikir. Dia hanya memandang Sigi yang tiada henti memandangnya juga.
So sweet...^0^
Aku malu membaca tulisanku sendiri ^0^

Yuli ikut terharu, begitupun Kinan dan Andien tersentuh dengan adegan di depan mata. Amir yang tidak paham dengan apa yang terjadi ikut termehek-mehek dibuatnya.
 
“walau digenggam kuat, andai ia bukan  milik kita, ia terlepas jua. Walau ditolak ke tepi, andai ia untuk kita, ia mendatang jua, itulah namanya jodoh.”

“jika kamu memang jodohku, kemanapun kamu melangkah pasti kamu akan kembali kepadaku.”

***
Sigit : saat kamu pingsan dulu, entah apa yang merasuk dalam tubuhku. Tanpa berpikir panjang,   aku membopong tubuhmu yang lemas dan berdarah. itu pertama kalinya aku menyentuh perempuan yang bukan mahramku. Aku sangat khawatir tentang dirimu. Bagaimana keadaanmu? lagi dimana dan sedang apa?. otakku penuh dengan dirimu. padahal itu pertama kali aku bertemu denganmu. inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?
Sigi : Kinan membujukku ke acara ODOJ itu. katanya ada ustadz ganteng sebagai pengisi acaranya. kinan bukan tipe perempuan yang sembarangan bicara. aku penasaran, seberapa cakep ustadz itu. akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke Masjid Raya. dan benar, Kinan tidak berbohong. ustadz itu memang tampan. bukan hanya fisiknya tetapi juga hatinya.
Sigit : Itulah Jodoh!


-the end-

Note.
Terima kasih untuk pembaca setia cerbung ini,,,
Dan maaf atas segala kekurangannya,,,^0^

Terimakasih untuk kerispatih...
Tertatih” satu lagu yang selalu aku putar saat tulisan ini tercipta...
Jemariku bergerak-gerak di keyboard saat lagu ini bergema...^0^

Terimakasih untuk Shin Young Jae...
lantunan "Belive" mampu menggerakkan otakku berpikir di malam-malam buta untuk melanjutkan tulisan ini ^0^

dan...
Terimakasih Jung Joon Young (guri-guri)...
"Because I Love You" suara rock-mu selalu menemaniku saat menulis...^0^

 ~^0^~
Menulis tidak semudah membaca...
Menulis tidak segampang menggambar...
Tapi saya yakin semua orang bisa menulis...
Mari menulis...
Jangan berhenti menulis...
Meski sampai detik ini...
Karyamu masih tertata rapi dalam folder...
Meski sampai hari ini...
Kalian belum memenangkan satu kompetisi-pun...



[1] kehormatan
[2] Harga diri
[3] silakan
[4] Pengumandang azan

Sabtu, 14 Juni 2014

Sigi Menjemput Sigit bag. 5

Diposting oleh mongyimongyi di 12.17 2 komentar


          penulis : Jang Yiq                                    

 Cerita singkat bag.4

Ta’aruf di mulai, Sigit memutuskan untuk melanjutkan perkenalan dengan Yuli Evanti, seorang dokter yang umurnya tiga tahun lebih tua dari Sigit. Akhwat rekomendasi sang murrabi membuat Sigit takjub dengan kematangannya sebagai seorang perempuan dewasa. Namun, ditengah-tengah pendalaman keperiadian masing-masing, tiba-tiba abi Sigit menelpon, mengabarkan bahwa Andien, adiknya terjatuh dari tangga villa dan harus mendapatkan perawatan di bogor. Di situasi itu, Sigit memutuskan untuk meninggalkan acara tanpa berpikir akan menyakiti hati akhwat dihadapnnya itu.

Takdir berbicara. Di rumah sakit Harapan Bangsa, dimalam yang tak terduga itu,  Sigit mengulang pertemuannya dengan Kinan, seseorang yang mungkin akan menjadi jembatan perjumpaan kembali dengan Sigi. Betapa bahagianya Sigit ketika sosok akhwat, sahabat Sigi itu berdiri dihadapannya. Kinan juga tak kalah senang, namun Kinan memilih berpikir lain. Dia tidak ingin Sigi dan Sigit bertemu atas kehendak mereka masing-masing. Biarkanlah Allah menjalankan sekenario-Nya yang maha sempurna batin Kinan. 

Ya, tanpa campur tangan Kinan, Allah-pun bertindak. Di pagi yang indah, dua insan yang tidak saling mengenal dalam itu bertatap muka. Di taman atap rumah sakit, Sigi yang sedang menikmati terpaan jingga dan kemudian Sigit muncul, mendekap hangat Andien yang masih lemah. Sontak membuat Sigi terperenyak, terharu dipertemukan lagi dan merana sedih, salah paham tentang status Sigit yang ternyata sudah beristri. Dengan genangan air mata Sigi berlari menjauhi Sigit. Sigit tak mampu berbuat apa-apa, dia hanya memandang Sigi yang meninggalkannya.

***
Sigit mendekati tempat Sigi terduduk tadi. Dia tersenyum simpul dan memungut potongan kertas kecil yang bertuliskan namanya. Kartu nama itu, tanpa tersadar Sigi meninggalkannya di kursi itu, mungkin karena sangat terkaget membuat Sigi melepaskannya dari genggaman. Sigit mengusap-usap kursi kayu itu, seakan ingin merasakan keberadaan Sigi di situ, kemudian mendudukinya pelan. Kembali Sigit melihat kartu namanya sendiri, mengingat kembali dengan konyolnya saat dulu dia memberikannya kepada Kinan dan berharap untuk dikabari keadaan Sigi. Tapi asa sekedar asa, Kinan tidak pernah berniat menguhubunginya.
Sigit mendesah. Napasnya sampai dirasa oleh kening Andien yang nyaman dipangkuannya. Andien melirik abangnya, memperhatikan lekat-lekat mimik mukanya yang tersirat kacau.

“Abang, siapa perempuan yang tadi? Kenapa dia menangis?” suara Andien pelan namun menusuk. 

Sigit mendesah lagi, melebarkan pupil matanya menatap adik kesayangannya itu, “Perempuan tadi itu...” Sigit menahan napas, memotong pembicaraannya, berpikir untuk berterus terang saja pada anak kecil itu. Toh, dia cuma anak ingusan yang belum mengerti dunia orang dewasa.

“Namanya Sigi. miripkan sama nama abang, Cuma kurang huruf T,” gurau Sigit sambil mencubit gemas pipi Andien yang tirus.

“Terus?” Andien mulai rewel, nampak  tatapan menghakimi abangnya. 

Sigit mengerutkan keningnya, bingung harus menjelaskan apalagi, sebab dia juga tidak tahu siapa Sigi seutuhnya. Sebatas nama, tidak lebih dari itu untuk menandakan sosok perempuan itu.

“Abang tidak tahu.”  Ucap Sigit meredup, menerawang bagaimana kisah ini akan berlanjut. Semua adalah rahasia yang tidak mungkin akan tersingkap oleh paranormal.  

Andien menurunkan pandangannya, mendekatkan telinganya tepat di posisi jantung abangnya. Andien tersimpul, dia mendengar irama yang berdetak kencang tak beraturan. “Abang, sepertinya aku tahu siapa perempuan itu.” gumam Andien seraya terus menempelkan pendengarannya, seolah menikmati alunan debaran jantung abangnya. 

Sigit terbelalak, jantungnya berdegup semakin kencang. Andien cekikikan mendengar suara pemompa jantung itu semakin besar. Sigit ingin mengelak, membela diri kalau apa yang diucapkan Andien hanyalah tebakan kosong anak ingusan. Tapi Sigit tetap membiarkan aksi adiknya. Dia merasa lega, seakan ada setitik embun merembes masuk kehatinya, sangat menyegarkan ditengah panas memendam sendiri bara cinta yang membelenggunya.

“Terima kasih sayang…” Sigit memeluk Andien. Dia sangat menyayangi adiknya yang terkadang bersikap dewasa itu. Meski umurnya masih delapan tahun, namun dialah perempuan yang paling mengerti isi hatinya.

***
Sigi terisak, air mata masih membasahi pipinya. Dia mendekap kedua lututnya sembari duduk bersandar di dinding lorong bangsal matahari, koridor ini terhubung dengan kompleks VIP. Sigi membenamkan kepalanya dalam-dalam seolah tidak ingin menampakkan kesedihan pada orang lain. Dia memegang dadanya seperti memerintahkan hati untuk tidak beriak. Sekarang dirinya penuh dengan penyesalan tentang rasa yang sudah menjangkit. 

“Ya Allah, Mengapa ini terjadi kepadaku?” ucapnya pelan, serasa Tuhan tidak mengamini apa yang diangankannya selama ini.

Lorong yang sepi, di pagi hari yang masih berselimut, remang-remang, sinar matahari yang menyusup diantara celah-celah jendela kaca gedung, menangkap tubuh perempuan berhijab yang membungkuk di depan Sigi yang masih tertunduk dengan suara senggukan yang menggema. 

“Nak, kenapa kamu menangis?” sapa perempuan itu lembut. Dia mengusap-usap kepala Sigi yang juga tertutup hijab.  Sigi tidak menjawab, tetap menunduk, tidak mau memperlihatkan wajah sembabnya. Dengan perlahan perempuan separuh baya itu mengangkat kepala Sigi, menghapus air mata yang mengalir. Perempuan itu tersenyum hangat, gurat keibuannya menjalar disanubarinya. Sigi melongo, tak mengelak juga tak menepis sentuhan tangan bergurat kasar itu. Justru dia semakin merengek dihadapannya seakan sudah saling mengenal lama. Perempuan paruh baya itu memeluk Sigi, mengelus-elus punggungnnya menenangkan, “Menangislah jika itu membuatmu akan merasa lebih baik, Nak.” Bisik perempuan itu. 

Selang beberapa menit, Sigi sudah merasa plong. Dia melepaskan diri dari rangkulan perempuan itu, menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi pipinya. Dia menarik napas dan menghembuskannya, mengatur kembali emosinya yang sempat membeludak.

Terkadang menangis adalah senjata paling ampuh untuk mengurangi penat hati. Menangislah, karena menangis tidak selamanya menunjukkan kalian lemah... ^0^

“Terima kasih...” suara Sigi terdengar bergetar.

“Ibu, siapa?” lanjut Sigi memandang perempuan yang masih membungkuk didepannya dengan Senyuman yang enggan menjauh dari bibirnya yang mulai mengkerut.

“Panggil saya Ummi, Ummi!” ujar perempuan itu seraya memegang kedua pipi Sigi. 
Oh... indahnnya ukhuwah^0^

“Ummi.” Gumam Sigi, matanya kembali berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena kesedihan namun ada keharuan. Entah mengapa ada secercah bahagia menyelip di lubuk hatinya, memandang perempuan tua yang sangat ramah itu.

Beberapa meter dari Sigi dan Ummi berada, Sigit menonton semuanya. Di tembok belokan lorong, diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik dua perempuan yang memenuhi hatinya itu. Andien yang seiya sekata dengan sang abang mulai menikmati reka adegan itu. Sungguh menyentuh, bagai melihat perjumpaan ibu dan anak. Terpancar sinar ketulusan diantara mereka berdua. Sigit menghela napas, berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang. Menghampiri untuk menyapa dan memperkenalkan diri secara resmi di depan Sigi atau membiarkan takdir yang terkuak dengan sendirinya. Tulang rusuk tidak akan kemana-mana, bukan? Dia pasti akan kembali ke posisinya. Sigit meragu, dia ingin sekali mengangkat kakinya untuk mendekat, tapi sangat berat, berat sekali. Kaki itu tidak mau bergeser sedikitpun, tetap nyaman menapaki lantai marmer itu. 

“Sigi, ada apa denganmu?” batin Sigit berdengung, merogoh kartu namanya yang tertinggal di taman tadi.

Gemuruh hati Sigit yang meminta jawaban dari pertanyaan yang tidak tersampaikan. Dia masih berdiri di kejauhan menyaksikan Sigi dan umminya yang sedang bercengkrama. Indah sekali, melihat kedekatan Sigi dan ummi yang baru saja saling tahu namun sudah seintim itu. Satu dua kali, Sigit melempar senyum, menggelayut di khayalannya, peristiwa saat ini terjadi dikehidupannya yang mendatang, keakraban antara mertua dan menantu.
Cie..cie...Sigit ^0^

“Tit…Tut…” bunyi pesan singkat masuk. Sigit gelalapan, meski suara ponselnya kecil dikeheningan pagi. Bangat Sigit merogoh saku celananya dan membuka SMS itu, “Assalamu’alaikum, Git, bagaimana ini dengan kelanjutan proses ta’aruf yang kemarin?” tulisan dari pak Salihudin. Sigit menepuk jidatnya seraya beristigfar, melupakan hal kemarin yang juga cukup penting. Sekelebat bayangan Yuli Evanti hadir di benaknya. Sosok dokter muda yang memang tidak muda lagi, menawan dengan kecerdasannya. Sigit merasa bersalah, tidak seyogyanya dia meninggalkan akhwat itu begitu saja tanpa penjelasan di tengah proses yang serius.

Wa’alaikumussalam, afwan,  pak, sekarang ana sedang di Bogor. Kemarin abi menelpon, Andien terjatuh dari tangga Villa dan harus mendapat perawatan di Rumah Sakit Harapan Bangsa. Bisakah pertemuannya di jadwal ulang? Insha Allah, ana sudah punya jawaban.” Balasan Sigit untuk pesan murrabinya.

Andien yang sedari tadi diam, masih didekapan Sigit, terus mengamati wajah abangnya yang sangat mudah terbaca. Ada kebingungan, kebimbangan, kerisauan, keheranan, semuanya ditampakkan kali ini. Andien yang rada-rada memahami berbisik, “Tenang, abang!” nadanya yang sok dewasa membuat Sigit tersenyum, mengangguk-angguk mematuhi seruan adiknya. 

“Bapak konfirmasikan dulu sama akhwatnya. Tunggu kabar selanjutnya.” Pesan balasan dari pak Salihuddin.
Sigit menenangkan diri seperti permintaan Andien. Mengatur jalan napas. Dia menengok kembali pandangannya ke tempat Sigi dan ummi, mereka sudah tidak . Sigit melirik ke penjuru koridor, tidak ada, sepi. Sigit maju, melangkah pelan menapaki lorong itu, bangsal matahari, tempat ruang rawat Andien. Sigit melewati ruang bernomor 327, dia terus berjalan ke ujung lorong yang ternyata memiliki belokan dengan pintu kaca bertuliskan VIP.

“Jangan-jangan, Sigi berkamar disini,” Sigit berandai-andai. Dia menerawang suasana dalam tempat khusus pasien berbudjet itu. Sigit tersentak, Kinan keluar dari salah satu jejeran kamar. Dia kenal betul paras yang menodongnya tadi malam itu. Sigit refleks menghindar dan bersembunyi, perlahan berlari kecil tak bersuara masuk ke ruang rawat Andien yang dekat, bayangkan cara jalannya Tom saat akan menyergap Jerry, hehe ^0^. Kini, mimiknya tersirat mantap, mengetahui ternyata dari kemarin dia begitu dekat dengan Sigi.

***
Yuli Evanti termenung di kamarnya. Ahad pagi yang terasa muram. Dia, lagi dan lagi mengingat rupa punggung Sigit yang dengan mudahnya meninggalkan proses perkenalan mereka. Meski saat itu Yuli memasang wajah yang tidak apa-apa, namun hatinya ada apa-apa. Sedikit perih ketika memasrahkan laki-laki yang ada di depan mata, mulai mendalami karakternya, dan sudah menyukainya, entah karena alasan apa pergi seenaknya. Jujur, penjelasan tak berjawab dari pak Salihuddin tentang kejadian itu semakin membuat Yuli berpikir kalau Sigit sungguh tidak berniat melanjutkan proses yang terlalu dini untuk dibatalkan itu. Tidak ada keterangan lebih lanjut yang bisa menenangkannya, apalagi dari Sigit sendiri. Semenjak kemarin hingga hari ini, pak Salihuddin belum mampu berbicara tentang sebuah kepastian. Seperti menggantung, Yuli kian merana, parahnya Sigit sudah membuatnya jatuh cinta.

Yuli meraih biodata itu lagi, memandangi wajah Sigit yang berkharisma dengan kacamatanya. Tanpa paksa, Yuli tersenyum kecut melihat foto itu. Dia melihat isi biodata yang sudah sekian kali dia telaah, berharap tiba-tiba terselip nomor telepon Sigit di barisan kata data diri. Ingin sekali Yuli menghubungi Sigit langsung untuk meminta keputusan, ya atau tidak, titik.

Khyusuk dengan perasaannya yang galau badai, Yuli tersentak oleh suara ponselnya yang mendadak berdering. Mengintip nama di layar, bibirnya merekah, pak Salihuddin menelpon di waktu yang dinantikan. Tidak ada keraguan, Yuli menerima panggilan itu, “Assalamu’alaikum, pak...” jawab Yuli lugas.

Wa’alaikumussalam, ukhti, afwan tentang kemarin. Kapan ada waktu untuk memproses lagi? Kabarnya Sigit sudah punya jawaban.” Ungkap pak Salihuddin yakin.

Yuli cepat membuka buku agendanya yang memang tergeletak disampingnya. Membuka lembaran untuk jadwalnya minggu depan. 

“Hari Rabu, pak. Di tempat yang kemarin, sekitar jam delapan pagi,” ujar Yuli bersemangat, tertanda dari nada suaranya yang meletup-letup. 

“Baiklah. Bapak akan memberi tahu Sigit prihal ini. Syukron ukhti!”.

Afwan[1], pak.” Yuli menutup pembicaraan itu. Dia memegang jantungnya yang berdentum, senyum-senyum, memukul-mukul bantal, berguling-guling kegirangan ditempat tidurnya yang besar. Seperti adegan di drama-drama korea-lah, masa-masa hati kekasih wanita yang sedang berbunga-bunga.
Walaupun sudah dewasa, kalau urusan cinta, kelakuan bisa kayak remaja-remaja alay labil, hohoho ^0^

***
Di kamar bernomor 327, kamar inap Andien terdengar ramai. Abi, ummi, dan Sigit berguyon yang dibumbui tawa Andien. Bersyukur kesehatan Andien pulih cepat, walau sewaktu-waktu akan kambuh lagi. Kemarin sore sampai tengah malam Andien dapat melewati keadaan krisisnya. Anak kecil itu sudah tidak terhitung berapa banyak harus menghadapi saat-saat nyawanya hampir tercabut. Kesempatan hidup yang entah sampai kapan akan berakhir, sampai para malaikat akan datang untuk mengambil ruh dari jasadnya. Sekarang, dia masih bisa menyulam senyum ditengah jantungnya yang semakin melemah.

Andien bermanja di lengan umminya yang ikut merebahkan badan di ranjang sempit itu. Selama ini abi dan ummi selalu menemaninya tidur. Kekhawatiran penyakit akan kumat di malam hari, membuat ummi tidak pernah membiarkan Andien tidur sendirian.

“Pengen banget deh, lihat abang cepat-cepat nikah.” Celetuk Andien, menohok semua yang ada di ruangan itu. Sigit yang diomongin mesam-mesem salah laku.

Ummi bersegera mengangguk-ngangguk setuju, “Betul. Tidak mungkin dong, abangmu yang kece badai guntur halilintar ini tidak punya gebetan.” Gaya ummi meniru Syahrihoi, ikut-ikutan menyindir Sigit. Abi senyum-senyum menyimak aksi ummi dan Andien, dan tingkah Sigit yang malu-malu.

“Sigi, itukan nama kakak yang ummi ajak ngobrol tadi pagi,” Andien memancing lebih dalam lagi.
 
“Oh! Kok Andien tahu!!?” ummi heran sendiri. Padahal tadi pagi, di koridor hanya mereka berdua.

“Bang Sigit saja tahu.” Andien mengerling ke arah abangnya yang duduk dekat abi di sofa. Sigit girang, merasa menelanjangi abangnya untuk mengakui semuanya sekarang di depan abi dan ummi. 

“Kalian nguping ya?” Ummi pura-pura semakin terhenyuk, dia sudah tahu semua cerita dari Sigi sendiri tentang semua yang terjadi. Dengan enaknya Sigi curhat tanpa tahu ummi adalah ibu yang melahirkan dan merawat Sigit. Ummi bangkit dari posisi tidurnya, mendekati Sigit, “Benar kamu kenal Sigi!?” tanya ummi, dia sengaja menyelidik lekat-lekat muka anak sulungnya itu.

“Ya, saya kenal Sigi. Terus masalahnya?” Sigit mau berkilah. Dia menghindar dari tatapan umminya yang tajam.

“Enggak ada masalah apa-apa. Biasa aja kelez…” Ummi sekarang berbahasa anak-anak alay sambil berjalan meliuk-liuk kembali ke samping Andien.

Semua tertawa dengan gaya ummi yang sok-sok kecentilan. Mengikuti perkembangan bahasa gaul yang sudah merebak. Ummi gaul juga ^0^.
Memang sebagai pengemban dakwah harus tahu istilah-istilah anak muda yang lagi ngtrend, agar nantinya nyambung ketika harus berhadapan dengan target dakwah dari kalangan pemuda. Mengikuti perkembangan jaman perlu demi kelangsungan dakwah, asalkan tetap dalam koridor syar’i.

“Aduh! Abi ketinggalan informasi apa lagi ini!?” tutur abi yang dasar tidak tahu menahu.

Saat Sigit akan angkat bicara, sudah capek dibombardir oleh ummi dan Andien, tidak ada celah untuk melarikan diri lagi. Namun, tiba-tiba ummi mendahului, “Kalau suka, dilamar saja. Nanti nyesal lho!”. Ummi dan Andien saling tos-tosan, merasa menang sudah memukul telak Sigit. 

“Ooo...! Ada yang sedang jatuh cinta ya...” tukas Abi yang kemudian ikut-ikutan menepukkan telapak tangannya dengan telapak tangan ummi dan Andien. 

“Sigi cerita apa sama ummi? Kayak ummi tahu segala-galanya saja,” Sigit seolah ingin menguak isi hati Sigi melalui ummi. Penasaran, Sigi sudah curhat apa saja tentang dirinya pada ibunya sendiri.

“Kasih tahu enggak ya...?” ummi tiada hentinya menggoda Sigit, malah semakin menjadi-jadi.

Sigit sabar menghadapi situasi itu, karena kini hatinya lega, tidak perlu disembunyikan lagi, bahwa keluarganya sudah tahu perasaannya, tahu siapa Sigi, dan yang paling penting mereka tahu kalau Sigit menyukai Sigi.

“Tit...Tut...” pesan masuk. Sigit membacanya, “Ukhti Yuli sepakat berproses lagi. Hari Rabu, pukul delapan pagi, di tempat yang kemarin. Bisa?” .

Insha Allah, bisa.” Balas Sigit pasti, seperti mau bersegera menyelesaikan perkara itu.

“Abi, ummi, saya mau memberitahukan sesuatu. Ini tentang akhwat yang lain. Sekarang saya sedang proses ta’aruf dengan dia. Namanya Yuli Evanti. Seorang dokter yang usianya tiga puluh tahun. Cerdas dan cantik. Ini rekomendasi murrabiku. Bagaimana menurut abi dan ummi?” jelas Sigit singkat. Ini waktu yang tepat juga untuk membeberkan tentang Yuli Evanti pada abi dan ummi pikir Sigit.

“Semua keputusan ada ditanganmu, Nak. Pilihlah yang terbaik menurutmu. Dan jangan lupa juga meminta petunjuk, meminta untuk dipilihkan yang terbaik oleh Allah.” Saran abi bijaksana, selalu seperti itu. tidak pernah memaksakan kehendak pribadi kepada anaknya, dan selalu menyuruh anak-anaknya berdoa tentang segala keputusan yang akan diambil.

“Jangan sampai Allah memberikan sesuatu kepadamu tetapi dalam keadaan murka. Ummi harap, cintamu pada Sigi bisa berlabuh. Tapi akhwat itu juga punya hak yang sama untuk memiliki hatimu. Pertimbangkan dengan baik-baik. Mintalah petunjuk yang maha kuasa. Ingat, baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah.” Pesan ummi sejalan dengan apa yang dikatakan abi tadi.

“Terimakasih abi, ummi. Siapapun yang saya pilih, mudah-mudahan itu yang terbaik menurut Allah dan menurut saya, amin.” 

Semuanya mengamini. Suasana berubah menjadi sediki khidmat. Karena, ini bukan hanya tentang dunia, ini juga urusan akhirat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

***
Esok hari...

Sigi dan Kinan duduk di kantin. Sarapan pagi sembari menunggu kehadiran ummi dan Sigit. Tadi malam, diam-diam ummi berkunjung ke kamar rawatnya Sigi untuk meminta pertemuan pagi ini. Sigi terlihat gugup. Sepanjang malam sampai detik ini, dia tidak tenang. Dia terus meremas-remas tangannya, kakinya tak henti bergerak untuk mengusir grogi.

“Gi, kamu baik-baik saja kan?” Kinan memegang tangan Sigi menenangkan. Terasa dingin, bagai demam panggung.  

Kinan tersenyum, “Bayangkan saat pertama kali kamu melihat ustadz Sigit. Ketika dia belum mengenalmu. Santai saja...” himbau Kinan yang memang juga tersadar situasi kali ini tidak akan pernah sama dengan tempo lalu. 

Sigi memejamkan matanya, mengatur ritme napasnya, berusaha mengingat kembali kejadian di Masjid Raya Bogor, di acara ODOJ yang terencana sempurna oleh Allah, yang mengantarkannya pada hijab dan mungkinkah pada jodohnya juga. Sigi mulai bisa mengontrol dirinya. Sunggingan seringai menandakan dia sudah menguasai emosinya.

“Kamu memang soulmate-ku,” Sigi memeluk Kinan bentuk rasa terima kasihnya. Kinan membalas rangkulan best friend-nya itu.
Best friend forever. Cenang celalu bercamamu celamanya...hahaha ^0^

Ummi dan Sigit sampai. Berdua berdiri di kejauhan, mencari letak duduk Sigi dan Kinan di tengah sekumpulan orang-orang yang asyik makan pagi. Sigit menunjuk pojokan tepi jendela, dia tahu betul paras Kinan. Pasti disampingnya adalah Sigi, posisi duduknya yang menghadap Kinan membuat wajahnya tersembunyi.

Ummi menepuk pundak Sigit, “Siap?” tanya ummi pada Sigit yang tampak masih was-was. Hari ini, hari yang dinanti, dia akan berkenalan secara resmi dengan Sigi. Berpikir bagaimana dia harus bersikap nanti di depan Sigi.

Insha Allah, ummi. Saya siap! Salah paham ini harus segera diluruskan,” tegas Sigit. padahal dia tidak pernah mempermasalahkan anggapan Sigi yang keliru tentang dirinya.

 Malam itu, ummi membeberkan semuanya. Tentang pribadi Sigi, perasaan sukanya pada Sigit, dan Sigi yang mengira kalau Sigit sudah menikah dan punya anak yang membuat Sigit tertawa saat ummi bercerita tentang hal  itu. Dia berpikir betapa lucunya Sigi mengira Andien adalah buah hatinya.

Ummi dan Sigit mendekat ke arah meja tempat Kinan dan Sigi. Kinan langsung berdiri menyambut kedatangan tamu terhormat itu. Sigi bangkit, berbalik dan membungkuk, “Assalamu’alaikum, nama saya Sigi, senang bisa bertemu lagi.” Sigi berucap cepat tanpa intonasi dan jeda. Dia terus saja membungkuk, tidak kuasa memperlihatkan wajahnya.

Sigit tertawa kecil, baru kali ini menemui akhwat seaneh ini. Maklum, dipertemuan pertama dulu, Sigit di sambut Sigi dengan pingsan dan berdarah-darah. Ummi menepuk lembut kepala Sigi seraya membalas salamnya. Perlahan Sigi mendongakkan kepalanya, dan duarrrr... Sigit tepat berdiri didepannya, dekat sekali. Sigit yang ulungnya pendakwah, orator, pembicara forum, sangat mengendalikan situasi dan kondisi. Dia memperbaiki kacanya yang tidak melorot dan bersapa secara singkat, “Saya Sigit.” 

“Saya sudah tahu,” Sigi  berani mengeluarkan guaruannya, sifat aslinya mulai keluar. Kinan menyentuh tangannya, memberikan kedipan mata untuk menjaga sikap,  jaga image di depan ikhwan. Biasa akhwat-akhwat, hehe ^0^ . Sigi nyengir melihat Kinan yang waspada dengan pembawaannya yang Sigi banget dah.
“Saya juga sudah tahu kalau anti yang namanya Sigi.” Sigit membalas candaan Sigi. Suasana cair. Mereka duduk, santap pagi bersama-sama. Kecanggungan terkikis sedikit demi sedikit. Perkenalan resmi yang ternyata tidak semenakut yang dianggap sejak awal. 

Sigit harus pamit duluan, pulang ke Jakarta. Kerjaan menumpuk di kantor. Jabatannya sebagai staf wakil menteri di kementerian agama, tidak sembarangan untuk mengabaikan tugas-tugas yang harus diselesaikan.
Sigi menengok kepergian Sigit. Dia mentertawakan dirinya sendiri yang sudah salah mengira sebelumnya. 
“Dia bujangan!” teriak Sigi histeris dalam batinnya.

“Aku baik-baik saja, dan sepertinya akan baik-baik saja jika dia memang bukan tercipta untukku. Aku sudah cukup bersyukur kau bisa merasakan keberadaanku. Kau terlalu sempurna untuk kumiliki, karena aku adalah perempuan yang biasa-biasa saja.”  

Bersambung...




[1] Bisa juga berarti sama-sama
 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea