Selasa, 20 Mei 2014

Sigi menjemput Sigit bag. 4

Diposting oleh mongyimongyi di 10.26 2 komentar


penuli : Jang Yiq
Cerita singkat bag.3
Sigi sukses menjalani operasi pengangkatan kanker di lambungnya tanpa harus kemoterapi untuk membunuh sel-sel yang mungkin saja bisa menyebar kembali.  Kini, Kinan dan orang tuanya bisa bernapas lega, Sigi masih diberikan kesempatan kedua oleh Allah untuk menjadi insan yang lebih baik lagi.

Sigit menerima biodata keempat dari murrabinya. Seorang dokter yang pintar nan cantik bernama Yuli Evanti. Murrabi merekomendasikan akhwat terbaik menurutnya, meski usianya terpaut tiga tahun lebih tua dari Sigit. Kali ini, Sigit benar-benar mempertimbangkannya, walau Sigi sudah memenuhi relung hatinya. Sigit berusaha bersikap adil. Memperhitungkan akhwat yang sudah ada digenggamannya atau mengedepankan perasaannya yang mungkin hanya sesaat. Siapalah Sigi, Sigit pun belum mengenal gadis yang ditolongnya itu. 

***
Seminggu berlalu...

Sigit terduduk tenang, padahal sedang berdebar hebat. Tidak pernah dia bayangkan, hatinya akan segemuruh ini berhadapan dengan akhwat yang akhir-akhir ini dia pandang dari selembar foto saja. Ternyata, aslinya lebih cantik dan terkesan sangat matang. Yuli Evanti, begitu ayu nan anggun dengan sikap malu-malunya. 

“Ayo... Monggo dimulai ta’arufnya[1],” ucap murrabi Sigit yang diketahui bernama pak Salihuddin. Murrabi selaku jembatan penghubung dua insan ini mulai mengarahkan mereka ke pokok permasalahannya. 

Sigit masih terdiam, bingung harus mengawalinya darimana. Biasanya, berkenalan pasti akan tanya nama, alamat, pekerjaan, pendidikan. Semua itu, Sigit sudah mengetahuinya melalui biodata. 

“Boleh ana[2] yang bertanya duluan?” suara lembut nan syahdu itu terdengar. Yuli Evanti berinisiatif membuka percakapan. Dia mengangkat wajahnya dan berani beradu pandang dengan Sigit. Sigit salah tingkah mendadak disorot oleh dua mata sayup itu. Terpancar aura sangat kuat yang mungkin bisa menariknya masuk lebih dalam. Tapi inilah perkenalan, tidak boleh menghindar untuk mengetahui keperibadian satu sama lain. Cara yang paling islami demi secercah bahtera kehidupan bersama di masa mendatang. Sigit menyingkirkan rasa canggungnya. Dia menegapkan posisinya yang tidak pernah bengkok dari awal.

“Silakan, ukhti[3]...” jawab Sigit, mengatur nadanya agar terkesan berwibawa. Dia ingin terlihat sempurna di mata perempuan asing dihadapannya itu.

“Apakah antum siap menjadi imam ana?” tanya Yuli tegas, namun tidak menghilangkan kesan karismatiknya. Tidak ada sedikit kegentaran dalam dirinya. 

Sigit membaca, pasti ini bukan pertama atau kedua kalinya dia menghadapi situasi seperti ini, sangat berpengalaman batin Sigit. 

“Apakah anti juga siap menjadi pendamping ana? Layaknya Siti Khadijah yang setia disamping Rasullulah?” Sigit bertanya balik seolah akan menguji kecerdasaan akhwat yang bergelar dokter ini. 
“Jika antum menginginkan seseorang seperti Siti Khadijah, afwan[4] bukan ana orangnya. Istri Rasullulah adalah manusia yang namanya sudah terjamin masuk syurga. Ana perempuan biasa yang menginginkan seorang suami yang akan mengantarkan hamba pada keridhaan-Nya,” timpal Yuli mantap, terlontar lantang tanpa sedikit keraguan dengan jawaban itu.
Sigit terkesiap, akhwat ini sungguh membuatnya takjub. Kini, hatinya membenarkan apa yang dikatakan murrabinya, dia adalah akhwat terbaik yang ditawarkan untuknya. 

“Bagaimana, Git?” pak Salihuddin memecah kebisuan Sigit. Sigit melirik murrabinya yang penuh senyum kemenangan. Setelah beberapa biodata ditolak, hari ini Sigit dibuat tak berdaya menghindari akhwat yang mungkin Allah ciptakan untuknya. Akan tetapi, Sigit tidak mau menyerah terlalu dini, mengakui dan mengatakan “iya” terlalu cepat. Dia mau menggali lebih banyak lagi pengetahuan akhwat ini.
Sigit jangan main-main, kasihan akhwatnya itu...^-^

“Trrrriiiilllliiitt...Trrriiillliiittt...” bunyi ponsel butut Sigit memecah suasana. Sigit lupa untuk mensilentnya. Terpampang nama abi dilayar. Dia permisi buru-buru untuk mengangkat, karena abi tidak akan repot-repot menghubunginya kalau tidak dalam keadaan genting.

“Assalamu’alaikum, bi...” tukas Sigit agak resah. Pasti terjadi apa-apa yang membuat abinya kewalahan. 

“Andien jatuh dari tangga villa, Git. Sekarang abi sedang menuju rumah sakit. Ummi-mu pergi ngisi pengajian dan belum pulang. Kalau bisa, secepatnya kamu nyusul ke sini!” suara abi diseberang terdengar gusar. Abi menutup teleponnya, sepertinya dia sekarang  berada di atas mobil ambulance.

“Villa? Sekarang abi sedang di Bogor?” pekik Sigit kaget.

“Kapan abi dan ummi ke Bogor? Tadi pagi mereka tidak bilang apa-apa padaku,” Sigit berbicara pada dirinya sendiri.

Sigit menghampiri tempatnya duduk tadi. Dia terlihat lesu dengan mukanya yang memucat. “Afwan, ana mohon diri pamit. Tadi abi menelpon, ada sesuatu yang sangat mendesak dan ana harus segera menyusul abi. Sekali lagi, afwan.” Lirih Sigit, tanpa mendengar persetujuan murrabi dan Yuli, Sigit segera berlalu, lari tak melihat ke belakang lagi. Adik kesayangannya, satu-satunya, sekarang sedang kesakitan. Tubuh semungil itu sudah menanggung sakit yang teramat untuk anak seusianya.

Pak Salihuddin sepertinya paham apa yang lagi terjadi. Sigit tidak akan bertindak seperti itu kalau bukan tidak menyangkut keluarganya. Sedangkan Yuli, bengong menatap Sigit menjauh dan menghilang dari penglihatannya. Sangat tidak sopan, seseorang meninggalkan sebuah percakapan tanpa alasan yang jelas batin Yuli  kesal.

“Afwan, Nak. Bapak mengenal Sigit sangat baik. Dia tidak pernah bertindak sembarangan. Bapak mengira ada sesuatu yang harus dia selesaikan.” Terang murrabi Sigit dengan hati-hati. Dia mengerti, bagaimana perasaan seorang gadis yang ditinggal pergi di tengah perkenalan resmi. 

Yuli mengangguk pelan, memaklumi. Namun sesungguhnya tersirat kekecewaan mendalam, “Akankah ini penolakan lagi? Ya Allah, rasanya aku sudah menyukainya.” sungut Yuli dalam hatinya yang perih, berharap Sigit tidak masuk dalam daftar panjang nama ikhwan yang pernah mengabaikannya.

***
Sigi bersandar dipembaringan, masih di kamar rawat VIP-nya. Proses pemulihan masih berlangsung, dokter Fahri belum mengijinkannya meninggalkan rumah sakit. Semenjak bangun dari pingsannya, dua hari setelah pengangkatan kanker, Sunggingan senyum menghiasi bibirnya. Dia terus memperhatikan benda yang selalu nempel ditangannya. Buket bunga mawar yang sudah layu dan secarcik kartu nama bertuliskan Sigit Pratama. Kinan memberikannya sebagai kejutan saat dia membuka mata. Kinan menceritakan semua peristiwa yang terjadi, bagaimana paniknya Sigit dan membopongnya, memberikan kartu namanya, sampai menitipkan sebuket bunga yang membuat Sigi sangat tersanjung, berasa istimewa.
istimewa, katanya Cherrybelle..^0^

Kinan memperhatikan Sigi sesaat memasuki ruangan , dia baru kembali dari kampusnya, kuliah perdana setelah sekian hari setia menjaga Sigi. Kinan tersenyum-senyum melirik kartu nama di tangan kanan Sigi. Ingatannya melambung saat Sigit begitu panik dan menyodorkannya sepotong kertas mungil itu. Kinan sengaja tidak menghubungi Sigit dan memberitahukan kalau Sigi sudah membaik. Dia menaruh harap, suatu hari nanti Sigit-lah yang akan datang menjemput Sigi. Dan bunga mawar itu, meski akan mengering, nampak begitu indah di mata Sigi. Kemarin-kemarin, tante Dewi pernah akan membuangnya, karena sudah mulai kecoklatan dan tidak enak dipandang. Kinan bersusah payah mempertahankan mawar itu dipotnya, di meja kecil samping ranjang. Kinan berkilah, itu adalah sesuatu yang berharga untuk Sigi.

“Belum bosan juga melototin terus itu benda!” ejek Kinan semakin mendekat ke sisi Sigi. Dia memegang pipi Sigi yang berona merah. Salah tingkah, Sigi cekatan merengkuh Kinan, “Terima kasih atas hadiahnya,” bisik Sigi cekikikan. 

“Maksudnya? Itu bukan dari aku, lho!” Kinan mencubit lembut telinga Sigi, gereget melihat tingkah Sigi yang mulai kasmaran. Sigi menggeliat kegelian, daerah telinganya terlalu sensitif untuk di sentuh.
 
“Aduhhh...” erang Sigi mengaduh kesakitan sambil memegang lambungnya, karena bergerak banyak belum bisa di terima oleh perutnya yang terjahit.

“Maaf...” sungut Kinan terkesiap seraya menampakkan muka penuh sesal. Dia membelai rambut Sigi untuk menenangkan. Sigi terenyuh merasakan sentuhan kasih sayang sahabatnya itu. dia kembali memeluk Kinan tanpa menanggalkan buket dan kartu nama itu.
Manisnya persahabatan ini, semanis madu asli sumbawa, hehe... ^0^

***
Bangunan megah rumah sakit Harapan Bangsa menyambut kedatangan Sigit. Tergopoh-gopoh Sigit menyisir bangsal matahri bernomer 327, tempat Andien di rawat sekarang. Ruangan itu terletak di ujung lorong. Sebelum masuk, Sigit mengatur titme jantungnya, mengusir peluhnya, merapikan rambut, pakaian dan kacamatanya, seolah ingin menghadap seorang calon mertua. Dia mengetuk pelan daun pintu, dan membukanya penuh penghayatan sembari mengucapkan salam signyal seorang muslim. Sigit menjinjing kakinya pelan, menghadap abi yang sendirian meratap pilu tubuh kecil Andien yang terkapar lemah. Andien nampak bagai robot, mulutnya menganga dengan selang endotracheal yang memancang tegak ditengah rongga, kepalanya tertempel pengontrol fungsi otak, dan dadanya dipasang alat pemantau kerja jantung. 
sungguh ngeri...^0^

“Abi…” lirih Sigit memegang pundak ayahnya. Abi mengusap tangan Sigit dan memberikan isyarat untuk duduk disebelahnya. Air mata abi meleleh. Ini pertama kalinya abi menangis di depan Sigit, membuat hati Sigit getir. Sigit melihat sisi lain ayahnya. Seorang ayah yang selama ini tangguh menjelma menjadi rapuh. Ingin Sigit ikut memikul kegundahan abi, namun Sigit harus menjadi kayu yang kokoh sebagai penopang.

“Ini salah abi. Ummi sudah melarang  tapi abi yang ngotot bawa Andien ke sini. Seandainya abi mendengarkan ummi…,” abi menyeselai perbuatannya sendiri.

“Istgifar abi! Ini bukan salah siap-siapa, memang takdir Allah yang membuat hari ini menjadi seperti ini,” ujar Sigit membesarkan hati abinya. Sigit mengelus-elus punggung abi, berusaha menenangkannya.

“Oya, ummi-mu segera menyusul kesini.” Lanjut abi dengan suara parau. Sigit mengangguk mengerti. Ummi-nya tipikal pendakwah yang tidak akan segera meninggalkan majelis taklim selama acaranya belum kelar dari tanggung jawabnya, apapun yang terjadi.

***
Tengah malam, bayangan berkelebat di kantin sepi rumah sakit. Dengan sangat hati-hati sosok itu memasuki ruang gelap itu. langkahnya bak maling, melompat selangkah demi selangkah. Dia kemudian ngeloyor ke bagian dapur. Disana lampu dinyalakan, terang, tapi temaram terlihat dari lobi utama. 

Sigit yang sekiranya sedang duduk-duduk menikmati air mancur di samping meja resepsionis, terpancing curiga dengan aksi aneh itu. Dia mendekat ke tempat paling ramai di saat perut gemercing minta untuk di isi. Dia membuka pintu kaca transparan yang memang tidak pernah terkunci. Sigit menyelinap masuk, rasa penasarannya menumbuhkan keberanian untuk menangkap basah orang itu. Derap kakinya semakin mendekati ke sumber sinar. Perlahan-lahan Sigit mengintip di balik pintu yang masih menganga, terperangah. Ternyata perempuan berhijab sedang memasak sesuatu. Aroma harumnya menyerbak masuk indra penciuman sigit. Tergambar makanan itu, apapun itu, pasti akan enak tercicip lidah.

“kruuukkk...” Sigit memegang perutnya yang berbunyi, ternganga dengan suaranya yang mungkin bisa terdengar oleh akhwat itu. Prasangka untuk menyergap hilang seketika. Tidak mungkin dia maling yang akan mencuri makanan kantin ini. Seorang yang paham agama, tahu betul bahwa mengambil sesuatu yang bukan haknya merupakan dosa yang tidak sepele. Sigit pelan-pelan menjauhi tempat itu. Saat langkahnya baru beberapa jarak dari pintu, seketika penerangan seluruh kantin bersinar, Sigit membatu, terpaku ditempat.

Stop!” suara itu terlalu lembut untuk membentak. Dia menodongkan benda tumpul di kepala Sigit. Tubuh Sigit kaku, nyalinya menciut. Dia mengangkat tangan tanda bendera putih berkibar. 

“Berlutut!” perintahnya lagi, sekarang ucapannya semakin tegas meski tersirat getaran takut. Benda tumpul itu berpindah menekam di bagian leher. Sigit menekuk lututnya, patuh dengan bentakan itu. Situasi bisa berbahaya jika bertingkah gegabah. Akhwat itu, berjalan maju, kini tepat berdiri di depan Sigit. Betapa terkagetnya, Sigit dan akhwat itu terperanjat menatap satu sama lain. 

Anti!” Sigit mendecak, tidak menyangka akhwat itu adalah perempuan yang menjerit minta tolong di depan kamar mandi wanita, di masjid, dulu.

“Ustadz Sigit!” pekik Kinan tak kalah terperangah. Dia serta merta melepaskan benda tumpul itu dari tangannya, menunduk melihat sendok nasi kayu itu tergeletak di lantai.

Af...wan.” Lanjut Kinan terbata-bata. Dia masih tidak percaya, segitu cepatnya Allah mengabulkan permintaannya. Kini, disini, Sigit datang, entah dia hadir dalam rangka apa, Kinan tidak peduli. Yang pasti, Sigit berada di rumah sakit ini, tempat Sigi dirawat.

“Ya Allah, apakah ini bagian dari sekenario-Mu?” tanya Kinan di tengah relung batinnya yang bersorai senang.

Sigit tersenyum simpul, tidak pernah membayangkan dia akan bersua lagi dengan akhwat ini. Ada seulas asa yang bercokol di palung hatinya yang terdalam, sebatas takdir perjumpaan kembali dengan akhwat yang sekiranya belum lama ini mengusik hidupnya. 

Kinan berdiri, kemudian beranjak pergi meninggalkan Sigit yang tetap berlutut, bengong, bingung tak sanggup berujar.

“Ya Allah, inikah petunjuk-Mu?” lubuk hati Sigit menderu. Ternyata harapan itu masih ada, walau hanya sekilas. 

***
Semangkuk bubur kacang ijo tersaji di hadapan Sigi. semuringah, Sigi mulai menyantapnya lahap. Sesendok demi sesendok dia kunyah penuh nikmat, enak sekali. Ditengah malam begini, Sigi sangat ingin memakan makanan itu. seperti orang ngidam yang berhasrat makan durian di musim kelengkeng, harus dipenuhi saat itu juga. Demi kesembuhan sohibnya, mau tidak mau, Kinan harus meminta ijin koki kepala untuk meminjamkan dapurnya barang malam ini saja. Alhasil, kendatipun seadanya, Sigi sangat menyukai bubur buatan Kinan. 

Kinan girang memperhatikan Sigi melahap semangkuk bubur kacang ijo itu sampai benar-benar habis. Dia mengambil mangkuk dan sendok itu dari tangan Sigi. Sigi mengerling, curiga, di tengah malam begini, Kinan masih terlihat segar bugar. 

“Terima kasih buburnya,” tukas Sigi manja. Kinan tertawa, gigi rapat putihnya tersibak, membuat Sigi semakin mengendus ada sesuatu yang tidak beres dengan sentimental ini.

“Sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan olehku? Jangan-jangan…” Sigi mulai melemparkan umpannya, menunjuk muka Kinan yang mulai memerah menahan tawanya. Sigi memasang Raut kecurigaan matang-matang, sasaran terkunci, tidak boleh terlepas. 

Kinan menciut memandang tatapan Sigi. Rasa tidak enak hatinya timbul, membuat Sigi penasaran, apalagi ini menyangkut diri Sigi sendiri. Sisi sentimental terlalu kuat melekat pada diri Kinan. Dia melemah, ingin membeberkan apa yang menimpanya tadi di dapur. Namun, Kali ini Kinan akan sedikit melawan dirinya, tetap kukuh tidak akan menceritakan kejadian tadi.

“Kalau Sigi tahu, tadi aku bertemu dengan ustadz Sigit, pasti, pasti, dia akan merengek untuk dipertemukan. Tidak… tidak… tidak… Sigi tidak boleh tahu kejadian malam ini. Tapi, kasihan Sigi, kerinduannya sudah teramat besar untuk di bendung. Tapi, ini tidak boleh. Biarkan jodoh yang mempertemukan mereka kembali dalam ikatan yang halal.” Pikiran Kinan bergejolak. Biarlah terjadi perang dalam batinnya, biarlah Sigi merasakan kecewa untuk saat ini, biarlah hanya Allah yang menjalankan sekenario-Nya dengan sempurna. 

***
Pagi hari, cerah dan hangat. Mentari serasa bersahabat sebelum siang menyinsing. Sigi menapaki taman atap rumah sakit. Taman yang di desain khusus untuk terapi pasien. Berjejeran bunga mawar dan krisan yang mewangi. Evorbia juga tumbuh di sudut-sudut petak. Rumput-rumput menjalar di tepian paping-paping. Di tengah terdapat kolam penuh ikan koi dengan air gemercik. Pohon cemara berdaun jarum tegap kokoh disamping kolam. Di bawah cemara, kursi kayu gantung, manis diperpaduannya. Taman itu masih sepi meski ini adalah spot yang paling tepat untuk menikmati jingga yang keluar dari peraduannnya. Sigi duduk santai menghirup udara yang sangat segar, membiarkan sinar menerpa wajahnya yang menirus. Kerudungnya terkibas angin sepoi. Dia mengencangkan sweternya, dingin. Tubuhnya yang masih kaku sangat membutuhkan hawa senja. Dokter Fahri menyarankan Sigi untuk melakukannya rutin tiap pagi, berjalan di bebatuan alam yang membentang mengelilingi taman.

Penantian adalah suatu ujian...
Tetapkanlah kuselalu dalam harapan...
Karena keimanan tak hanya diucapkan...
Adalah ketabahan menghadapi cobaan...

Bergema dari mulut Sigi, senandung bait nasyid dari grup vokal “Dans” yang diperkenalkan Kinan padanya, menyindir tanpa pengingkaran, menggambarkan penantiannya pada persona Sigit yang entah kapan akan berakhir. Kekagumannya saat pertama melihat bertransformasi menjadi bulir-bulir kasih di kalbu. Sigi merogoh sakunya, kartu nama itu kembali mengingat kenangan, menguak memori beberapa minggu lalu. Kian muncul hasrat untuk menghubungi nomer itu, tapi nasehat Kinan sudah terpatri diotaknya, “Biarkan pemilik tulang rusuk itu yang datang menjemput. Nikmatilah setiap detik penantian itu, seperti Fatimah yang diam-diam menunggu Ali tiba untuk melamarnya. Itulah cinta suci, cinta tanpa noda.” 

“Oh, bungaku!” Sigi tersadar, bunga mawar yang sudah tak putih lagi itu tertinggal dikamarnya. Tadi selesai tilawah, dia bersegera menuju taman, khawatir akan tertinggal sunrise. Dia bangkit dari duduknya, berjalan bermaksud mengambil bunga itu. Akan tetapi, mendadak langkahnya berhenti, Sigi terperenyak. Sigit ada dihadapannya, berdiri sembari menggendong seorang anak kecil, Andien. Sigit yang memang sudah hadir sedari tadi, tidak kalah terhenyak. Pertanyaannya yang tadi malam sangat cepat dijawab oleh Allah, surprise tak terduga. Peluh Sigit bercucuran di cuaca yang tak menyengat. Bagai tersambar petir di siang bolong, membuatnya membatu.

Tiba-tiba air mata Sigi menetes, terharu karena bertemu lagi, dan menangis karena tak disangka Sigit, laki-laki yang membuatnya takjub, sudah menjadi milik seseorang. Sigi merasa bodoh, menanti seseorang yang ternyata sudah tidak melajang. Sigi tidak mempertimbangkan, oh, mungkin itu adiknya, keponakannya, sepupunya, anak angkat atau anak orang lain. Kini yang ada dibenaknya dan membenarkan keyakinannya, Sigit sedang merangkul anak kandungnya sendiri, mirip sekali. Sigi berlari, menghindari Sigit yang masih mematung. Isakannya tertangkap telinga Sigit. Ingin sekali Sigit mengejar  dan bertanya, Sigi mengapa kamu menjauhiku? Ini aku, Sigit. Tidakkah kamu juga menanti kedatanganku sama sepertiku?. Sigit hanya memandang sampai sosok itu menghilang, tak kuasa mendekat apalagi untuk sekedar mengetahui isi hati Sigi. 

“Setidaknya aku sudah menemukanmu, Sigi.” desah Sigit, berbicara pada Andien yang menatapnya tersenyum. Kendatipun Andien tidak sepenuhnya mengerti, tapi seulas senyuman yang dia berikan untuk abangnya, bisa melegakan hati Sigit yang kalut. Sigit pun ikut tersenyum melihat sunggingan adiknya.

Bersambung...



[1] perkenalan
[2] saya
[3] Saudara perempuan (bahasa arab)
[4] Maaf

Rabu, 07 Mei 2014

Sigi menjemput Sigit bag.3

Diposting oleh mongyimongyi di 09.39 0 komentar


penulis : Jang Yiq
Cerita singkat bag.2
Sigi di vonis mengidap kanker lambung, membuat tante Dewi dan om Adam terhenyak menerima kenyataan yang mendadak itu. Sedangkan Kinan belum mengetahui kondisi Sigi. Dia sudah cukup terguncang dengan keadaan Sigi yang masih belum siuman. Bahkan dokter Fahri pun tidak menduga  secepat itu maag kronis Sigi berubah menjadi benjeolan ganas.

Bayangan Sigi menghantui Sigit sepanjang hari. Persitiwa tak terkira di ahad pagi itu, membentuk Sigi dalam pikiran dan mimpinya, seolah memiliki tempat tersendiri. Sigi membawa Sigit pada satu rasa baru dalam hidupnya, rasa suka, meski sesungguhnya Sigit belum menyadari sepenuhnya. 

***
Rumah sakit Harapan bangsa, pukul 01.00 am

Sigi kembali berbaring di kamar rawat, setelah selesai dilakukan scanning pada tubuhnya. Kinan tak sejengkalpun meninggalkannya kecuali untuk sholat. Dia tetap setia menunggu Sigi sampai matanya akan terbuka. Dia terus memperhatikan muka Sigi yang tak berekspresi. “Ayo, bangun! Kumohon...” jerit Kinan dalam hatinya seraya membenamkan wajahnya ke kasur Sigi, akan memasuki dini hari, mata Kinan tampak tidak lelah dan mengantuk. Staminanya, seolah di cahrger full semenjak pagi, untuk membuatnya bertahan sampai Sigi mau bangkit dari mimpi buruknya.

Pintu kamar terbuka. Rupanya tante Dewi, Om Adam, dan dokter Fahri. Tampak mimik mereka tidak wajar. Tante Dewi terlihat masih di topang om Adam. Mereka kemudian duduk di sofa panjang di sudut kanan ruangan. Kamar rawat nan mewah ini, memang sangat besar. Dilengkapi berbagai macam perkakas. Sofa, kulkas penuh makanan, TV, AC, kamar mandi pribadi, bahkan tempat tidur khusus pengunjung. Kinan tidak menyadari kedatangan tante Dewi, Om Adam, dan dokter Fahri. Dia tetap menundukkan kepalanya di samping badan Sigi.  
Pantas saja Kinan tidak berkutik...dia tertidur. Baterainya lobet…^0^

“Kalau, Sigi belum juga siuman, besok kita akan melakukan operasinya,” ujar dokter Fahri meyakinkan orangtua Sigi. 

“Ini, tidak bisa ditunda lagi. Aku minta persetujuan kalian.” lanjut dokter Fahri menyodorkan formulir persetujuan wali. Om Adam menandatangani surat itu, tanpa membacanya kembali, karena sudah sangat percaya pada dokter Fahri yang merupakan sahabatnya selama puluhan tahun. Om Adam tahu, Sigi sudah dianggap anaknya sendiri oleh dokter Fahri. Pasti dia akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Sigi. Tante Dewi Cuma mampu mengangguk-ngangguk sepakat dengan suaminya. Pita suaranya sudah berantakan untuk bisa menghasilkan bunyi. 

Dokter Fahri pamit. Dirasa seluruhnya sudah menemukan titik sepakat. “Semuanya akan  baik-baik saja. Jadi, tolong jangan khawatir!” harap dokter Fahri sebelum keluar dari ruangan itu. Sepertinya tante Dewi agak tenang dengan seruan itu. Dia mengusap-usap matanya yang sembap sembari menghampiri Kinan yang mendengkur. Om Adam, mohon diri pulang mengambil barang-barang Sigi yang diperlukan selama di rumah sakit. Sedangkan adik Sigi, di jaga baby sitter

“Nan...” suara lembut tante Dewi, dan sedikit sentuhan di pundak membuat Kinan tersentak. 

“Tante, bagaimana hasil pemeriksaannya?” Kinan serta merta menanyakan kegundahannya selama beberapa jam ini.

“Besok, Sigi akan di operasi,” lirih tante Dewi. 

“Operasi? Tante, sebenarnya Sigi sakit apa?” mata Kinan mulai berkaca-kaca, ditahannya untuk tidak tumpah. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk menimpa Sigi.

“Sigi, kanker lambung. Maag kronisnya memicu daging tumbuh pada alat pencernaanya. Itu, harus segera diangkat, Nan...” tante Dewi dengan hati-hati menjelaskannya. Dia cemas Kinan akan semakin terpuruk. 

“Aku percaya, Sigi bisa melewati cobaan ini, tante. Allah tidak akan membebani hambaNya melamapui batas kemampuannya.” tukas Kinan. Dia melanjutkan sekenario ketergarannya di depan mama Sigi. Sementara itu, hati kecilnya terdengar gaduh dengan jeritan tangisnya.

“Kamu jangan seperti Sigi, ya...Jaga kesehatan, atur pola makan, dan rajin-rajin berolahraga. Kamu sudah makan? Tante lapar...” cakap tante Dewi sambil beranjak mengambil makanan di dalam kulkas. Dia mengeluarkan sejumlah roti, biskuit, buah-buahan dan sebotol susu segar. Kinan, lekas menyerobot makanan di tangan tante Dewi yang kewalahan memegang semuanya. Bersemangat Kinan memakan santapan itu untuk membesarkan hati tante Dewi. Tante Dewi puas memperhatikan nafsu makan Kinan yang tidak berkurang kendati tertekan.

“Tante, boleh saya menginap malam ini? Saya mau berada disamping Sigi sampai dia terjaga. Tante, tenang saja, saya akan minta ijin pihak kampus, dan juga saya sudah memberitahu mama, pleasemohon Kinan di sela-sela makannya. Dia memasang muka memelas seraya menguncupkan kedua tangannya. Tante Dewi mesam-mesem geli setelah seharian ini diselubungi kesedihan. 
Ehh…Kinan bisa membuat sedikit sunggingan senyum di bibir tante Dewi. Hebat….kalah Sule. Tepuk tangan dong, buat Kinan!.

Kinan dan Sigi adalah dua sejoli yang sangat merekat. Bak di tempel lem Altekong, susah sekali untuk dipisahkan. Mereka berkarib sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. Bisa dibilang tidak terpisahkan sampai perguruan tinggi. Tumbuh bersama, dan memiliki banyak kesamaan. Hobi traveling, makanan favorite “Tahu Tek-Tek”, film kesukaan “Home Alone”, mereka berdua tidak berbeda. Namun prinsip dan penampilan jauh dari kata serupa. Tatkala memasuki kuliah, Kinan memilih menjadi pejuang dakwah kemudian menutup aurat, sedangkan Sigi memutuskan untuk menjadi anak media reportase yang tetap stylish dan gaul. Kendati berbeda jalur, tetap saja mereka bagai anak kembar siam. Selagi Kinan sibuk dengan agenda syuro[1] dan berbagai kegiataan religi, Sigi tidak pernah risih untuk meliput jalannya acara Kinan, lamun dipaksa mengenakan hijab ala-ala tengkorak. Bayangkan hijab yang hanya menutup kepala dan leher itu!. begitupun juga, momen Sigi untuk meliput banyak berita sebagai sebaris kata dan sepenggal kalimat di majalah kampus, Kinan senantiasa menolong biarpun sekadar sebagai editor kacang-kacangan. Semakin beranjak dewasa, tidak terhitung berapa banyak perselisihan yang terjadi. Mulai dari kesalahpahaman sampai perbedaan pendapat. Tapi acap kali berhasil mencapai kata sepakat. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, selama rasa empati itu masih menepel di jiwa dan raga. Namun satu hal yang tidak akan mereka perdebatkan, tipe suami ideal. Kinan, jelas akan berkiblat pada para ustadz hanif, maka Sigi sudah tentu akan condong ke para pria macho berwajah rupawan. Dan inilah persahabatan. Berbeda tapi tetap satu.  
Sahabat adalah seseorang yang ada di kala kau terjatuh dan hadir di setiap kau berbahagia. Sahabat adalah orang yang mampu mendengarkan lagu di dalam hatimu, dan ikut menyanyikan lagi saat kau lupa liriknya, Katanya Rons Imawan dalam bukunya “The fabulous Udin” , Mantap !!. selamat hari persahabatan!!! Emang ada? ^0^

***
Besok hari, Senin,  pukul 08.00 am

Sigi tetap memejamkan matanya. Tim dokter yang dipimpin dokter Fahri sudah siap akan melakukan operasi. Kembali Sigi harus dipindahkan dari kamar rawatnya. Sejumlah perawat mendorong ranjang Sigi untuk ditempatkan di ruang operasi. Kinan, tante Dewi, dan om Adam, harap-harap cemas mengikuti Sigi yang akan memasuki ruangan yang entah, tidak ada yang tahu, dia akan keluar dengan selamat atau hanya tinggal nama. 

“Kami minta doanya, semoga operasi ini berjalan lancar. Kami akan berusaha maksimal,” ucap dokter Fahri, sesaat sebelum memulai pembedahannya. Kinan, tante Dewi, dan Om Adam, menunggu di depan kamar maut itu. Kinan, duduk sayup, layaknya menunggu kedatangan mempelai pria. Dia lebih suka menyendiri, menunduk untuk menenangkan hatinya yang berkecamuk sembari terus berdoa tiada henti untu keselamatan soulmatenya itu. Tante Dewi dan om Adam saling berangkulan, bagai sepasang sahabat yang tegang menonton pertandingan bola.

Dua jam lewat, lampu merah di atas pintu ruang operasi masih menyala terang. Tiada rasa jemu menghampiri Kinan dan orangtua Sigi. Raut Kinan makin resah, terlalu lama menurutnya, cuma mengangkat sekutil kanker. Dia mulai mondar-mandir. Giliran tante Dewi, yang sudah mulai bisa mengontrol tangisnya, mendekati Kinan untuk menenangkannya. Memeluk Kinan yang masih memasakan diri untuk tegar. Di saat emosi mereka tidak menentu, lampu yang selalu dinanti kepadamannya, akhirnya menurut. Lampu merah itu redup. Dan lima menit kemudian, sosok dokter Fahri muncul dari balik pintu. Dengan gagahnya, dan senyuman merekah cukup sebagai penanda kalau pembedahannya berhasil. Kinan melelehkan air matanya yang selama ini disuruhnya membeku. Dia serta merta sujud syukur layaknya Evan Dimans dan kawan-kawan yang baru saja menjebol gawang lawan. Jebretttt!. Tante dewi dan om Adam merangkul bahagia dokter Fahri, sohib mereka. Mereka menghembuskan napas lega. Sebahagia tatkala TIMNAS U-19 Indonesia menang telak melawan TIMANS U-19 Korea Selatan. 
Kenapa dokter Fahri tidak akting seperti di sinetron-sinetron? Pura-pura pampang muka sedih, manyun, geleng-geleng kepala, gagal menyelamatkan peran utama. Dan kemudian, jingkrak-jingkrak senang, berhasil membuat sang keluarga berdebar-debar. Atau tokoh utama beneran mati, Dan beberapa episode selanjutnya, muncul pemeran lain yang mirip tokoh utama atau kembaran tokoh utama yang berpisah sejak bayi karena penculikanhohoho  ^0^

“Alhamdullilah, kankernya berhasil diangkat, dan kabar baiknya, Sigi tidak perlu menjalankan kemoterapi, karena sel-sel kankernya belum sempat menyebar. Untung benjolan itu dideteksi dini dan segera dilakukan operasi,” terang dokter Fahri sumringah. Kinan, tante Dewi, dan om Adam mengangguk-ngangguk tak mampu bercakap-cakap.

“Kami tetap akan mengontrol kondisi Sigi, sampai benar-benar pulih.” Lanjut dokter Fahri yang juga turut berbahagia.

Pagi itu, seakan semua beban terangkat. Ringan sekali perasaan mereka bertiga, sekarang. Tiada henti ucapan syukur mereka panjatkan. Sekarang sunggingan senyum tertulus itu kembali menghampiri bibir kinan setelah seharian kemarin, Kinan harus bersandiwara dengan senyuman palsu. 

“Terima kasih, ya…Allah…atas kesempatan kedua-Mu.” lirih Kinan dalam batinnya yang ramai dengan sorak sorai kegembiraan.

***
Pukul 16.00 pm di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia, Depok

Hembusan angin, lembut menerpa raga mereka. Kesejukan terpancar dari jejeran pohon-pohon menghijau di tepian danau. Air danau yang tenang, bening, menambah keelekon pemandangan asri masjid yang berada di tengah-tengah kampus itu. Sholat ashar berjamaah telah usai. Wajah-wajah berseri para jemaah meninggalkan masjid dengan tenang, dan ada yang memilih berdiam untuk sekadar istirahat sembari membaca buku atau kegiatan berguna lainnya. Sekawanan laki-laki bercelana di atas mata kaki tampak membentuk lingkaran di selasar masjid. Tepatnya enam orang sedang bersiap-siap akan memulai kajian rutin mereka setiap sekali seminggu. Terlihat Sigit hadir di tengah-tengah liqo’[2] itu. mereka barang waktu mengadakan pertemuan di rumah Allah itu. Murrabi mereka yang merupakan dosen bergelar profesor di UI, sering menganjurkan tempat itu.  
Memang tempatnya asyik, Coiii…Seandainya di tepian danau ini bukan masjid, mungkin sudah jadi tempat favorit kencan para mahasiswa-mahasiswi

Sembari menunggu kedatangan murrabi[3], acap kali celetukan-celetukan mewarnai ukhuwah[4] ini.
“Git, gimana acara ODOJ-nya, kemarin?” Fendi membuka pembicaraan. Anggota tertua sekaligus mas’ul[5] ini, memang selalu perhatian dengan kegiatan-kegiatan adik-adiknya, seolah dia juga melakukan evaluasi ruhiyah anggotanya. 
Memang harus begitu tugas seorang ketua!.
 
“Alhamdullilah, lancar, bang…” jawab Sigit mantap. Halaqoh[6] ini sangat berasa kekeluargaan. Tidak ada yang memanggil akhi[7] maupun antum[8]. Mereka membawa tata krama persaudaraan. Yang lebih tua dipanggil abang, yang muda cukup sebut nama atau ada embel-embel “dek…”.

“Bagaimana akhwat-akhwat di Bogor? Tidak adakah yang membuat hatimu kecantol?” Fahmi mulai usil. Maknae[9] ini suka menggodai abang-abangnya, terutama Sigit yang masih belum mendapatkan tambatan jiwa. Walaupun Fahmi paling muda di kelompok itu, tapi Fahmi lebih berani melepas masa lajangnya sejak setahun lalu. 

Sigit mesem-mesem, berusaha menutupi hatinya yang sedang gundah gulana. Sebenarnya, ingin sekali dia memuntahkan semua apa yang ada dibenaknya, tapi ini belum waktunya untuk menceritakan keadaan yang sedang menimpa dirinya. 

“Kalau sudah ada, pasti ana bagi-bagi ceritanya.” tukas Sigit bernada canda, sengaja untuk membuang curiga, bahwa memang tidak dapat dipungkiri kalau hatinya sekarang sedang berwarna warni bagai pelangi di siang hari.
Hahahaha…^0^

Fendi, Fahmi dan ketiga kawan lainnya terbahak-bahak, tidak bisa dikelabui. Semuanya sudah berpengalaman kecuali Sigit. Sangat tahu kalau Sigit sedang bergejolak. Mereka tidak mendesak Sigit untuk mencurahkannya hari ini, mereka akan sabar dan sabar menunggu, sampai tabir itu terungkap dengan sendirinya.
Mata adalah cermin hati. Benar enggak sih? ^0^

Sigit menciut, lagi merasa kerdil di hadapan teman-temannya, setelah kemarin disudutkan oleh kedua orangtuanya. Untung murrabi datang, memecahkan keriuhan. Menyelamatkan Sigit dari keterperosokan olokan yang makin dalam. Murrabi yang telah dianggap sebagai ayah kedua bagi Sigit dan teman-temannya. Beliau tidak hanya memposisikan dirinya sebagai guru. Sifat kebapakaannya membuat anak-anak binaannya merasa nyaman untuk curhat. Bahkan tidak jarang juga, beliau berperan menjadi teman, sebagai lawan bercanda dan bermain. Bersegera mereka terdiam, menyambut kedatangan sosok yang disegani. Agenda utama dimulai. Mengawali dengan pembukaan, dilanjutkan dengan pembacaan Al quran, taujih[10] singkat, sirah nabawiyah, dan materi utama, berlangsung khidmat. Keseriusan ekspresi menyimak penyampian sang murrabi. Kegiatan liqo’ ini, sesuai kebiasaan akan diakhiri dengan sholat magrib berjamaah di masjid itu. Sesudah zikir, mereka berkumpul lagi untuk pamitan, saling merangkul ala “bromence : brother romance” saling mengikatkan kasih sayang diantara mereka. Kecuali Sigit yang berdiam di masjid. Tadi murrabi memberi isyarat lirikan untuk tetap tinggal. 

Selepas dirasa aman, mereka duduk bersila di dalam masjid. Murrabi mengeluarkan amplop coklat, dan Sigit sudah pasti paham maksud dan tujuan gurunya itu.

“Coba dipertimbangkan, Nak…” pinta murrabinya. Ini adalah biodata keempat yang diterima Sigit. Namun, ketiga yang lalu dia tolak, karena setelah melalui beberapa pertimbangan, Sigit merasa akhwat yang direkomendasikan pendidiknya itu tidak sesuai dengan apa yang dikriteriakan. Sigit menerimanya. Dia membuka pelan isi amplop itu didepan murrabinya. Terpampang foto full badan dan kertas yang bercoretkan biodata. Sigit membacanya sekilas, “Syukron. Ana akan istikharoh dulu, Pak…” Sigit memasukkan biodata itu keranselnya.

“Baiklah. Bapak akan menantikan jawabanmu. Akhwat ini, bapak menjaminnya, dia yang terbaik.” Tegas murrabi menepuk halus pundak Sigit. Sigit mengangguk, memberikan kepastian dengan pertimbangannya. Walau terjadi pertarungan batin, Sigit meski bersikap adil. Tidak ingin mengedepankan perasaan yang mungkin hanya sesaat, dan mengabaikan akhwat yang terbaik menurut murrabinya.
Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui, (QS. Al-Baqarah :216)”^0^

Sigit membuka lagi biodata akhwat itu. Dia mencermati setiap detail yang tertulis di kertas itu. nama, dr. Yuli Evanti.  Bekerja sebagai dosen di fakultas  kedokteran UI. Usia 30, tiga tahun lebih tua dari Sigit. Itu bukan persoalan untuk Sigit, kriteria umur tidak masalah, dia lebih muda atau lebih tua dari dirinya. Kemudian, dia mengalihkan perhatiannya ke helaian foto 4R. Nampak anggun, cantik, dan tinggi berbalut sopan dan syar’i.

 “Pintar, pula. Tidakkah dia terlalu sempurna untuku?” Sigit berdecak kagum, takjub walau sekedar secarcik gambar. Sigit tertegun, tanpa diminta, Sigi, lagi, lagi, dan lagi ada dipikirannya. Gambarannya begitu nyata, senyata foto akhwat yang ada dihadapannya. Sigit terlena sejenak, namun segera sadar dan menepis bayangan yang tidak sepatutnya dikhayalkan. Seseorang yang tidak halal untuknya. Dia kesal pada dirinya yang tak mampu menahan nafsunya. Sigit menepuk-nepuk pipinya sendiri supaya tersadar, “Asstagfirullah...Asstagfirullah...Asstagfirullah...” gumamnya menyesal. Dia kembali pada akal sehatnya, memandangi foto akhwat itu lagi lekat-lekat. Sigit menarik napas dan menghembuskannya, memejamkan mata, mensingkronkan pikiran dah hatinya agar tertuju pada gambar akhwat yang ada didepannya. 

“Baiklah. Aku akan meminta petunjuk Allah.” Sigit memantapkan hatinya. Siapa tahu dialah bidadari yang benar-benar ditakdirkan untuknya.

Diseperempat malam, sigit sungguh melakukan istikharoh. Dia merendahkan diri, mengangkat kedua tangannya, menggunakan bahasa yang halus nan menyentuh, Sigit meminta Allah mencurahkan tanda-tandaNya.

“Ya Allah,  jika benar akhwat ini adalah yang Engkau pilihkan untukku, maka dekatkanlah dia kepada hamba. Berikanlah isyarat yang meyakinkanku, andaikata dia bakal calon istriku.” Sigit terus merengek di hadapan Allah, sampai malam yang diselimuti gelap, tersingkap menyambut datangnya subuh. 

Bersambung…



[1] rapat
[2] pertemuan
[3] Guru/ pendidik
[4] persaudaran
[5] ketua
[6] lingkaran
[7] Saudara laki-laki
[8] anda
[9] Bungsu (bahasa korea)
[10] pengarahan
 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea