Sabtu, 02 November 2013

PROGERIA

Diposting oleh mongyimongyi di 08.49 0 komentar




Aku menatap lemah ayah yang tertidur pulas disampingku. Sudah sebulan aku terbaring di rumah sakit. Diusiaku yang sepuluh tahun, secara mendadak aku mengalami serangan jantung.
Aku mengelus lembut pipi ayah, terasa gurat kelelahannya di kulit tanganku yang keriput. Tidak seyogyanya ayahku menghabiskan waktu mudanya untuk merawat hidupku yang tak berharapan. Dokter memvonis, jatah nafasku mungkin hanya bersisa empat tahun lagi. Namun ayah tidak menyerah dengan pengobatanku yang tampak sia-sia.
“ayah,,aku ingin pulang!” suaraku lirih membangunkannya. Tubuhku yang kaku berusaha aku gerakkan untuk sekedar terduduk. Sangat membosankan terus berada di rumah sakit ini. Aku ingin menghirup bau selain obat-obatan. Aku suka harum rosemary. Aromanya menusuk lembut penciumanku, membuat aliran darahku terasa berdesir ke seluruh tubuh.
“tentu saja kita akan pulang, tapi Ayas harus janji dulu sama ayah. Ayas harus sembuh!” bujuk ayah. Ayah membelai kepalaku yang gundul. Aku mengangguk dalam kepiluan, karena aku tahu pasti aku tidak akan pernah sehat kembali. Kematian adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari jerat penyakit langka ini.
***
Tiga anak kecil kejar-kejaran di padang ilalang itu, terkawal pohon-pohon cemara tinggi menjulang. Tempat terpencil dan lebih tepat disebut hutan. Mereka tampak sangat menikmati hawa rerumputan yang segera menembus indra penciuman. Tertawa lepas layaknya anak belia sungguh sangat menyenangkan. Seakan-akan ingin melanggar kodrat manusia untuk menjadi tidak dewasa. Kata orang bijak, dewasa itu memang enak tapi terlalu rumit untuk dijalani. Aku mengamatinya dari beranda rumah seorang diri. Anak siapa yang berani bermain di hutan seperti ini batinku tak melepaskan pandangan dari mereka. Apakah mereka sama sepertiku?, Terkucilkan dari peradaban ini.
Angin dingin menyergap  tulang. Mantel putih aku tutup rapat-rapat membungkus tubuh. Penutup kepala rajutan buatan ayah, aku raba-raba membenahi. Aku belum terbiasa dengan hawa dingin di negeri awan.  Semenjak pulang dari ruang perawatan, ayah membawaku pindah ke gubuk asing di atas bukit berhutan. Udara di sini sejuk bersih yang membuatku mungkin panjang umur.
“ayok masuk,,sudah gelap!” ayah berteriak dari dalam rumah. Aku menoleh sebentar ke sumber suara, mengangguk. Saat aku memandang ke depan lagi, anak-anak itu menghilang begitu saja, entah mereka pulang kemana.
Aku meringsik masuk. Semilir angin petang sempat membelai raga sebelum pintu rumah aku tutup rapat.
“Ayah…apakah tempat ini dekat pemukiman?” tanyaku seraya duduk di sofa dekat perapian yang setia menyala dan memberikan kehangatannya.
“tidak, rumah warga berjarak tiga jam dari sini. Apa ada sesuatu?” nada khawatir ayah muncul lagi, dia menatap cemas kearahku.
“tidak ada apa-apa kok…” aku menggeleng menyangkal menyilangkan kedua tanganku dan dibumbui senyuman untuk menghilangkan kerisauannya.
“lalu siapa anak-anak kecil tadi?” wajahku mengerut, memikirkan berbagai kemungkinan cara tiga anak itu muncul di padang ilalang.
“alien?” aku tiba-tiba berdiri sembari kedua telapak tanganku menutup mulut yang menganga terkejut.
“tidak…tidak…tidak mungkin!. Tubuh mereka tidak hijau, tidak ada antena pula. Tangannya dua, kakinya dua. Bahkan mereka memakai pakaian seperti aku” suaraku pelan parau. Sibuk sendiri dengan imajinasiku yang teramat jauh.
“buang pikiran anehmu itu, cepat makan sini!”, Ayah seolah bisa membaca otakku, ternyata dia mengamatiku sedari tadi. Khayalanku tidak kalah unik dengan bentuk tubuhku yang mengerikan.
“ayah, mengapa kita harus tinggal di atas bukit hutan ini? bahkan  Aku tidak satu spesies dengan Edward Cullen” keluhku. Ini mungkin desahanku yang seratus kali aku lontarkan pada ayah sejak sebulan kami ditempat ini.
“karena udara di sini bagus untukmu, sayang” ayah merentangkan tangannya sambil mengambil oksigen dan menghembuskan nafas. Akupun iseng mengikuti cara ayah dengan cekikikan, terlihat sangat lucu ekspresi ayah dengan mulutnya yang sengaja di moncongkan.
***
Ayah berangkat ke kota, persediaan makanan kami hampir habis. Aku duduk termangu di dekat jendela kamar yang terbuka. Ilalang yang melenggok-lenggok karena terpaan angin merupakan hiburan tersendiri di tempat sunyi ini. Aku tidak takut sendirian, karena aku sudah terbiasa sepi.
Aku mulai meniru gaya ayah yang tadi malam. Kedua tangan aku rentangkan dan menikmati udara yang segar dan bersih.
“benar apa yang dikatakan ayah” batinku. Aku tersenyum, ayah memang tidak pernah berdusta kepadaku. Sekarang aku mengerti, mengapa ayah menempatkanku di titik ini.
Aku merasakan aliran darahku. Entah mungkin perasaanku saja, tapi aku menghayati setiap desirannya mengalir ke seluruh tubuhku. Jantungku dapat jatah juga, “terimakasih tuhan, terima kasih ayah, terima kasih darah” gumamku ceria.
“ayas !, ayas !” suara desahan menyebut namaku, membuyarkan konsentrasi.
Aku terperangah, menoleh kesana kemari mencari sumber bunyi itu. seperti suara seorang wanita paruh baya.
Suara panggilan itu makin jelas tertangkap telingaku. Keberanianku tidak menciut. Aku melangkah keluar rumah, merambah ilalang-ilalang yang tingginya hampir sama dengan dadaku. Aku berjalan terseok-seok, mataku sibuk bergerak mengawasi sekitar, dan saat aku menyibak ilalang terakhir, aku tersentak, penglihatanku terbelalak, kedap kedip tanpa berhenti. Aku terkulai, kakiku yang rapuh terlemas tak mampu menopang badanku yang ringan. Aku sangat jauh terseret sampai ke tepian sabana.
Hamparan kunang-kunang melayang terbang di depan mataku, Sungguh indah. Mereka menyala warna warni, menari di angkasa bagai menyambut kedatanganku.
“Ayas anakku, selamat datang!” seru anggun penuh kharismatik. Seorang bak puteri dengan gaun putih terurai meraih tanganku yang mengkerut.
“Ibu…ibu…ibu!. Aku sudah lama menantimu!” kataku lirih. Ibuku tersenyum hangat menyambutku dengan pelukannya. Dia membelai sayang kepalaku yang tak berambut dan mencium keningku yang bertulang.
“Ayas, dengarkan baik-baik apa yang akan ibu sampaikan!. Kamu adalah anak ibu yang paling gagah di dunia ini. Ibu bangga melahirkanmu. Bertahanlah dengan ujian yang tuhan berikan untukmu karena tuhan tahu kamu akan mampu menghadapinya. Jangan pernah menyerah dengan hidupmu, karena itu terlalu berharga untuk dihabisi dengan penyesalan. Berjanjilah demi ibu dan ayahmu!” bisik ibu ditelingaku.
Aku mengangguk tak mampu berkata-kata. Air mataku terlampau tumpah membungkam mulutku untuk terbuka. Kemudian serasa tangan mungil menyentuhku dari belakang. Aku menoleh, mereka anak-anak seumurku yang bermain di padang ilalang. Mereka tersenyum kepadaku, dan berlarian kembali di tengah kunang-kunang yang berhamburan.
“siapa mereka ibu?”
Ibu memandangi ketiga anak itu penuh kasih sayang, “itu kamu sayang!. Lihatlah yang satu itu, dia sik ceria selalu tersenyum walau dia kesakitan. Yang kedua, dia sik penurut. Dia anak yang patuh, tidak pernah membangkang dan taat pada ayahnya. Dan terakhir yang ketiga, dia sik ganteng. Ganteng hatinya, tidak sombong dan suka menolong” gumam ibuku bangga, menunjuk satu persatu.
Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa mereka adalah aku, sedangkan aku tidak mirip mereka. Mimikku mengernyit bingung dengan penjelasan ibu.
Ibu menatapku senang melihat setumpuk keheranan di wajahku. Dia terduduk dan mensejajarkan diri dengan tinggiku sambil mengusap-usap kedua lenganku.
“Ayas sayang, hiduplah bahagia anakku!. Maafkan ibu tidak bisa berada disampingmu” ucapan terakhir ibuku. Sosoknya memudar transparan, kemudian menghilang dihadapanku. Begitupun dengan ketiga anak itu, lenyap tak berbekas.
“ibuuuuu…!” teriakku. Tangan kecilku sibuk menghempas-hempaskan udara mencari raganya. Aku tersedu, menangis merindukannya.
“yas, Ayas…!” ayah mengguncang halus tubuhku. Aku tersadar, kucuran peluh membasahi tubuhku. Nafasku tersengal-sengal, sangat kelelahan. Air mataku luruh merintih.
Ayah segera menenangkanku “tidak apa-apa, itu hanya mimpi, sayang!” ujar ayah. Ayah memelukku, mengusap-usap punggung dan kepala botakku. Aku memegang ayah erat. Membenamkan tubuh mungilku dalam rangkulannya.
Sejak mimpi itu, aku rajin berobat walau pada kenyataannya sia-sia. Selalu tersenyum di depan ayah, tidak menampakkan kesakitan yang sebenarnya progeria ini menjalar di tubuhku. Dan sebagai laki-laki yang beranjak remaja, aku mulai memperhatikan penampilan yang tak akan tampak di depan kaum hawa.
***
“ayah, aku ngantuk. Bisakah ayah menggendongku?” pintaku lesu. Tubuhku bagai remuk rasanya. Persendian dan tulangku sudah terasa berpisah dari penyatuannya.
Ayah menaruhku di punggungnya. dia berdendang untukku. Ini pertama kalinya aku mendengar ayah bernyanyi, merdu sekali membuatku terlelap, tidur dengan tenang. Suara ayah perlahan menjauh dari pendengaranku, terdengar samar meski tidak menghilang.
“sayang, Ayas sayang…bangun!, kita pergi jalan-jalan yuk…!, cuaca hari ini benar-benar cerah” ucap ayah parau. Tubuh ayah gemetar, aku merasakan ketakutannya kehilangan diriku.
“ayah, aku menyayangimu” suaraku melemah seperti berbisik. Aku terkulai, peganganku melemas.
Air mata ayah tidak terbendung lagi, luruh mengalir tiada henti. Dia masih berdiri menggendongku dan melanjutkan nada lagunya yang merintih.
***
Ayah, terimakasih atas semua pengorbananmu. Engkau menghabiskan sisa mudamu karena hasratku untuk hidup yang sangat tinggi semata-mata karena diriku yang terbuang. Aku begitu menyusahkan, bukan?. Aku hanya bisa hidup tanpa tahu kesulitan yang engkau hadapi. Aku tersenyum di atas air matamu yang mengalir. Aku berpikir, apa yang pernah aku lakukan untukmu, ayah?. tidak ada yang aku perbuat. Aku hanya beban berat yang selalu engkau pikul.
Ayah, aku bahagia hidup bersamamu. Aku terharu bertemu Ibu meskipun dalam mimpi singkatku. Aku senang memandang bayanganku yang sempurna di khayalanku. Ayah, aku bangga memilikimu.
Mari kita hidup bahagia!, hapus pilu dan kepedihanmu. Ayah, Ayas akan bertahan untuk menempati janji agar tetap disampingmu. Aku akan berusaha melawan progeria ini. walau mereka  terlalu ganas untuk kutaklukkan. Meski Setiap detik tanpa ampun mereka menyerang seluruh tubuhku. Tapi Antibodiku tak akan menyerah tanpa syarat.
Ayah, I love you,,!!
The end
Mataram, 16 september 2013
Penulis. Jang Yiq



.




Sabtu, 05 Oktober 2013

JERAWAT

Diposting oleh mongyimongyi di 09.12 3 komentar

“tidak!” teriakanku menggelegar di pagi buta. Sontak seisi rumah menghampiri kamarku tergopoh-gopoh. Pintu kamar di dobrak. Ayah, ibu dan abangku yang katanya paling ganteng seantero kompleks RSS (Rumah Sangat Sederhana) melotot kearahku yang sedang mematut cemberut di depan cermin.
Aku menunjuk jerawat besar dipipiku, masih dengan mimik jengkel. Ayah dan mamaku berbarengan menghela nafas, geleng-geleng heran dengan frustatsiku karena bisul menyebalkan itu. Abangku yang jahil berulah “wah, bengkaknya besar banget. Plak…” tanpa ampun telapak tangannya mampir dipipiku. Aku yang tanpa antisipasi mengerang kesakitan. Berguling-guling di lantai menahan tamparan mematikan. Tidak ada saksi atas penganiayan ini. Mama dan ayah sudah berlalu sedari tadi. Sedangkan abangku, sebagai pelaku kejahatan cekikikan menonton penderitaanku.
“awas, akan kubalas!” ucapku penuh dendam, tetap memegang pipi yang mulai memerah. Kuakui memang wajahku tidak mulus-mulus amat. Tapi setidaknya tidak pernah muncul jerawat sebesar ini dimukaku yang cukup terawat.
“bisul sekecil itu, hebohnya gak ketulungan!” gerutunya. Abangku yang paling usil sedunia melenggang bebas keluar kamarku tanpa peradilan. Sungguh sadis, tidak ada rasa penyesalan tergurat diwajahnya. Abangku menganggap jerawatku kecil, tapi bagiku itu sudah terlampau besar dihitung dari tingkatan penyakit bisul.
***
Pagi ini, aku terpaksa satu mobil dengan sang terdakwa, gara-gara mama dan ayah pergi reunian. Perjalanan ke sekolah terasa sangat lama.Padahal kalau diantar mama cukup 15 menit saja sudah sampai. Aku membisu di balik masker wajah penutup bisulku. Abangku malah tersenyum geli melihat marahku yang tak kunjung mereda.
“kecantikan itu tidak seluruhnya dinilai dari luar. Inner beauty itulah yang terpenting. Jadi, jerawat seimprit gitu enggak akan menghalangi laki-laki terpesona kalau tingkah lakumu indah” ceramah abangku, lekas memegang kepalaku yang berjilbab. Aku melihat segudang perhatiannya kepadaku, adik manja satu-satunya.
Sampai  sekolah, ramai teman-temanku bergerombolan didepan mading. Mereka berbisik-bisik sesekali tertawa kegirangan. Barang ada sesuatu yang lucu dan menarik perhatian mereka. Karena tidak biasanya mading itu dikerumuni seperti halnya kantin sekolah. Aku menerobos kedepan dan terpampang nyata poster “seminar kecantikan produk Korea, facial gratis, jerawat out!”. Mataku terperangah tak berkedap kedip membaca setiap detail isi poster. Tidak terlupakan, waktu dan tempat sudah ku simpan rapi-rapi didalam otak.
 “Aku harus ikut, pokoknya harus. Tidak ada yang bisa menghalangiku termasuk abang!” batinku bersemangat. Hanya dengan secarcik kata di poster, hilanglah kejengkelanku yang tadi pagi. Aku melenggang santai melewati koridor, menebar senyum tersembunyi ke sekitar menuju ke ruang kelas.
***
Hari yang dinanti tiba. Bertepatan dengan libur mingguan sekolah. Pagi sekali aku sudah berdandan rapi. Jerawat yang ditepuk abangku kian membengkak, bahkan sudah masuk fase bernanah.
facial, facial, goodbye jerawat!” suaraku bergembira. aku jingkrak-jingkrak kegirangan, mengendap melewati ruang keluarga yang sedang ramai. Ayah dan abangku sedang asyik bermain halma dan ibuku berisik dengan suara gossip pagi yang tidak pernah tertinggalkan.
Teman-teman seperjuanganku sudah menunggu depan pagar. Tanpa mengantongi ijin keluar rumah, aku melesat bagai angin, tak terdengar dan tak terlihat. Serta merta langsung mobil tumpangan ngebut menuju target.
Seminar dimulai. Sangat bersemangat aku mengikuti dan mencatat tips-tips agar berwajah kinclong ala bintang Korea. Mulai dari rajin minum air putih tiap hari, makan apel hijau setiap pagi, hindari makanan berlemak dan tentunya rajin-rajin menyambangi salon untuk berfacial ria.
“memang butuh perjuangan untuk mendapatkan wajah impian seperti Song Hae Kyeo” gumamku seraya mengelus-elus mukaku yang rada kasar.
Seminar usai, waktunya facial gratis. Semua peserta berhamburan, berebut ingin dipermak. Aku tidak mau kalah. Aksi beringasku keluar menembus pagar betis yang panitia pasang. Aku melupakan teman-temanku demi nomor urut terdepan. Usahaku tidak percuma, nomor 17 sekarang sudah ada di kantong. Aku tertawa nyengir melihat teman-teman senasibku berada di barisan paling bontot.
Satu persatu peserta bergiliran masuk sesuai nomor antrian. Jantungku  dag dig dug senang menunggu saat namaku akan dikumandangkan. Betisku yang sudah menjerit kesakitan tak terdengar oleh otakku untuk duduk istirahat.
“Alma salsabila!” panggil panitia lantang. Aku bergegas maju dengan suasana hati yang tak tergambar. Seorang perempuan 30 tahun-an menungguku dengan senyum merekah. Berbagai ramuan kecantikan merek x sudah tertata rapi di tempatnya. Gosipnya, asli didatangkan dari korea.
“silakan duduk mbak!, saya akan segera memulai perawatan mukanya” sapa perempuan itu sambil menunjukkan kursi khusus khas salon kecantikan.
Aku sok malu-malu, padahal dalam hatiku sudah tidak sabar menerawang hasilnya. Setelah duduk nyaman, aku sedikit melirik ke botol kemasaan itu, made in korea. Aku semakin sumringah. Akhirnya tercapai keinginanku yang membara. Bertampang mulus bagai porselin.
Layaknya percontohan kaum atas, menghabiskan jutaan rupiah untuk sekedar memoles muka. Aku duduk rileks, menikmati setiap inci pijatan dimukaku. Bisul yang menempel digosok-gosok sampai rata membuatku sedikit mengaduh. Tidak apa-apa bersakit-sakit dahulu pikirku. Jatah setengah jam membuatku ketagihan. Polesan terakhir, wajahku di semprot-semprot cairan bening seperti yang pernah aku saksikan di drama-drama korea. Entah cairan apa itu, namun sejuk menembus pori-pori parasku yang mulai bersinar.
Aku pulang berbunga-bunga seraya membayangkan tatapan silau mama, ayah, dan abangku. Di perjalanan menuju rumah, tiada henti aku berfoto di ponsel jadulku. Membandingkan sosok lamaku dengan figur baruku yang berkilau. Jendela metro mini tak pelak jadi tempat berkaca. Kalau diterka, mukaku jauh lebih jernih.
“senangnya, pasti aku akan menjadi pusat perhatian besok disekolah” seruku narsis, sekiranya melupakan kawan-kawanku yang teler masih menunggu antrian.
***
oh my god!” suara abangku melengking, membuatku terbangun sebelum azan subuh berkumandang. Jarum wekerku tengah merangkak di angka empat, masih lumayan jauh dari bilangan lima lebih lima belas.
Aku meringsuk malas,  Merengek-rengek, menendang-nendang selimut dan boneka-boneka diatas kasur. Tidak rela terjaga di waktu sedini ini. Aku menatap abang nanar walau mataku berat untuk terbuka. Namun, rautnya terbilang aneh. Tidak tergelak maupun terkekeh seperti biasa. Dia terperangah dengan mulut menganga shock bagai bersua hantu suster ngesot. Aku jadi merinding, gusar melirik ke sekitar. Abangku mengarahkan telunjuknya ke wajah  koreaku kemudian terbirit-birit menghindar.
Aku mengangguk mengerti, senyumku melebar jumawa “abangku saja terpesona” batinku bergejolak. Kantukku tiba-tiba sirna, aku beranjak gemulai menuju meja rias.
“mama!” suaraku berdengking memenuhi rumah. Wajahku membengkak merah, seperti terserang lebah. Aku meraba-raba muka impianku yang berubah menjadi boomerang. Terasa kesemutan yang cukup menyakitkan hati dan ragaku. Seketika lenyaplah  khayalanku menjadi gadis tenar di sekolah. Aku meraung-raung terisak. Abangku diam-diam kembali mendekat dan memelukku ikut prihatin.
Seminggu berlalu, bengkak tak kunjung menyingkir dari wajahku. Satu pekan pula aku terpaksa absen di sekolah. Kerjaanku uring-uringan meratapi nasibku yang sial. Teman-temanku menuntut akan datang membesukku, tapi bahkan bayangannya pun tak terlintas. Di satu sisi, aku bersyukur juga mereka membatalkan rencana paksaannya, mau disembunyikan dimana mukaku yang berantakan ini. Tapi di pihak lain, kemalangan menantiku. Pasti di kelas sudah beredar gossip tentangku yang tidak karuan.
“produk kecantikan itu perlu keserasian dengan kulit kita. Bisa saja ada gejala alergi, Walaupun itu buatan korea. Contohnya adik, mukanya sampai tembem begitu” jelas mamaku enteng seolah tidak ikut bersimpati.
“jangan  terlalu berambisi secantik artis-artis korea. Coba pikirkan, langit tropis dengan iklim empat musim. Tentu kulit kita pasti berbeda!. Be yourself, dek!, makanya kalau suka sesuatu jangan sampai seekstrim begitu, yang biasa-biasa sajalah…” kata abangku bijak memperingatkanku.
Aku merasa beruntung. Untuk pertama kalinya berterimakasih pada Tuhan dianugrahi kakak. Dibalik kejahilannya selama ini, abangku diam-diam melindungiku. Aku tersipu, pengaruh drama korea yang aku tonton setiap hari tanpa absen, begitu besar menempel disanubariku. Paras ayu Song Hae Kyeo merebak diotakku, membuatku lupa diri. Padahal Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dan rupa. Seharusya aku bersyukur dikaruniai wajah tanpa cacat.
***
Kulit wajahku kembali seperti sedia kala. Aku sudah bertekad tidak akan tergiur lagi pada iklan produk kecantikan korea. Bahkan kiblat dramaku berubah ke Negara matahari terbit yang terkenal cantik alami.
Sampai di depan gerbang sekolah, gelaran tikar membentang. Tapi ternampak sepi, hanya tiga empat siswa yang mendekat. Kembali perasaan ingin tahuku menyeret untuk merapat. Namun aku berusaha menuruti kata hatiku yang masih berpaku pada tekad. Tapi ujung-ujungnya azamku terkalahkan. Perlahan namun pasti, kakiku meminta untuk ikut nimbrung. Sejengkal demi sejengkal langkahku bergerak dan tepat berdiam di depan tumpukan kosmetik bermerek terkenal yang sering tersiar di televisi.
Instingku mulai ngelantur dan diamini oleh mata dan tanganku untuk bergerak memilih dan memilah mana yang sekiranya sesuai dengan kulit khatulistiwaku. Aku tercekat, mata dan tanganku kompak, terkesima dengan botol berbandrol “KS III”, Brand bermutu made in japan. Bagai ada seseorang yang berbisik ditelingaku “jika kamu memakainya, kau akan secantik Kyoko Fukada”. Ragaku tersentak, tergurat senyum jahatku dan aku mengangguk pasti akan membelinya.



 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea