November 2017
Sejak hari itu, aku tidak menampakkan
diri di rumah sakit. Sudah seminggu ini,
aku tenggelam dalam pekerjaan yang tak
kunjung selesai. Berkali-kali dongjoo menelpon dan mengirimkan pesan singkat
tapi tidakku hiraukan. Aku hanya ingin menenangkan diri barang sejenak dan
berusaha menerima kenyataan itu dengan lapang dada.
Sekali lagi teleponku berbunyi, ini
pasti dari dongjoo lagi pikirku. Aku benar-benar tidak punya keberanian untuk
mengangkatnya. Malam semakin larut, tetapi jalan gangnam semakin ramai dipadati
massa. Mereka seperti tidak punya masalah dalam hidupnya, riang gembira berjalan
bergadengan tangan dengan sang kekasih, bahkan ada yang bergerombol sambil
bercanda dengan teman sebaya. Aku bagai sendiri di dunia ini, merasa sangat
kesepian ditengah kemeriahan kehidupan malam jalanan ibukota. Kerlap kerlip
lampu jalan dan benderangnya lampu deretan toko tak mampu menyinari hatiku yang
sudah terlanjur kelam.
Langkahku terhenti sejenak, kemudian aku
mencoba menutup telinga dengan kedua telapak tangan dan memejamkan mata
perlahan. Pikiranku mulai melayang, membayangkan bagaimana jika aku tidak bisa
mendengar seumur hidupku, bagaimana jika aku terus hidup dalam kesepian tanpa
suara sedikitpun. Tiba-tiba bayangan Haejun oppa terlintas dalam benakku
melihatnya menangis pertama kali seumur hidupku membuat aku begitu menderita, “apa
yang dia lakukan sekarang?, apakah dia baik-baik saja?,akankah dia mampu
menghadapi cobaan ini?”, tanpa sadar air mataku jatuh, terus jatuh mengalir
membasahi pipiku. Aku membuka mata kembali melihat ke sekitar, orang-orang
sangat sibuk dengan dunianya sendiri. Aku semakin terisak dengan kegelisahan ini,
langkahku semakin cepat, seperti orang tersesat dan tak tahu jalan pulang, aku
berlari dan terus berlari sampai pada akhirnya menemukan diriku tepat berdiri
didepan rumah sakit.
“Haruskah aku masuk?”, desahku putus
asa, sungguh kakiku sangat berat untuk melangkah barang sejengkal. Batinku
berkecamuk, “apa yang harus aku lakukan?”.
“jiyeon a,” suara itu memecahkan
kesendirianku. Aku menengok ke belakang dan melihat park jinhae melambaikan
tangan. Aku tertegun, karena seseorang yang tak kukenal menggandeng erat
tangannya.
“oh,,,annyeonghaseo,”[1]
sapaku dengan senyum dipaksakan. Pandanganku tak beralih dari perempuan
disamping jinhae. Aku menatap jinhae, memperlihatkan ekspresi penasaran ‘siapa
wanita ini?’.
“jiyeon a, perkenalkan ini istriku”
ucap jinhae penuh semangat. “Dialah orang yang aku ceritakan dulu” lanjutnya
menatap sang istri mesra.
“oh,,,begitu rupanya,
annyeonghaseo,,,saya kang jiyeon”, tukasku pura-pura terkejut, kemudian memperkenalkan
diri sembari mengulurkan tangan.
“annyeonghaseo, saya chaerim” balas
perempuan itu ramah menjabat tanganku.
“oppa, ibumu sungguh pintar menilai
wanita, dia mampu melunakkan batu karang yang sangat keras,sanggup mencairkan
hati yang beku bagai es” kataku dalam hati.
“kau tidak masuk?” Tanya jinhae
dengan telunjuk mengarah ke bangunan dibelakangku, membuyarkan pandanganku dari
istrinya.
“oppa, darimana kau tahu kalau haejun
oppa dirawat disini?” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaan jinhae terlebih
dahulu. Terlihat mimik kaget istrinya mendengarkanku memanggil jinhae dengan
sebutan oppa, namun sesegera mungkin dia kembali tersenyum.
“dongjoo yang menelponku, dia
mengatakan kalau hyeong sedang dirawat di rumah sakit ini” ujar jinhae.
“apakah kau mengetahui penyakit
haejun oppa?” tanyaku memastikan kalau dongjoo tidak membocorkan rahasia.
“dongjoo tidak mengatakan apa-apa,
dia hanya bilang kalau hyeong sedang terbaring lemah” jawab jinhae dengan wajah
polos yang memang tidak tahu apa-apa.
“mari kita masuk sama-sama,,,!”
ajakku bersemangat, entah darimana datangnya energi itu, tapi yang jelas, aku
akan memastikan kalau jinhae tidak akan pernah tahu bahwa haejun oppa telah
kehilangan pendengarannya.
September,2013
Sunkyunkwan university
Waktu terus berlalu, tanpa disadari aku semakin dekat dengan
jinhae walau hanya sebagai teman biasa, Tapi aku tetap senang karena dengan
cara itulah aku selalu bisa melihat wajah dan mendengar suaranya. Sifat
pendiamnya memang tidak berubah, dan aku harus berjuang setiap waktu untuk
memecah kebisuan. Terkadang aku membicarakan hal-hal yang tidak bermutu, entah
itu tentang masalah kuliahku, keluargaku, sampai hobi-hobiku, namun jinhae
dengan sabar duduk mendengarkan. Dia sesekali menanggapi dengan sedikit
senyuman paksa dan anggukan tanda mengerti.
Bagaimanapun aku melihat wajahnya selalu
dipenuhi dengan kegundahan, kali ini aku memberanikan diri untuk bertanya, “oppa,,apakah
kau baik-baik saja?” dengan nada penuh kekhwatiran. Dia hanya menggeleng, dan
jawaban itu membuatku semakin membujuknya.
“bukankah kita teman, tidak biskah
kau berbagi sedikit masalahmu kepadaku?” ucapku penuh kekesalan, memandangnya
dengan tatapan tajam. Aku menunggu-nunggu kata-kata apa yang akan dia ucapkan. Lima
menit pertama, hanya suara angin yang menghampiri telingaku. Sepuluh menit
berlalu jinhae masih saja terdiam.
“kalau kau tidak mau bicara,
baiklah,,,aku akan pergi dari sini!” ancamku yang kemudian beranjak menjauhi
jinhae.
“jiyeon a,,,,berhenti!”, jinhae
berdiri dari tempat duduknya. Seketika kakiku enggan untuk melangkah, aku
terdiam tanpa menengok ke belakang. Kemudian aku tersenyum simpul karena aku
tahu pasti dia akan bersuara.
“berhentilah menyukaiku!, semakin kau
menyukaiku, hidupku semakin menderita” terdengar nada jinhae penuh harap.
Langit bagai runtuh, bumi terasa
berguncang kuat, dan petir dahsyat seperti menghantam ragaku. Senyumku lenyap
seketika, wajahku memucat hebat, jantungkuku seakan berhenti berdetak ‘sejak
kapan jinhae tahu perasaanku?, bagaimana dia bisa tahu, siapa yang memberitahukannya?’,
suara batinku terus bergejolak, otakku seperti berputar mencari jawaban kesana
kemari atas pertanyaanku sendiri.
“kau tidak tahu betapa sulitnya aku
menghadapi situasi ini, ketika kita semakin dekat tiba-tiba ibuku sudah
menyiapkan calon istri yang pantas menurut dia. Aku tidak bisa menolak
permintaannya, karena ibuku sangat berharga. Ibuku sekarang sedang sakit, dan
permohonan terakhirnya sebelum dia meninggal yaitu aku harus menikah dengan
wanita pilihannya” isak jinhae dengan ekspresi wajah kacau.
Aku tidak bergeming sedikitpun, Kata-kata
jinhae membuatku tak kuasa bergerak. Hatiku terasa perih bagai teriris sebilah
pisau.
“jiyeon a,,,!” jinhae berteriak keras.
Karena aku terlalu takut menatapnya, aku masih terus membelakanginya, Air
mataku hampir tumpah dan aku berusaha untuk menahannya, jangan sampai jinhae
melihat sedikit pun kesedihan dimukaku.
Kemudian aku menghela napas, menenangkan
diri sebisa mungkin dan memutuskan untuk membalikkan badan dengan tersenyum
manis ke arahnya, berpura-pura tegar dan berkata “oppa, aku rasa kau salah
menilai diriku, aku tidak pernah menyukaimu, bahkan sampai saat ini kita hanya
bertemankan,,,”, aku berhenti sejenak, leherku seperti tercekik, suaraku seakan
tertahan, air mataku sudah tidak sabar keluar dari tempatnya tapi aku tetap
memperlihatkan wajah santai tak berdosa.
“ aku tidak pernah mengharapkan
lebih, jadi kau tidak perlu khawatir”, aku kembali memasang senyum paksa
menutupi semua kebohonganku.
“tapi aku……”jinhae berusaha menjawab,
namun aku buru-buru memotongnya.
“semoga kau bahagia, oppa” lanjutku
melihat wajah jinhae yang tanpa semangat, seperti putus asa. “tenanglah, aku
pasti akan hadir di hari pernikahanmu” kemudian aku melambaikan tangan untuk
terakhir kalinya dan berlalu dengan wajah sandiwara. Aku melangkah dengan
santai dan ketika jarakku dengan jinhae sudah cukup jauh, pada saat itu juga
air mataku akhirnya tumpah ruah, aku tidak bisa lagi menahan diri untuk
menangis habis-habisan, terus terisak sepanjang jalan pulang tanpa malu dengan
sekitar yang sekilas memperhatikan.
“aku bahagia bisa mengenalmu, dan menjadi
seseorang yang ada dihatimu. Sungguh aku kagum dengan sikapmu, aku ingin
seperti dirimu jiyeon a,,, ketika sedang sedih maka kau akan menangis, jika
merasa kesal dengan segera kau melimpahkan kemarahanmu, dan saat hatimu bahagia
tanpa sungkan kau akan tersenyum senang. karena tidak semua orang bisa
melakukan sepeprti yang kau perbuat, termasuk aku” jinhae bergumam pilu menyiratkan
kesedihan.
Bahkan sekarang aku tidak bisa
menolak permintaan ibuku, aku tidak bisa menangis bersedih, tidak sanggup
memuntahkan amarah dan tak mampu tersenyum bahagia. Kau berbeda, sekarang
walaupun kau tampak senang menanggapi kata-kataku dan mengucapkan kalau kau
tidak menyukaiku namun aku tahu bahwa sekarang kau sedang berbohong dan
menangis, jiyeon a,,,maafkan aku” lanjutnya merintih masih memandang lemas jiyeon berlalu
meninggalkanya begitu saja.
November,2017
Rumah sakit, kamar VIP 203
Sepanjang jalan menuju kamar haejun
oppa, tidak ada pembicaraan yang terjadi diantara kami bertiga. Aku, jinhae dan
istrinya chaerim terdiam dalam kerumunan orang-orang sakit yang lalu lalang. Hanya
chaerim yang sesekali melempar senyum kepadaku sedangkan jinhae diam membeku
dalam genggaman tangan istrinya. Mungkin tidak ada yang perlu dibicarakan atau
sekedar untuk basa basi pun aku kehilangan kata-kata.
Sekarang jinhae telah berubah, tidak
seperti ketika bersamaku dulu, kaku dan pendiam. Kini dia lebih sering mengajak
istrinya berbicara dan bercanda saling tersenyum mesra. Sedangkan aku sekarang,
hanya bisa mengamati mereka berdua walau dalam hatiku terbersit sedikit
cemburu, “kenapa dia tidak seperti itu kepadaku dulu” batinku.
Meskipun sedari tadi aku berjalan
disamping jinhae, dia Cuma sekali menoleh kepadaku dan selebihnya chaerim
adalah prioritas utama. Aku seperti
sebuah tiang di sepanjang jalan yang tidak dipedulikan. Aku mulai kesal
sendiri, jengkal kaki aku percepat dan mendahului mereka. Lorong ini terasa
begitu panjang, padahal hanya beberapa meter dari kamar haejun oppa.
“akhirnya sampai juga” aku
mendesah dalam hati. Dengan hasrat tinggi aku mempersilakan mereka masuk
setelah membukakan pintu. Langsung saja kedatangan kami disambut bersemangat
oleh haejun oppa, ternyata ada dongjoo dan jaewon juga di kamar itu. Jinhae dan
istrinya mendekati haejun oppa dan berkata “hyeong, bagaimana keadaanmu
sekarang?, cepatlah sembuh!,”.
“tentu saja, dia akan sembuh, iya kan
oppa?” aku menyerobot menjawab. Haejun oppa menggelengkan kepalanya kepadaku. Aku
sungguh bahagia melihat sikapnya kembali seperti biasa, tidak terlihat sedikit
pun gurat kesedihan di wajahnya.
“jinhae ya,,kalian tampak serasi”
ujar haejun oppa. Chaerim pun tersipu malu dengan pujian itu, dan jinhae
menanggapi dengan tersenyum.
“oh, jaewon ssi,,,bagaimana kabarmu?,
lama tidak bertemu” sapa jinhae akrab mengalihkan pandangannya ke jaewon. Jaewon
menjawab seadanya saja, karena mereka tidak begitu saling mengenal, bertemu pun
hanya beberapa kali ketika jaewon dulu datang ke kampusku ketika aku harus
menyelesaikan tugas wawancaraku.
Aku kemudian bereaksi berlebihan,
langsung melompat merangkul jaewon, terpaksa jaewon harus menundukkan badannya
yang tinggi karena lenganku yang pendek melingkar dilehernya , sontak semuanya
menatap heran dengan tingkahku.
“kenapa kalian menatapku seperti itu?”
aku menampakkan muka sengaja tidak mengerti. Mereka hanya memunculkan senyum
tak peduli. Aku kemudian menghampiri haejun oppa yang duduk berselimut di kasur
empuknya, aku memandangnya lekat-lekat “mianhae[2],
aku baru bisa datang sekarang” ucapku bernada manja seperti biasa dengan muka
merekah. Haejun oppa langsung melayangkan jitakannya ke kepalaku dengan muka
sok kesal, karena gerakannya yang terlalu cepat, aku tidak bisa menghindar
dan mengusap kepalaku sambil mengaduh sakit.
“kenapa kau baru muncul sekarang!,
aku kesepian di sini sendiri” ucapnya. Aku nyengir saja didepannya.
“oppa, jangan khawatir,,! aku akan
selalu berada disampingmu” desahku dalam hati. Aku mengarahkan pandangan curiga
ke arah dongjoo yang sedari tadi berdiri santai menatapku nanar di samping
haejun oppa “dongjoo ya,,,apa jaewon tahu rahasia ini?” gerutuku geram dalam
hati.
***
Taman rumah sakit
Sore , pukul 16.00
“jaewon a, bagaimana studimu?”
tanyaku. Jaewon terlihat sangat menikmati suasana taman ini, taman tempat
haejun oppa selalu bertingkah seolah-olah mendengarkan musik dan menghirup
udara segar.
“siapa yang memberitahumu kalau
haejun oppa sakit?, kau tahu oppa sakit apa?” aku terus menyerang jaewon dengan
pertanyaan-pertanyaan tanpa menunggu jawabannya satu-satu.
Jaewon tersenyum ketus
mendengarkanku, dia menatapku hangat “kau masih jiyeon yang dulu” ucapnya
datar, sikapnya terlihat sangat dewasa dan pintar. Aku menciut di depannya,
merasa sangat kerdil, keangkuhan yang dulu masa SMA seperti menjauhiku. Kenyataan
gelar di belakang namanya membuktikan saat ini dia adalah seorang master IT,
sedangkan aku hanya sarjana biasa yang ilmunya tak seberapa.
“aku sudah menyelesaikan pendidikan,
mulai sekarang aku tidak akan kemana-mana lagi. Saat sampai di rumah aku
mengabarkan dongjoo tentang kepulanganku dan bertanya bagaimana keadaan hyeong,
dia mengatakan kalau hyeong sakit, ketika aku tanya hyeong sakit apa, dia malah
mengatakan kalau aku tidak perlu
khawatir. Dan saat melihat hyeong, dia sepertinya tidak menderita” jelas jaewon
panjang lebar tetap dengan mimik muka kalem.
Aku manggut-manggut serius
mendengarkan jaewon dan menghembuskan napas lega, dongjoo sejauh ini menepati
janjinya pada haejun oppa untuk tidak memberitahukan siapapun termasuk aku. aku
bersorak senang dalam hati, rahasia ini masih tersimpan rapi selama dongjoo
tidak membuka mulut.
“jiyeon a, aku ingin menanyakan
sesuatu….” Tiba-tiba suara pesan singkat masuk, aku mengangkat tangan isyarat
memotong perkataan jaewon. Aku melihat layar HP, jelas tertulis “aku
menunggumu di tempat biasa, sekarang..!”.
“jaewon a, aku harus pergi, pertanyaanmu
yang tadi lain kali saja ya,,!” teriakku sambil berlari terbirit-birit memperlihatkan tanda oke dengan tanganku.
“apakah kau masih menyukaiku, jiyeon
a walau sedikit saja?,” tukas jaewon.
“aku ingin sekali menanyakan prihal
ini, tapi kau malah pergi begitu saja seenaknya, apakah pesan itu dari hyeong?,
gadis bodoh!”lanjut jaewon kecewa karena dia merasa tidak ada kesempataan lagi
untuk menanyakannya lagi.
“sungguh bodoh diriku ini, aku
melepaskanmu begitu saja dulu. Kini aku menyadari kau sangat berarti, aku begitu
kehilangan dirimu. aku bisa membaca dengan jelas dari lakumu bahwa hatimu
sekarang hanya untuk haejun hyeong ” batinnya menyesali perbuatannya lima
tahun lalu.
Agustus 2012
Tugas kuliah mempertemukan kembali aku dengan jaewon. Kami
lebih sering bertemu, entah kenapa rasa sukaku ketika SMA dulu muncul kembali,
cinta lama bersemi kembali. Setelah tugas wawancara selesai, kembali kami
jarang bertemu. Aku mulai resah dan gelisah, pikiranku antara jaewon dan
jinhae. Karena sampai saat ini jinhae tidak merespon keberadaanku, aku sempat
akan mengejar lagi jaewon. ‘sambil menyelam minum air, dua lalat sekali
tangkap’ ingin sekali aku menerapkan pepatah ini.
Kemudian jaewon mengajak bertemu di café
favoritku. Aku sudah membayangkan dia akan menyatakan sukanya, tapi sungguh
nasib tidak berpihak kepadaku. Dia malah mengabarkan akan pergi kuliah ke luar
negeri dan tidak tahu akan kembali. Spontan saja aku mengatakan menyukainya
agar dia mengurungkan niatnya. Tapi dia tetap kukuh, masa depannya akan
ditentukan dengan pendidikannya kali ini. aku pasrah dengan yang terjadi,
bahkan jaewon tidak menjawab perasaanku. Dia hanya berlalu dan menghilang di
tengah derasnya guyuran hujan.
Aku menyalahkan diri sendiri, betapa
terlihat bodohnya aku berkata kalau menyukainya. Tidakkah sangat lucu, dan
mungkin paling menggelikan ketika jaewon tidak jadi pergi karena ulahku. Aku
tersenyum pahit, dan berpikir sungguh egoisnya diriku ini.
November 2017
Teras atap rumah sakit
Dengan napas tersengal-sengal
kecapekan, aku mendekati dongjoo dan menyenggol lengannya yang lagi asyik
menikmati kopi ditemani sunset sore yang tampak memamerkan keindahannya. Mimik
muka marah langsung menyerangku, dia terdiam kesal seperti aku sudah melakukan
kesalahan yang tidak bisa termaafkan.
“kau marah padaku? Lihat mukamu
sungguh mengerikan” aku menyengir mengalihkan pandanganku dari mukanya yang
merusak suasana.
“kemana saja kau selama seminggu
ini,,,,telepon dan pesanku tidak pernah dibalas” desah dongjoo tak bersemangat,
kembali dia meneguk kopinya habis.
Aku menunduk lesu, menyadari sikapku
yang pengecut tak menerima kenyataan. Aku tidak bisa membela diri di depan
dongjoo, alibiku mungkin hanya akan memperparah keadaan. Aku memilih diam
beberapa saat.
“aku sudah tidak tahan dengan semua
ini, sekarang dengarkan aku baik-baik!” dongjoo memegang kedua lenganku
menghadapkan tubuhku tepat didepannya.
“haejun hyeong…..” dongjoo kembali
menarik napas, mulutnya seperti gagu, susah mengeluarkan kata-kata yang sudah
ia rangkai.
“aku sudah tahu, jadi kau tidak perlu
mengatakan apa-apa!” ucapku biasa memotong lanjutan kalimat yang akan
dilontarkannya.
Dongjoo kaget mendengarkan,
cengkraman tangannya terasa lemas dan melepaskan kedua lenganku, dia menunduk
dengan matanya yang memerah.
“maafkan aku, baru mengatakannya
sekarang…hyeong menyuruhku untuk merahasiakan semuanya darimu dan juga semua
orang” desahnya lesu.
“malam itu aku mendengar semuanya,
yang paling menyakitkan aku menyaksikan oppa menangis. Bahkan di saat
keadaannya seperti itu dia masih memikirkan perasaan orang lain” gumamku
sambil menepuk punggung dongjoo
menenangkannya.
“aku tidak berdaya, aku tidak bisa
menolongnya dengan ilmu dan kecanggihan kedokteran modern sekalipun. Syaraf
pendengarannya sudah rusak total” isaknya. Dongjoo menangis menyesal.
“ini bukan sepenuhnya salahmu dongjoo
ya, jadi kau tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Aku ingin bertemu dengan
park Hayoung, bisakah kau mempertemukan kami?” mintaku memohon kepada dongjoo.
“park hayoung?,” ucap dongjoo heran.
“sebelum kecelakan terjadi, oppa
pernah mengirimkan pesan kalau dia pergi bersama hayoung ke busan. Itu sehari
sebelum oppa ditemukan tak berdaya dipantai busan” jelasku, kembali aku
mengingat saat-saat itu.
“apakah kecelakaan itu ada
hubungannya dengan hayoung?”Tanya dongjoo penasaran.
“aku juga tidak tahu, sekarang aku
hanya berharap kau merahasiakan ini dari jinhae dan juga jaewon, mengerti!,
bersikaplah seperti oppa bisa mendengarkanmu, seperti biasa sebelum kecelakaan
menimpanya” ucapku yakin.
Dongjoo mengangguk faham, “jiyeon a,
apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” tanyanya.
Aku menatapnya dengan senyum licik, “kau
lihat saja nanti” tukasku dalam hati.
“mulai sekarang jangan menghilang
lagi jiyeon a, tetaplah disisi hyeong apapun yang terjadi. Mantapkan hatimu!” batin dongjoo.
Bersambung……
siiip lanjutkan... :D
BalasHapuscemungut,,,,,,,
Hapus