Sabtu, 14 Juni 2014

Sigi Menjemput Sigit bag. 5

Diposting oleh mongyimongyi di 12.17 2 komentar


          penulis : Jang Yiq                                    

 Cerita singkat bag.4

Ta’aruf di mulai, Sigit memutuskan untuk melanjutkan perkenalan dengan Yuli Evanti, seorang dokter yang umurnya tiga tahun lebih tua dari Sigit. Akhwat rekomendasi sang murrabi membuat Sigit takjub dengan kematangannya sebagai seorang perempuan dewasa. Namun, ditengah-tengah pendalaman keperiadian masing-masing, tiba-tiba abi Sigit menelpon, mengabarkan bahwa Andien, adiknya terjatuh dari tangga villa dan harus mendapatkan perawatan di bogor. Di situasi itu, Sigit memutuskan untuk meninggalkan acara tanpa berpikir akan menyakiti hati akhwat dihadapnnya itu.

Takdir berbicara. Di rumah sakit Harapan Bangsa, dimalam yang tak terduga itu,  Sigit mengulang pertemuannya dengan Kinan, seseorang yang mungkin akan menjadi jembatan perjumpaan kembali dengan Sigi. Betapa bahagianya Sigit ketika sosok akhwat, sahabat Sigi itu berdiri dihadapannya. Kinan juga tak kalah senang, namun Kinan memilih berpikir lain. Dia tidak ingin Sigi dan Sigit bertemu atas kehendak mereka masing-masing. Biarkanlah Allah menjalankan sekenario-Nya yang maha sempurna batin Kinan. 

Ya, tanpa campur tangan Kinan, Allah-pun bertindak. Di pagi yang indah, dua insan yang tidak saling mengenal dalam itu bertatap muka. Di taman atap rumah sakit, Sigi yang sedang menikmati terpaan jingga dan kemudian Sigit muncul, mendekap hangat Andien yang masih lemah. Sontak membuat Sigi terperenyak, terharu dipertemukan lagi dan merana sedih, salah paham tentang status Sigit yang ternyata sudah beristri. Dengan genangan air mata Sigi berlari menjauhi Sigit. Sigit tak mampu berbuat apa-apa, dia hanya memandang Sigi yang meninggalkannya.

***
Sigit mendekati tempat Sigi terduduk tadi. Dia tersenyum simpul dan memungut potongan kertas kecil yang bertuliskan namanya. Kartu nama itu, tanpa tersadar Sigi meninggalkannya di kursi itu, mungkin karena sangat terkaget membuat Sigi melepaskannya dari genggaman. Sigit mengusap-usap kursi kayu itu, seakan ingin merasakan keberadaan Sigi di situ, kemudian mendudukinya pelan. Kembali Sigit melihat kartu namanya sendiri, mengingat kembali dengan konyolnya saat dulu dia memberikannya kepada Kinan dan berharap untuk dikabari keadaan Sigi. Tapi asa sekedar asa, Kinan tidak pernah berniat menguhubunginya.
Sigit mendesah. Napasnya sampai dirasa oleh kening Andien yang nyaman dipangkuannya. Andien melirik abangnya, memperhatikan lekat-lekat mimik mukanya yang tersirat kacau.

“Abang, siapa perempuan yang tadi? Kenapa dia menangis?” suara Andien pelan namun menusuk. 

Sigit mendesah lagi, melebarkan pupil matanya menatap adik kesayangannya itu, “Perempuan tadi itu...” Sigit menahan napas, memotong pembicaraannya, berpikir untuk berterus terang saja pada anak kecil itu. Toh, dia cuma anak ingusan yang belum mengerti dunia orang dewasa.

“Namanya Sigi. miripkan sama nama abang, Cuma kurang huruf T,” gurau Sigit sambil mencubit gemas pipi Andien yang tirus.

“Terus?” Andien mulai rewel, nampak  tatapan menghakimi abangnya. 

Sigit mengerutkan keningnya, bingung harus menjelaskan apalagi, sebab dia juga tidak tahu siapa Sigi seutuhnya. Sebatas nama, tidak lebih dari itu untuk menandakan sosok perempuan itu.

“Abang tidak tahu.”  Ucap Sigit meredup, menerawang bagaimana kisah ini akan berlanjut. Semua adalah rahasia yang tidak mungkin akan tersingkap oleh paranormal.  

Andien menurunkan pandangannya, mendekatkan telinganya tepat di posisi jantung abangnya. Andien tersimpul, dia mendengar irama yang berdetak kencang tak beraturan. “Abang, sepertinya aku tahu siapa perempuan itu.” gumam Andien seraya terus menempelkan pendengarannya, seolah menikmati alunan debaran jantung abangnya. 

Sigit terbelalak, jantungnya berdegup semakin kencang. Andien cekikikan mendengar suara pemompa jantung itu semakin besar. Sigit ingin mengelak, membela diri kalau apa yang diucapkan Andien hanyalah tebakan kosong anak ingusan. Tapi Sigit tetap membiarkan aksi adiknya. Dia merasa lega, seakan ada setitik embun merembes masuk kehatinya, sangat menyegarkan ditengah panas memendam sendiri bara cinta yang membelenggunya.

“Terima kasih sayang…” Sigit memeluk Andien. Dia sangat menyayangi adiknya yang terkadang bersikap dewasa itu. Meski umurnya masih delapan tahun, namun dialah perempuan yang paling mengerti isi hatinya.

***
Sigi terisak, air mata masih membasahi pipinya. Dia mendekap kedua lututnya sembari duduk bersandar di dinding lorong bangsal matahari, koridor ini terhubung dengan kompleks VIP. Sigi membenamkan kepalanya dalam-dalam seolah tidak ingin menampakkan kesedihan pada orang lain. Dia memegang dadanya seperti memerintahkan hati untuk tidak beriak. Sekarang dirinya penuh dengan penyesalan tentang rasa yang sudah menjangkit. 

“Ya Allah, Mengapa ini terjadi kepadaku?” ucapnya pelan, serasa Tuhan tidak mengamini apa yang diangankannya selama ini.

Lorong yang sepi, di pagi hari yang masih berselimut, remang-remang, sinar matahari yang menyusup diantara celah-celah jendela kaca gedung, menangkap tubuh perempuan berhijab yang membungkuk di depan Sigi yang masih tertunduk dengan suara senggukan yang menggema. 

“Nak, kenapa kamu menangis?” sapa perempuan itu lembut. Dia mengusap-usap kepala Sigi yang juga tertutup hijab.  Sigi tidak menjawab, tetap menunduk, tidak mau memperlihatkan wajah sembabnya. Dengan perlahan perempuan separuh baya itu mengangkat kepala Sigi, menghapus air mata yang mengalir. Perempuan itu tersenyum hangat, gurat keibuannya menjalar disanubarinya. Sigi melongo, tak mengelak juga tak menepis sentuhan tangan bergurat kasar itu. Justru dia semakin merengek dihadapannya seakan sudah saling mengenal lama. Perempuan paruh baya itu memeluk Sigi, mengelus-elus punggungnnya menenangkan, “Menangislah jika itu membuatmu akan merasa lebih baik, Nak.” Bisik perempuan itu. 

Selang beberapa menit, Sigi sudah merasa plong. Dia melepaskan diri dari rangkulan perempuan itu, menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi pipinya. Dia menarik napas dan menghembuskannya, mengatur kembali emosinya yang sempat membeludak.

Terkadang menangis adalah senjata paling ampuh untuk mengurangi penat hati. Menangislah, karena menangis tidak selamanya menunjukkan kalian lemah... ^0^

“Terima kasih...” suara Sigi terdengar bergetar.

“Ibu, siapa?” lanjut Sigi memandang perempuan yang masih membungkuk didepannya dengan Senyuman yang enggan menjauh dari bibirnya yang mulai mengkerut.

“Panggil saya Ummi, Ummi!” ujar perempuan itu seraya memegang kedua pipi Sigi. 
Oh... indahnnya ukhuwah^0^

“Ummi.” Gumam Sigi, matanya kembali berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena kesedihan namun ada keharuan. Entah mengapa ada secercah bahagia menyelip di lubuk hatinya, memandang perempuan tua yang sangat ramah itu.

Beberapa meter dari Sigi dan Ummi berada, Sigit menonton semuanya. Di tembok belokan lorong, diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik dua perempuan yang memenuhi hatinya itu. Andien yang seiya sekata dengan sang abang mulai menikmati reka adegan itu. Sungguh menyentuh, bagai melihat perjumpaan ibu dan anak. Terpancar sinar ketulusan diantara mereka berdua. Sigit menghela napas, berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang. Menghampiri untuk menyapa dan memperkenalkan diri secara resmi di depan Sigi atau membiarkan takdir yang terkuak dengan sendirinya. Tulang rusuk tidak akan kemana-mana, bukan? Dia pasti akan kembali ke posisinya. Sigit meragu, dia ingin sekali mengangkat kakinya untuk mendekat, tapi sangat berat, berat sekali. Kaki itu tidak mau bergeser sedikitpun, tetap nyaman menapaki lantai marmer itu. 

“Sigi, ada apa denganmu?” batin Sigit berdengung, merogoh kartu namanya yang tertinggal di taman tadi.

Gemuruh hati Sigit yang meminta jawaban dari pertanyaan yang tidak tersampaikan. Dia masih berdiri di kejauhan menyaksikan Sigi dan umminya yang sedang bercengkrama. Indah sekali, melihat kedekatan Sigi dan ummi yang baru saja saling tahu namun sudah seintim itu. Satu dua kali, Sigit melempar senyum, menggelayut di khayalannya, peristiwa saat ini terjadi dikehidupannya yang mendatang, keakraban antara mertua dan menantu.
Cie..cie...Sigit ^0^

“Tit…Tut…” bunyi pesan singkat masuk. Sigit gelalapan, meski suara ponselnya kecil dikeheningan pagi. Bangat Sigit merogoh saku celananya dan membuka SMS itu, “Assalamu’alaikum, Git, bagaimana ini dengan kelanjutan proses ta’aruf yang kemarin?” tulisan dari pak Salihudin. Sigit menepuk jidatnya seraya beristigfar, melupakan hal kemarin yang juga cukup penting. Sekelebat bayangan Yuli Evanti hadir di benaknya. Sosok dokter muda yang memang tidak muda lagi, menawan dengan kecerdasannya. Sigit merasa bersalah, tidak seyogyanya dia meninggalkan akhwat itu begitu saja tanpa penjelasan di tengah proses yang serius.

Wa’alaikumussalam, afwan,  pak, sekarang ana sedang di Bogor. Kemarin abi menelpon, Andien terjatuh dari tangga Villa dan harus mendapat perawatan di Rumah Sakit Harapan Bangsa. Bisakah pertemuannya di jadwal ulang? Insha Allah, ana sudah punya jawaban.” Balasan Sigit untuk pesan murrabinya.

Andien yang sedari tadi diam, masih didekapan Sigit, terus mengamati wajah abangnya yang sangat mudah terbaca. Ada kebingungan, kebimbangan, kerisauan, keheranan, semuanya ditampakkan kali ini. Andien yang rada-rada memahami berbisik, “Tenang, abang!” nadanya yang sok dewasa membuat Sigit tersenyum, mengangguk-angguk mematuhi seruan adiknya. 

“Bapak konfirmasikan dulu sama akhwatnya. Tunggu kabar selanjutnya.” Pesan balasan dari pak Salihuddin.
Sigit menenangkan diri seperti permintaan Andien. Mengatur jalan napas. Dia menengok kembali pandangannya ke tempat Sigi dan ummi, mereka sudah tidak . Sigit melirik ke penjuru koridor, tidak ada, sepi. Sigit maju, melangkah pelan menapaki lorong itu, bangsal matahari, tempat ruang rawat Andien. Sigit melewati ruang bernomor 327, dia terus berjalan ke ujung lorong yang ternyata memiliki belokan dengan pintu kaca bertuliskan VIP.

“Jangan-jangan, Sigi berkamar disini,” Sigit berandai-andai. Dia menerawang suasana dalam tempat khusus pasien berbudjet itu. Sigit tersentak, Kinan keluar dari salah satu jejeran kamar. Dia kenal betul paras yang menodongnya tadi malam itu. Sigit refleks menghindar dan bersembunyi, perlahan berlari kecil tak bersuara masuk ke ruang rawat Andien yang dekat, bayangkan cara jalannya Tom saat akan menyergap Jerry, hehe ^0^. Kini, mimiknya tersirat mantap, mengetahui ternyata dari kemarin dia begitu dekat dengan Sigi.

***
Yuli Evanti termenung di kamarnya. Ahad pagi yang terasa muram. Dia, lagi dan lagi mengingat rupa punggung Sigit yang dengan mudahnya meninggalkan proses perkenalan mereka. Meski saat itu Yuli memasang wajah yang tidak apa-apa, namun hatinya ada apa-apa. Sedikit perih ketika memasrahkan laki-laki yang ada di depan mata, mulai mendalami karakternya, dan sudah menyukainya, entah karena alasan apa pergi seenaknya. Jujur, penjelasan tak berjawab dari pak Salihuddin tentang kejadian itu semakin membuat Yuli berpikir kalau Sigit sungguh tidak berniat melanjutkan proses yang terlalu dini untuk dibatalkan itu. Tidak ada keterangan lebih lanjut yang bisa menenangkannya, apalagi dari Sigit sendiri. Semenjak kemarin hingga hari ini, pak Salihuddin belum mampu berbicara tentang sebuah kepastian. Seperti menggantung, Yuli kian merana, parahnya Sigit sudah membuatnya jatuh cinta.

Yuli meraih biodata itu lagi, memandangi wajah Sigit yang berkharisma dengan kacamatanya. Tanpa paksa, Yuli tersenyum kecut melihat foto itu. Dia melihat isi biodata yang sudah sekian kali dia telaah, berharap tiba-tiba terselip nomor telepon Sigit di barisan kata data diri. Ingin sekali Yuli menghubungi Sigit langsung untuk meminta keputusan, ya atau tidak, titik.

Khyusuk dengan perasaannya yang galau badai, Yuli tersentak oleh suara ponselnya yang mendadak berdering. Mengintip nama di layar, bibirnya merekah, pak Salihuddin menelpon di waktu yang dinantikan. Tidak ada keraguan, Yuli menerima panggilan itu, “Assalamu’alaikum, pak...” jawab Yuli lugas.

Wa’alaikumussalam, ukhti, afwan tentang kemarin. Kapan ada waktu untuk memproses lagi? Kabarnya Sigit sudah punya jawaban.” Ungkap pak Salihuddin yakin.

Yuli cepat membuka buku agendanya yang memang tergeletak disampingnya. Membuka lembaran untuk jadwalnya minggu depan. 

“Hari Rabu, pak. Di tempat yang kemarin, sekitar jam delapan pagi,” ujar Yuli bersemangat, tertanda dari nada suaranya yang meletup-letup. 

“Baiklah. Bapak akan memberi tahu Sigit prihal ini. Syukron ukhti!”.

Afwan[1], pak.” Yuli menutup pembicaraan itu. Dia memegang jantungnya yang berdentum, senyum-senyum, memukul-mukul bantal, berguling-guling kegirangan ditempat tidurnya yang besar. Seperti adegan di drama-drama korea-lah, masa-masa hati kekasih wanita yang sedang berbunga-bunga.
Walaupun sudah dewasa, kalau urusan cinta, kelakuan bisa kayak remaja-remaja alay labil, hohoho ^0^

***
Di kamar bernomor 327, kamar inap Andien terdengar ramai. Abi, ummi, dan Sigit berguyon yang dibumbui tawa Andien. Bersyukur kesehatan Andien pulih cepat, walau sewaktu-waktu akan kambuh lagi. Kemarin sore sampai tengah malam Andien dapat melewati keadaan krisisnya. Anak kecil itu sudah tidak terhitung berapa banyak harus menghadapi saat-saat nyawanya hampir tercabut. Kesempatan hidup yang entah sampai kapan akan berakhir, sampai para malaikat akan datang untuk mengambil ruh dari jasadnya. Sekarang, dia masih bisa menyulam senyum ditengah jantungnya yang semakin melemah.

Andien bermanja di lengan umminya yang ikut merebahkan badan di ranjang sempit itu. Selama ini abi dan ummi selalu menemaninya tidur. Kekhawatiran penyakit akan kumat di malam hari, membuat ummi tidak pernah membiarkan Andien tidur sendirian.

“Pengen banget deh, lihat abang cepat-cepat nikah.” Celetuk Andien, menohok semua yang ada di ruangan itu. Sigit yang diomongin mesam-mesem salah laku.

Ummi bersegera mengangguk-ngangguk setuju, “Betul. Tidak mungkin dong, abangmu yang kece badai guntur halilintar ini tidak punya gebetan.” Gaya ummi meniru Syahrihoi, ikut-ikutan menyindir Sigit. Abi senyum-senyum menyimak aksi ummi dan Andien, dan tingkah Sigit yang malu-malu.

“Sigi, itukan nama kakak yang ummi ajak ngobrol tadi pagi,” Andien memancing lebih dalam lagi.
 
“Oh! Kok Andien tahu!!?” ummi heran sendiri. Padahal tadi pagi, di koridor hanya mereka berdua.

“Bang Sigit saja tahu.” Andien mengerling ke arah abangnya yang duduk dekat abi di sofa. Sigit girang, merasa menelanjangi abangnya untuk mengakui semuanya sekarang di depan abi dan ummi. 

“Kalian nguping ya?” Ummi pura-pura semakin terhenyuk, dia sudah tahu semua cerita dari Sigi sendiri tentang semua yang terjadi. Dengan enaknya Sigi curhat tanpa tahu ummi adalah ibu yang melahirkan dan merawat Sigit. Ummi bangkit dari posisi tidurnya, mendekati Sigit, “Benar kamu kenal Sigi!?” tanya ummi, dia sengaja menyelidik lekat-lekat muka anak sulungnya itu.

“Ya, saya kenal Sigi. Terus masalahnya?” Sigit mau berkilah. Dia menghindar dari tatapan umminya yang tajam.

“Enggak ada masalah apa-apa. Biasa aja kelez…” Ummi sekarang berbahasa anak-anak alay sambil berjalan meliuk-liuk kembali ke samping Andien.

Semua tertawa dengan gaya ummi yang sok-sok kecentilan. Mengikuti perkembangan bahasa gaul yang sudah merebak. Ummi gaul juga ^0^.
Memang sebagai pengemban dakwah harus tahu istilah-istilah anak muda yang lagi ngtrend, agar nantinya nyambung ketika harus berhadapan dengan target dakwah dari kalangan pemuda. Mengikuti perkembangan jaman perlu demi kelangsungan dakwah, asalkan tetap dalam koridor syar’i.

“Aduh! Abi ketinggalan informasi apa lagi ini!?” tutur abi yang dasar tidak tahu menahu.

Saat Sigit akan angkat bicara, sudah capek dibombardir oleh ummi dan Andien, tidak ada celah untuk melarikan diri lagi. Namun, tiba-tiba ummi mendahului, “Kalau suka, dilamar saja. Nanti nyesal lho!”. Ummi dan Andien saling tos-tosan, merasa menang sudah memukul telak Sigit. 

“Ooo...! Ada yang sedang jatuh cinta ya...” tukas Abi yang kemudian ikut-ikutan menepukkan telapak tangannya dengan telapak tangan ummi dan Andien. 

“Sigi cerita apa sama ummi? Kayak ummi tahu segala-galanya saja,” Sigit seolah ingin menguak isi hati Sigi melalui ummi. Penasaran, Sigi sudah curhat apa saja tentang dirinya pada ibunya sendiri.

“Kasih tahu enggak ya...?” ummi tiada hentinya menggoda Sigit, malah semakin menjadi-jadi.

Sigit sabar menghadapi situasi itu, karena kini hatinya lega, tidak perlu disembunyikan lagi, bahwa keluarganya sudah tahu perasaannya, tahu siapa Sigi, dan yang paling penting mereka tahu kalau Sigit menyukai Sigi.

“Tit...Tut...” pesan masuk. Sigit membacanya, “Ukhti Yuli sepakat berproses lagi. Hari Rabu, pukul delapan pagi, di tempat yang kemarin. Bisa?” .

Insha Allah, bisa.” Balas Sigit pasti, seperti mau bersegera menyelesaikan perkara itu.

“Abi, ummi, saya mau memberitahukan sesuatu. Ini tentang akhwat yang lain. Sekarang saya sedang proses ta’aruf dengan dia. Namanya Yuli Evanti. Seorang dokter yang usianya tiga puluh tahun. Cerdas dan cantik. Ini rekomendasi murrabiku. Bagaimana menurut abi dan ummi?” jelas Sigit singkat. Ini waktu yang tepat juga untuk membeberkan tentang Yuli Evanti pada abi dan ummi pikir Sigit.

“Semua keputusan ada ditanganmu, Nak. Pilihlah yang terbaik menurutmu. Dan jangan lupa juga meminta petunjuk, meminta untuk dipilihkan yang terbaik oleh Allah.” Saran abi bijaksana, selalu seperti itu. tidak pernah memaksakan kehendak pribadi kepada anaknya, dan selalu menyuruh anak-anaknya berdoa tentang segala keputusan yang akan diambil.

“Jangan sampai Allah memberikan sesuatu kepadamu tetapi dalam keadaan murka. Ummi harap, cintamu pada Sigi bisa berlabuh. Tapi akhwat itu juga punya hak yang sama untuk memiliki hatimu. Pertimbangkan dengan baik-baik. Mintalah petunjuk yang maha kuasa. Ingat, baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah.” Pesan ummi sejalan dengan apa yang dikatakan abi tadi.

“Terimakasih abi, ummi. Siapapun yang saya pilih, mudah-mudahan itu yang terbaik menurut Allah dan menurut saya, amin.” 

Semuanya mengamini. Suasana berubah menjadi sediki khidmat. Karena, ini bukan hanya tentang dunia, ini juga urusan akhirat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

***
Esok hari...

Sigi dan Kinan duduk di kantin. Sarapan pagi sembari menunggu kehadiran ummi dan Sigit. Tadi malam, diam-diam ummi berkunjung ke kamar rawatnya Sigi untuk meminta pertemuan pagi ini. Sigi terlihat gugup. Sepanjang malam sampai detik ini, dia tidak tenang. Dia terus meremas-remas tangannya, kakinya tak henti bergerak untuk mengusir grogi.

“Gi, kamu baik-baik saja kan?” Kinan memegang tangan Sigi menenangkan. Terasa dingin, bagai demam panggung.  

Kinan tersenyum, “Bayangkan saat pertama kali kamu melihat ustadz Sigit. Ketika dia belum mengenalmu. Santai saja...” himbau Kinan yang memang juga tersadar situasi kali ini tidak akan pernah sama dengan tempo lalu. 

Sigi memejamkan matanya, mengatur ritme napasnya, berusaha mengingat kembali kejadian di Masjid Raya Bogor, di acara ODOJ yang terencana sempurna oleh Allah, yang mengantarkannya pada hijab dan mungkinkah pada jodohnya juga. Sigi mulai bisa mengontrol dirinya. Sunggingan seringai menandakan dia sudah menguasai emosinya.

“Kamu memang soulmate-ku,” Sigi memeluk Kinan bentuk rasa terima kasihnya. Kinan membalas rangkulan best friend-nya itu.
Best friend forever. Cenang celalu bercamamu celamanya...hahaha ^0^

Ummi dan Sigit sampai. Berdua berdiri di kejauhan, mencari letak duduk Sigi dan Kinan di tengah sekumpulan orang-orang yang asyik makan pagi. Sigit menunjuk pojokan tepi jendela, dia tahu betul paras Kinan. Pasti disampingnya adalah Sigi, posisi duduknya yang menghadap Kinan membuat wajahnya tersembunyi.

Ummi menepuk pundak Sigit, “Siap?” tanya ummi pada Sigit yang tampak masih was-was. Hari ini, hari yang dinanti, dia akan berkenalan secara resmi dengan Sigi. Berpikir bagaimana dia harus bersikap nanti di depan Sigi.

Insha Allah, ummi. Saya siap! Salah paham ini harus segera diluruskan,” tegas Sigit. padahal dia tidak pernah mempermasalahkan anggapan Sigi yang keliru tentang dirinya.

 Malam itu, ummi membeberkan semuanya. Tentang pribadi Sigi, perasaan sukanya pada Sigit, dan Sigi yang mengira kalau Sigit sudah menikah dan punya anak yang membuat Sigit tertawa saat ummi bercerita tentang hal  itu. Dia berpikir betapa lucunya Sigi mengira Andien adalah buah hatinya.

Ummi dan Sigit mendekat ke arah meja tempat Kinan dan Sigi. Kinan langsung berdiri menyambut kedatangan tamu terhormat itu. Sigi bangkit, berbalik dan membungkuk, “Assalamu’alaikum, nama saya Sigi, senang bisa bertemu lagi.” Sigi berucap cepat tanpa intonasi dan jeda. Dia terus saja membungkuk, tidak kuasa memperlihatkan wajahnya.

Sigit tertawa kecil, baru kali ini menemui akhwat seaneh ini. Maklum, dipertemuan pertama dulu, Sigit di sambut Sigi dengan pingsan dan berdarah-darah. Ummi menepuk lembut kepala Sigi seraya membalas salamnya. Perlahan Sigi mendongakkan kepalanya, dan duarrrr... Sigit tepat berdiri didepannya, dekat sekali. Sigit yang ulungnya pendakwah, orator, pembicara forum, sangat mengendalikan situasi dan kondisi. Dia memperbaiki kacanya yang tidak melorot dan bersapa secara singkat, “Saya Sigit.” 

“Saya sudah tahu,” Sigi  berani mengeluarkan guaruannya, sifat aslinya mulai keluar. Kinan menyentuh tangannya, memberikan kedipan mata untuk menjaga sikap,  jaga image di depan ikhwan. Biasa akhwat-akhwat, hehe ^0^ . Sigi nyengir melihat Kinan yang waspada dengan pembawaannya yang Sigi banget dah.
“Saya juga sudah tahu kalau anti yang namanya Sigi.” Sigit membalas candaan Sigi. Suasana cair. Mereka duduk, santap pagi bersama-sama. Kecanggungan terkikis sedikit demi sedikit. Perkenalan resmi yang ternyata tidak semenakut yang dianggap sejak awal. 

Sigit harus pamit duluan, pulang ke Jakarta. Kerjaan menumpuk di kantor. Jabatannya sebagai staf wakil menteri di kementerian agama, tidak sembarangan untuk mengabaikan tugas-tugas yang harus diselesaikan.
Sigi menengok kepergian Sigit. Dia mentertawakan dirinya sendiri yang sudah salah mengira sebelumnya. 
“Dia bujangan!” teriak Sigi histeris dalam batinnya.

“Aku baik-baik saja, dan sepertinya akan baik-baik saja jika dia memang bukan tercipta untukku. Aku sudah cukup bersyukur kau bisa merasakan keberadaanku. Kau terlalu sempurna untuk kumiliki, karena aku adalah perempuan yang biasa-biasa saja.”  

Bersambung...




[1] Bisa juga berarti sama-sama

Rabu, 28 Mei 2014

AKU, INGGRIS, HARRY POTTER, dan J.K.ROWLING

Diposting oleh mongyimongyi di 10.33 2 komentar


Impian...
Rangkaian hasrat maha dahsyat...
Laksana sihir yang patuh pada mantra...
Alohomora... Alerte  Ascendare...
Sederet asa demi menanti sebuah kepastian...

***
Aku, Elma, seorang koleris yang sangat bersemangat membahasa hal-hal yang tabu ketimbang membicarakan gosip para selebriti yang mulai ngelantur dengan bahasa-bahasa ngawur. Kuliah semester awal di fakultas bahasa dan sastra Inggris. Tahun ini, sweet seventeen menghampiriku. Tapi, biasa saja, benar-benar tidak ada yang membuatku bergairah selain hadiah buku seri ketujuh Harry Potter berbahasa Inggris pemberian mamaku. Aku bukan gadis alay yang harus merayakan usia yang ke-17 kemudaian, uuuuuu.....aaaaa.... nampang tampil disalah satu program musik TV swasta. Kalau dipikir-pikir mengapa orang-orang begitu senang dengan bertambahnya umur? Bersyukurkah karena masih diberikan nafas untuk bertaubat? Atau berterimakasih atas kesempatan untuk bermaksiat? Padahal, dimoment itu, Allah dengan kerelaan-Nya akan mengurangi jatah hidup kita di dunia ini. 

Aku penyuka cerita fiktif nan misteri, terutama kisah-kisah sihir penuh intrik dan mistis. Ada sensasi getir yang berdesir di aliran darah, saat aku asyik membaca ribuan lembar buku bertuliskan imajinasi manusia tentang kekuatan-kekuatan, mahluk-mahluk aneh bin ajaib yang tidak nyata. Ya, akulah pecinta berat sosok Harry Potter, penyihir ciptaan J.K. Rowling. 

Well... Well... sekarang aku menanti kesempatan itu datang, berharap mendapatkan durian runtuh untuk bertemu sang idola, menapak tilas bagaimana figurnya bisa dibentuk oleh pikiran manusia yang terbatas. Mengandalkan perekonomian atau nama besar adalah sesuatu yang mustahil kalau melihat kenyataan bahwa aku tergolong masyarakat tanpa kelas, tanpa penghasilan dan tanpa kedudukan. Tapi, hanya ada satu cara membuat obsesiku menjadi kenyataan, menulis. Aku aktif membuat tulisan-tulisan, bisa dibilang karya-karya fiksiku banyak, namun ujung-ujungnya mereka tetap berakhir di ruang gelap dalam lemariku, entah karena rangkain kataku jelek, tidak layak muat, atau terlalu, terlalu bagus sampai-sampai tidak mungkin untuk dimuat. Tidak nampak secuilpun ketertarikan penerbit buku, media online ataupun juri-juri lomba untuk menayangkan sebaris kalimat dariku di wall website ataupun cuma di satu halaman buku mereka. Akan tetapi, aku tidak akan menyerah, selalu ada jalan menuju Roma. Suatu hari nanti, akan ada orang yang berkata padaku, “Welcome in England.

***
Harry Potter, tokoh fiktif karangan J.K. Rowling ini sedang menatapku garang, bagai melihat Voldemort dihadapannya. Aku berdiri, membalas tatapannya, tanpa gentar aku menantangnya, menduplikasi mantranya.

Expecto patronum ...” pekikku, melengking membahana ke seluruh sudut kamarku yang berukuran sempit. Kuarahkan tongkat kayu kewajahnya yang super duper cute seolah mengeluarkan sinar petronus untuk mengusir dementor.

Expelliarmus...” teriakku lagi. Tongkat sihir akasia-ku kembali menunjuk-nunjuk mukanya, menyerangnya dan melucuti tongkatnya. 

Vera verto... lanjutku histeris. Personanya tetap tidak berubah, entah menjadi seekor tikus atau apalah. Dia masih Harry Potter, penyihir  berdarah murni, sang penyihir sejati. 

Poster itu, ya, hanya selembar poster berukuran 30x60 cm di tembok, tempat melampiaskan obsesiku untuk berjumpa dengan sang pemeran utama. Gambar yang aku dapatkan dari sebuah majalah remaja, bonus untuk edisi spesial tahun lalu. Kegilaanku pada novel sekaligus filmnya, membawaku pada hayalan yang terlampau jauh. Kadang, saat aku menyendiri, pikiran yang diamini oleh ragaku akan langsung bergaya meniru jurus-jurus sihir, entah berperan sebagai Harry, Hermione, Ron, atau Jenny Weasley. Saat itu kulakukan, aku berasa seperti sedang di Inggris, di sekolah sihir bergengsi, Hogwarts. Betapa bahagianya, ketika secarcik foto Daniel Radcliffe itu, berpose dengan jubah kebesaran Gryffindor seraya mengancungkan tongkat sihirnya, terpampang megah diputih pembatas kamar,  bersanding dengan istana Buckingham dan menara big ben kebanggaan rakyat Inggris.

“Tunggu saja, aku akan datang menjamahmu!” jeritku, menonjok-nonjok gemas gambar bangunan lambang Britania Raya itu.

***
Siang hari, suasana kampus fakultas bahasa dan sastra terpantau lengang. Aku duduk seorang diri di kursi bawah pohon beringin depan gedung jurusan sastra inggris. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi di tengah terik yang menyengat, aku membaca khidmat lembar demi lembar buku tebal ditanganku. Harry Potter And The Deathly Hallows, novel pemberian mama, seri terakhir dari novel harry potter. Aku menampilkan berbagai mimik muka, menggambarkan ada ketegangan, drama,  dan misteri  dikisah itu. aku semakin larut dalam cerita yang tidak biasa itu.

“Deng... Deng... Deng...” Joana menyodorkan selebaran kertas di atas bukaan buku, menutupi halaman yang sedang kubaca.

Aku mengerling kemudian mengambil kertas dengan sedikit sebal karena Joana memotong konsentrasiku. Judul besar “England and wonderland” lomba menulis kisah fantasi tentang inggris dua puluh tahun mendatang, DL 31 Mei. Aku tergelitik, hasratku membuncah manakala melihat hadiahnya,  fans meeting with J.K. Rowling

“Keren!” seruku masih tertegun. Dalam hati aku berharap, ini adalah gerbang awal yang ternganga lebar untuk berjumpa pujaan impian. Tertuju pada sosok Rowling, dan lebih-lebih  aku membidik tokoh yang dengan setia menempel dikamarku, yang selalu legowo meladeni sihir-sihir tiruanku.

“Kamu harus ikut, El! Pokonya harus! Kamu tidak tahu, seberapa pengorbananku untuk mendapatkan selebaran ini? Aku bersusah payah menerobos kerumunan orang-orang di departemen LITBANG sekretariat. Lihat! Hak sepatuku sampai copot gini.” Tukas Joana panjang lebar membeberkan kronogi peristiwa yang dialaminya. Bibirnya yang pink bermuda manyun memandang sedih jinjit sepatu kesayanganya itu terlepas dari tempatnya melekat.

“Aduh... Aku jadi terharu atas perjuanganmu sobat. Tapi, sorry... akhir bulan ini, aku akan ke Rinjani di Lombok,” aku menguji kesabaran Joana, menunggu reaksinya, apakah akan menyerah atau mengamuk tetap memaksaku berpartisipasi.

“Huffff... Setidaknya kamu harus mengganti sepatuku, sekarang. Aku memang tidak yakin kalau kamu juga bakalan menang, tapi aku, sebagai sahabatmu bisa mendengarkan jeritan batinmu tentang asa yang lama terpendam untuk berada lebih dekat dengan idolamu itu. ya, meskipun bukan dia hadiahnya, tapi setidaknya bisa bertemu penulisnya, itukan lebih seru,” gerutu Joana seraya duduk sambil menunjuk-nunjuk gambar kartun Daniel di cover novel itu. 

Darrr... aku terperenyak, tidak menduga Joana mengerti diriku sedalam itu, suka menulis dan impianku duduk bersebelahan, berfoto, dan minta tanda tangan dengan pemeran Harry Potter. Sejumput asa yang jauh untuk anak indonesia seukuran aku. Aku merebut sepatu berhak patah ditanganya, melihatnya lagi sekilas, “Oke... Aku akan mempertimbangkannya. Terima kasih telah mengikhlaskan sepatu kesayanganmu ini. Suatu saat nanti, aku akan menukarnya dengan sesuatu yang tak akan terlupakan olehmu.” Ujarku sangat percaya diri, darimana datangnya keyakinanku yang berlebih tentang kesempatan ini. aku merangkul manja Joana, karibku selama sepuluh tahun, mengenal betul siapa aku.

***
Malamnya, aku membongkar file-file lamaku yang tersimpan rapi dalam lemari. Hasil print out karya-karya kecilku yang masih belum layak terbit. Aku memilahnya satu persatu. Dengan kesabaran, aku mencari satu judul. Seingatku, aku menulisnya di tahun 2000, menjelang usiaku yang kesepuluh. Saat pertama kali membaca novel pertama, Harry Potter And The Pilosopher Stone. Saat inspirasiku tentang inggris bermunculan diotaku. Aku menulis cerita singkat ketika big ben dibajak para alien. Mengubah kiblat waktu bumi, membuat kekacauan dibelahan dunia yang lain. Kemudian, stonehenge, situs megalitik terbesar dunia tiba-tiba bergelantungan, melayang-layang di udara, dikendalikan oleh kekuatan mantra yang luar biasa. Kisah penyihir alien yang kubuat sembarangan berbalut kutipan, “Alien pun adalah penyihir. Manusia juga penyihir. Lalu siapa aku?” Yah, inilah imajinasi anak ingusan, hasil pemikiran yang tidak ilmiah.

Aku tersenyum bisa menemukannya kembali. Aku merogohnya di tumpukan terakhir dari beberapa buntelan yang ada, gesit meniup sehampar debu-debu halus yang menempel di bagian depan tulisan sekitar lima halaman itu. aku mendekapnya senang, bagai bersua dengan kawan lama, menguak memori masa kecil, membaca secara teliti kata-kata yang membentuk paragraf demi paragraf itu. 

Aku mulai mengedit tulisan usang itu, menambahkan seluit kata-kata penambah makna dan mengurangi sederet baris yang tidak perlu. Sampai tengah malam, mata kupaksakan untuk melek dan otak kuperintahkan untuk berpikir lebih kreatif, menjalar kemungkinan rangkaian fantasi ini menjadi menarik.

“Selesai...” desahku bahagia. Cukup bangga dengan diriku yang sudah berusaha menyulap karya uzur menjadi sesuatu yang lebih fresh

“Ya Tuhan, jika ini memang yang Engkau takdirkan, ijinkan diriku dan temanku, Joana, menginjakkan kaki di tanah Britania. Bukankah, ini adalah kado yang sempurna pengganti high heels yang hilang?” doaku di sela pagi yang belum bersinar.

***
Satu bulan kemudian...

Negaranya ratu Elizabeth, begitu nama tenarnya. Tidak kusangka, aku memijakkan kakikku disini, saat ini bersama sahabat terbaikku. Sontak udara  dingin khas benua putih menyambut kedatangan kami, menerpa tubuh yang sedari lahir beradaptasi dengan iklim tropis. Aku mengencangkan mantelku yang tidak terlalu tebal, menggosok-gosok kedua telapak tangan untuk mengusir hawa salju. Joana menggigil, tidak kuasa melawan dingin. Di bandara, kami terpaku, bingung bagai balita tersesat di keramaian. Mataku melirik ke kerumunan orang-orang yang sedang menunggu seseorang untuk dijemput. Di papan-papan itu tidak ada satu barispun nama kami tertulis.

“El, yang jemput mana?” tanya joana dengan suara yang sudah bergetar kedinginan. 

“Mungkin mereka telat kali,” ucapku seraya menoleh kesana kemari, sibuk mencari secarcik huruf atas nama kami. 

“Telat? Kok bisa? Emang orang Indonesia yang sering telat,” sindir Joana, sekarang dia menggandengku.

“Bule juga manusia. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Orang Indonesia juga tidak semuanya suka molor.” Timpalku.

“Ohhhh! Itu namamu, El... Jemputannya sudah datang!” Joana kegirangan, dia jingkrak-jingkrak melambai-lambaikan tangannya ke figur perempuan pirang yang tersenyum melihat kami mendekatinya. Aku tersenyum, mengeja sekali lagi sepotong papan itu, “Welcome in England, Elma Salsabila.” 

Akhirnya, hari itu datang juga. Hari dimana aku mendeklarasikan diri untuk menjelajah negeri ini. Ya, kawan, aku memenangi sayembara itu. Aku akan bertemu dengan pencipta sang penyihir fiktif, J.K.Rowling. Aku mengajak Joana, melaksanakan janji yang sudah terucap. Banyak agenda sudah kami rencanakan selama berdiam di negara persemakmuran ini. Buckingham Palace, Hampton Court Palace, Westminster Palace, London Eye, Menara Big Ben, Tower Bridge, Madame Tussauds, dan Kew Gardens, sederet tempat yang akan kami kunjungi. Khususnya Kew gardens, kebun botani nomer satu dunia, tempat impian Joana. Kecintaannya terhadap tanaman-tanaman, membuat Joana tidak henti-hentinya histeris membayangkan kalau dia akan memasuki wilayah itu dengan dikelilingi bunga-bunga indah. Kami tidak sabar akan menaiki London eye, menikmati panorama kota london dari ketinggian 135 meter yang berdiri gagah di tepi selatan sungai Themes

Namun, dalam buku catatanku, aku memiliki tempat khusus yang tidak akan mungkin terlewatkan. Oke, tempat-tempat indah yang aku sebutkan diatas adalah jajaran atas destinasi Inggris, tapi sebagai fanatik Harry Potter, aku sudah menyiapkan satu hari full untuk merapah jejak-jejak historis kota penyihir. Warner Bros Studios Leavesden Set Tour Hertfordshire, Harry Potter In Great Britain London dan Oxford, Kastil Alnwick, hogwarts school, serta yang paling membuatku berdebar-debar, aku akan menapaki setiap jengkal lokasi yang menjadi saksi bisu terlahirnya novel bersejarah itu, Edinburgh, Skotlandia, The Elevent House, kafe tempat Rowling menyusun draft untuk buku pertamanya. Ya, di kafe inilah, fans meeting akan digelar, seakan mengenang kembali awal bukunya tertulis.

Kami tiba dihotel, Citadines London Trafalgar Square Hotel. Kamar gratis yang cukup luas dengan jendela  menghadap hamparan kota. Indah sekali, london berbalut futuristik, kota kuno yang antik. Hari beranjak malam. Esok menuju ke Skotlandia, akan ada pertemuan dengan J.K.Rowling dan beberapa fans terpilih dari negara-negara lain. Kami bermalam mengusir capek, menanti besok yang lebih menyenangkan.

***
Pagi menyinsing. Liburan sesungguhnya dimulai, mimpi yang sekian lama terajut indah di hayalan, hari ini akan menjadi gelaran kenyataan yang tak akan terlupakan. Aku dan Joana berpisah di lobi hotel, kami memiliki tujuan masing-masing. Joana akan histeria dengan sederet kemegahan London, dan aku akan asyik menikmati keunikan Skotlandia.

Menaiki bus dengan rombongan peserta fans meeting, bersua dengan teman-teman yang memiliki kegemaran sama. Tiada henti kita bercengkrama, setelah perkenalan singkat pertanda basa basi pertemuan pertama.

Skotland, I’m comming...” teriakku membatin. Kami tiba, kini dihadapanku nyata, tegap berdiri bangunan sederhana namun penuh historis bagi kami, The Elevent House. Meski hanya pembaca setia, tapi kami merasakan jerih payah J.K.Rowling menumpahkan segala  kemampuannya untuk menghasilkan karya terbaiknya, di tempat ini.  Kami memasuki kafe itu dengan tertib, satu-satu duduk dikursi yang sudah disediakan. Aku tidak mau kalah, posisi terdepan harus kudapatkan. Aku ingin melototi Rowling selayaknya dia adalah jelmaan Harry Potter, walau keinginan terbesarku adalah didepanku sesungguhnya adalah Daniel Radcliffe

Pelaku utama pertunjukan muncul setelah beberap menit menanti. Sontak tepuk tangan membahan di ruang sesak itu. dengan anggunnya Rowling menempati singgasananya. Seorang ibu rumah tangga tulen dengan daya hayal sangat tinggi yang kini menjelma menjadi orang terkaya di Inggris.

Fans meeting berlangsung lancar. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut dipikiran kami selama ini terjawab sudah. Kami seakan lebih mengenal sosok Rowling secara lebih dekat. Tatap muka yang diakhiri dengan tanda tangan gratis. Walaupun berat, aku membawa semua koleksi novel Harry Potterku untuk dibubuhi coretan tangan Rowling. Hebohnya, aku mendapat pelukan nyonya penyihir. Setitik memori yang akan selalu terpatri dalam hidupu, dan memberiku inspirasi untuk terus berkarya meski akan berakhir di rak gelap lemariku.

“Seandainya Daniel juga ada disini, pasti hari ini akan sempurna.” Seruku dalam hati, masih menumpahkan hasrat terpendamku.

Setelah selesai acara di The Elevent House, kami serombongan diajak menjelajah sekolahnya para penyihir terpilih, hogwarts school.  Sekolah ini ternyata benar-benar ada, bukan rekayasa teknologi. Sebuah Kastil di Alnwick, Kastil tersebut adalah kediaman bangsawan Inggris yang masih tegak berdiri kokoh sejak abad ke-13 dan merupakan kastil  terbesar kedua yang ada di Inggris. Bangunan yang besar berdiri kokoh dengan gaya arsitekstur khas gothik Inggris kuno. Aku terkagum-kagum, tidak menyangka bisa menjamah bangunan ini. Aku menginjak rumput lapangan tempat Harry berlatih sapu terbang, aku memasuki perpustakaan bertumpuk koleksi buku-buku yang dibaca para penyihir. Dan kami dibolehkan menaiki menara tertinggi, sehingga dapat menikmati kastil megah itu.
Dua jam kami melihat semua sisi bangunan itu. saat melewati lorong keluar menuju pintu utama. Mendadak aku melihat bayangan masuk ruangan sebelah kanan. Aku terdiam, kemudian memisahkan diri dari rombongan. Rasa penasaran teramat besar untuk dihentikan oleh ketakutanku. Aku diam-diam menengok ruanga itu, ternyata ini adalah ruangan rahasia dalam film Harry Potter and the Chamber of Secrets. Aku berdecak mengawasi setiap sudut ruang. 

Oh My God...” desahku. Bayangan itu kini berdiri didepanku, melayang-layang. Herannya bulu kuduk-ku tidak berdiri,  malah aku menghayati suasana seram itu. Bayangan itu mengelilingi seraya tertawa. Aku membalas dengan senyuman termanisku, melambai-lambaikan tanganku tanda perjumpaan.

Hello, Harry...” ucapku pelan, sosok Daniel Radcliffe itu tiba-tiba terdiam. Badannya yang transparan sekarang menatapku garang, sama seperti pose di posterku lengkap dengan jubah dan tongkat sihirnya. Aku membalas tatapannya, tanpa takut. Dan “Bruggg....” Aku terkulai, pandanganku kabur, gelap.

***
Aku tersadar, menemukan diri tergolek di tempat tidur rumah sakit. Berbagai ekspresi wajah sekarang menatapku. Ada yang memandang kasihan, ada yang menggebu penasaran ingin mengintrogasiku tentang apa yang terjadi. Dan akau hanya tersenyum, bersyukur mereka menemukan, dan bahagia bisa bertemu Daniel Radcliffe meski itu adalah sebuah jin yang menampakan diri mirip seperti pemeran Harry Potter itu. 

“Impianku terwujud! Menginjakkan kaki di Inggris, berjumpa J.K.Rowling, dan bertemu Daniel Radcliffe.” Aku menjerit dengan bahasa Indonesia, membuat orang-orang di bangsal rumah sakit itu tertawa heran dengan kekonyolanku.

***
Aku balik ke london. Di hari terakhir kami di Inggris, aku dan Joana sepakat akan menaiki London eye. Diketinggian 135 meter kami menikmati kota London sembari berdekapan, terharu bahwa kini mimpi itu menjadi kenyataan.

-the end-
 








 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea