Sabtu, 05 Oktober 2013

JERAWAT

Diposting oleh mongyimongyi di 09.12 3 komentar

“tidak!” teriakanku menggelegar di pagi buta. Sontak seisi rumah menghampiri kamarku tergopoh-gopoh. Pintu kamar di dobrak. Ayah, ibu dan abangku yang katanya paling ganteng seantero kompleks RSS (Rumah Sangat Sederhana) melotot kearahku yang sedang mematut cemberut di depan cermin.
Aku menunjuk jerawat besar dipipiku, masih dengan mimik jengkel. Ayah dan mamaku berbarengan menghela nafas, geleng-geleng heran dengan frustatsiku karena bisul menyebalkan itu. Abangku yang jahil berulah “wah, bengkaknya besar banget. Plak…” tanpa ampun telapak tangannya mampir dipipiku. Aku yang tanpa antisipasi mengerang kesakitan. Berguling-guling di lantai menahan tamparan mematikan. Tidak ada saksi atas penganiayan ini. Mama dan ayah sudah berlalu sedari tadi. Sedangkan abangku, sebagai pelaku kejahatan cekikikan menonton penderitaanku.
“awas, akan kubalas!” ucapku penuh dendam, tetap memegang pipi yang mulai memerah. Kuakui memang wajahku tidak mulus-mulus amat. Tapi setidaknya tidak pernah muncul jerawat sebesar ini dimukaku yang cukup terawat.
“bisul sekecil itu, hebohnya gak ketulungan!” gerutunya. Abangku yang paling usil sedunia melenggang bebas keluar kamarku tanpa peradilan. Sungguh sadis, tidak ada rasa penyesalan tergurat diwajahnya. Abangku menganggap jerawatku kecil, tapi bagiku itu sudah terlampau besar dihitung dari tingkatan penyakit bisul.
***
Pagi ini, aku terpaksa satu mobil dengan sang terdakwa, gara-gara mama dan ayah pergi reunian. Perjalanan ke sekolah terasa sangat lama.Padahal kalau diantar mama cukup 15 menit saja sudah sampai. Aku membisu di balik masker wajah penutup bisulku. Abangku malah tersenyum geli melihat marahku yang tak kunjung mereda.
“kecantikan itu tidak seluruhnya dinilai dari luar. Inner beauty itulah yang terpenting. Jadi, jerawat seimprit gitu enggak akan menghalangi laki-laki terpesona kalau tingkah lakumu indah” ceramah abangku, lekas memegang kepalaku yang berjilbab. Aku melihat segudang perhatiannya kepadaku, adik manja satu-satunya.
Sampai  sekolah, ramai teman-temanku bergerombolan didepan mading. Mereka berbisik-bisik sesekali tertawa kegirangan. Barang ada sesuatu yang lucu dan menarik perhatian mereka. Karena tidak biasanya mading itu dikerumuni seperti halnya kantin sekolah. Aku menerobos kedepan dan terpampang nyata poster “seminar kecantikan produk Korea, facial gratis, jerawat out!”. Mataku terperangah tak berkedap kedip membaca setiap detail isi poster. Tidak terlupakan, waktu dan tempat sudah ku simpan rapi-rapi didalam otak.
 “Aku harus ikut, pokoknya harus. Tidak ada yang bisa menghalangiku termasuk abang!” batinku bersemangat. Hanya dengan secarcik kata di poster, hilanglah kejengkelanku yang tadi pagi. Aku melenggang santai melewati koridor, menebar senyum tersembunyi ke sekitar menuju ke ruang kelas.
***
Hari yang dinanti tiba. Bertepatan dengan libur mingguan sekolah. Pagi sekali aku sudah berdandan rapi. Jerawat yang ditepuk abangku kian membengkak, bahkan sudah masuk fase bernanah.
facial, facial, goodbye jerawat!” suaraku bergembira. aku jingkrak-jingkrak kegirangan, mengendap melewati ruang keluarga yang sedang ramai. Ayah dan abangku sedang asyik bermain halma dan ibuku berisik dengan suara gossip pagi yang tidak pernah tertinggalkan.
Teman-teman seperjuanganku sudah menunggu depan pagar. Tanpa mengantongi ijin keluar rumah, aku melesat bagai angin, tak terdengar dan tak terlihat. Serta merta langsung mobil tumpangan ngebut menuju target.
Seminar dimulai. Sangat bersemangat aku mengikuti dan mencatat tips-tips agar berwajah kinclong ala bintang Korea. Mulai dari rajin minum air putih tiap hari, makan apel hijau setiap pagi, hindari makanan berlemak dan tentunya rajin-rajin menyambangi salon untuk berfacial ria.
“memang butuh perjuangan untuk mendapatkan wajah impian seperti Song Hae Kyeo” gumamku seraya mengelus-elus mukaku yang rada kasar.
Seminar usai, waktunya facial gratis. Semua peserta berhamburan, berebut ingin dipermak. Aku tidak mau kalah. Aksi beringasku keluar menembus pagar betis yang panitia pasang. Aku melupakan teman-temanku demi nomor urut terdepan. Usahaku tidak percuma, nomor 17 sekarang sudah ada di kantong. Aku tertawa nyengir melihat teman-teman senasibku berada di barisan paling bontot.
Satu persatu peserta bergiliran masuk sesuai nomor antrian. Jantungku  dag dig dug senang menunggu saat namaku akan dikumandangkan. Betisku yang sudah menjerit kesakitan tak terdengar oleh otakku untuk duduk istirahat.
“Alma salsabila!” panggil panitia lantang. Aku bergegas maju dengan suasana hati yang tak tergambar. Seorang perempuan 30 tahun-an menungguku dengan senyum merekah. Berbagai ramuan kecantikan merek x sudah tertata rapi di tempatnya. Gosipnya, asli didatangkan dari korea.
“silakan duduk mbak!, saya akan segera memulai perawatan mukanya” sapa perempuan itu sambil menunjukkan kursi khusus khas salon kecantikan.
Aku sok malu-malu, padahal dalam hatiku sudah tidak sabar menerawang hasilnya. Setelah duduk nyaman, aku sedikit melirik ke botol kemasaan itu, made in korea. Aku semakin sumringah. Akhirnya tercapai keinginanku yang membara. Bertampang mulus bagai porselin.
Layaknya percontohan kaum atas, menghabiskan jutaan rupiah untuk sekedar memoles muka. Aku duduk rileks, menikmati setiap inci pijatan dimukaku. Bisul yang menempel digosok-gosok sampai rata membuatku sedikit mengaduh. Tidak apa-apa bersakit-sakit dahulu pikirku. Jatah setengah jam membuatku ketagihan. Polesan terakhir, wajahku di semprot-semprot cairan bening seperti yang pernah aku saksikan di drama-drama korea. Entah cairan apa itu, namun sejuk menembus pori-pori parasku yang mulai bersinar.
Aku pulang berbunga-bunga seraya membayangkan tatapan silau mama, ayah, dan abangku. Di perjalanan menuju rumah, tiada henti aku berfoto di ponsel jadulku. Membandingkan sosok lamaku dengan figur baruku yang berkilau. Jendela metro mini tak pelak jadi tempat berkaca. Kalau diterka, mukaku jauh lebih jernih.
“senangnya, pasti aku akan menjadi pusat perhatian besok disekolah” seruku narsis, sekiranya melupakan kawan-kawanku yang teler masih menunggu antrian.
***
oh my god!” suara abangku melengking, membuatku terbangun sebelum azan subuh berkumandang. Jarum wekerku tengah merangkak di angka empat, masih lumayan jauh dari bilangan lima lebih lima belas.
Aku meringsuk malas,  Merengek-rengek, menendang-nendang selimut dan boneka-boneka diatas kasur. Tidak rela terjaga di waktu sedini ini. Aku menatap abang nanar walau mataku berat untuk terbuka. Namun, rautnya terbilang aneh. Tidak tergelak maupun terkekeh seperti biasa. Dia terperangah dengan mulut menganga shock bagai bersua hantu suster ngesot. Aku jadi merinding, gusar melirik ke sekitar. Abangku mengarahkan telunjuknya ke wajah  koreaku kemudian terbirit-birit menghindar.
Aku mengangguk mengerti, senyumku melebar jumawa “abangku saja terpesona” batinku bergejolak. Kantukku tiba-tiba sirna, aku beranjak gemulai menuju meja rias.
“mama!” suaraku berdengking memenuhi rumah. Wajahku membengkak merah, seperti terserang lebah. Aku meraba-raba muka impianku yang berubah menjadi boomerang. Terasa kesemutan yang cukup menyakitkan hati dan ragaku. Seketika lenyaplah  khayalanku menjadi gadis tenar di sekolah. Aku meraung-raung terisak. Abangku diam-diam kembali mendekat dan memelukku ikut prihatin.
Seminggu berlalu, bengkak tak kunjung menyingkir dari wajahku. Satu pekan pula aku terpaksa absen di sekolah. Kerjaanku uring-uringan meratapi nasibku yang sial. Teman-temanku menuntut akan datang membesukku, tapi bahkan bayangannya pun tak terlintas. Di satu sisi, aku bersyukur juga mereka membatalkan rencana paksaannya, mau disembunyikan dimana mukaku yang berantakan ini. Tapi di pihak lain, kemalangan menantiku. Pasti di kelas sudah beredar gossip tentangku yang tidak karuan.
“produk kecantikan itu perlu keserasian dengan kulit kita. Bisa saja ada gejala alergi, Walaupun itu buatan korea. Contohnya adik, mukanya sampai tembem begitu” jelas mamaku enteng seolah tidak ikut bersimpati.
“jangan  terlalu berambisi secantik artis-artis korea. Coba pikirkan, langit tropis dengan iklim empat musim. Tentu kulit kita pasti berbeda!. Be yourself, dek!, makanya kalau suka sesuatu jangan sampai seekstrim begitu, yang biasa-biasa sajalah…” kata abangku bijak memperingatkanku.
Aku merasa beruntung. Untuk pertama kalinya berterimakasih pada Tuhan dianugrahi kakak. Dibalik kejahilannya selama ini, abangku diam-diam melindungiku. Aku tersipu, pengaruh drama korea yang aku tonton setiap hari tanpa absen, begitu besar menempel disanubariku. Paras ayu Song Hae Kyeo merebak diotakku, membuatku lupa diri. Padahal Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dan rupa. Seharusya aku bersyukur dikaruniai wajah tanpa cacat.
***
Kulit wajahku kembali seperti sedia kala. Aku sudah bertekad tidak akan tergiur lagi pada iklan produk kecantikan korea. Bahkan kiblat dramaku berubah ke Negara matahari terbit yang terkenal cantik alami.
Sampai di depan gerbang sekolah, gelaran tikar membentang. Tapi ternampak sepi, hanya tiga empat siswa yang mendekat. Kembali perasaan ingin tahuku menyeret untuk merapat. Namun aku berusaha menuruti kata hatiku yang masih berpaku pada tekad. Tapi ujung-ujungnya azamku terkalahkan. Perlahan namun pasti, kakiku meminta untuk ikut nimbrung. Sejengkal demi sejengkal langkahku bergerak dan tepat berdiam di depan tumpukan kosmetik bermerek terkenal yang sering tersiar di televisi.
Instingku mulai ngelantur dan diamini oleh mata dan tanganku untuk bergerak memilih dan memilah mana yang sekiranya sesuai dengan kulit khatulistiwaku. Aku tercekat, mata dan tanganku kompak, terkesima dengan botol berbandrol “KS III”, Brand bermutu made in japan. Bagai ada seseorang yang berbisik ditelingaku “jika kamu memakainya, kau akan secantik Kyoko Fukada”. Ragaku tersentak, tergurat senyum jahatku dan aku mengangguk pasti akan membelinya.



Rabu, 25 September 2013

pojok skill LAB

Diposting oleh mongyimongyi di 13.11 2 komentar

cerita dari sudut skill LAB kedokteran di hari menjelang sore...
cast. Oficce Boy...aku memanggilnya para ajjussi (bahasa korea ; sebutan untuk laki-laki berumur) karena aku maknae (bungsu) di LAB ini.

"bang, cariin kutu saya dong..."pinta ajussi berbaju kotak-kotak. dengan semangat ajussi berjaket hitam merambah kepala  berambut ikal itu. perlahan namun pasti ajussi berjaket hitam menemukan hewan kecil penyebab gatal itu. ajussi berbaju kotak-kota kegirangan melihat mahluk yang membuat tidurnya tidak bisa pulas. ajussi berkemeja hitam lekas terkekeh-kekeh memperhatikan kedua sahabat senasibnya itu, seraya meneguk secangkir kopi susu gratis.

"makanya jangan malas sampoan!" omel ajussi berjaket sok tua. ajussi berbaju kotak-kotak hanya mengangguk-ngangguk, layaknya seorang anak kecil ingusan yang dimarahi bapaknya. sekali lagi ajussi kemeja hitam cekikikan. dia menyerup kembali sisa kopi sembari menjulurkan kakinya yang pegal-pegal sehabis mengepel lantai.

aku menonton dari balik pintu, lelah menahan ketawa. selalu ada keceriaan kalau ketiga ajussi ini berkumpul di skill LAB.....

#PeopleAroundUs day15

Jumat, 20 September 2013

Berjumpa Lagi

Diposting oleh mongyimongyi di 13.10 2 komentar



"jika tua nanti kita hidup masing-masing"
"ingatlah hari ini"

lagu project pop sangat pas menggambarkan kisah kami, para alumni kimia06 UNRAM. berbagai suka dan duka dibangku kuliahan menjadi memori indah tersendiri di ingatan kami. bersama-sama selama empat tahun lebih, bukan waktu yang singkat untuk membuat kenangan yang sulit terhapuskan. dan hari itu, kami dipertemukan kembali. ketika kesibukan berbeda membuat kita terpisah, tak ayal kenangan bersama menjadikan kita bersua kembali. kebahagiaan terpancar dari wajah kami. perjumpaan yang sudah lama dinanti akhirnya terwujud jua.

celoteh kami tentang masa dulu dan sekarang selalu menjadi headline news yang wajib dibahas. teman-temanku bercerita bagaimana asyiknya menempuh jenjang S2, dan sebagian lagi heboh dengan pengalaman kerja mereka masing-masing. bahkan kehidupan rumah tangga untuk yang sudah menikah menjadi cerita yang menarik untuk kita simak. sungguh menyenangkan !.

aku berharap, suatu hari nanti kita bisa dipertemukan kembali....
Amin.....

#PeopleAroundUs day 10

Kamis, 19 September 2013

Beberok Lombok

Diposting oleh mongyimongyi di 13.17 2 komentar


sampai jarum jam berdentum di angka 11 malam. perut kami belum jua terisi. tidak ada yang bisa dimakan di kos malam itu kecuali nasi. hanya ada segelintir bumbu-bumbu dapur sisa yang masih cukup layak untuk diolah. mie instan yang biasanya selalu menjadi tumpuan terakhir amblas tak berbekas. kami berenam termangu di tepian tangga menunggu makanan jatuh dari langit. baru pertengahan bulan, dompet sudah sangat menipis dan mungkin lebih tepat dibilang kosong. serempak september ini, kami dilanda kemelaratan. upah yang tidak seberapa, habis di awal untuk menutupi hutang bulan lalu.

"kalian sanggup menahan perut kosong sampai pagi?" tetua kos mengangkat suara, membuyarkan khayalan kami tentang menu-menu berkelas. kami menggeleng pasti tidak akan bisa tidur nyenyak dengan suara perut yang terus bernyanyi.

"bagaimana kita buat BEBEROK aja, tapi jangan pedas-pedas?" ideku tak bersemangat. makan beberok di malam buta ini, sungguh bukan pilihan tepat.

bersegeralah adik kosku beranjak ke dapur. memilih dan memilah bumbu-bumbu yang masih tersisa. alhamdullilah, lengkap bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sambal tomat mentah itu. dengan semangat 45 dia menguli bumbu-bumbu itu menjadi satu.

walau tidak seenak ayam atau daging sapi, berkat beberok kami tidur nyenyak malam itu.
terimakasih "beberok".

#PeopleAroundUs day 9

Suami Brondong

Diposting oleh mongyimongyi di 09.29 7 komentar
“kak, jemput, adik udah selesai pengajiannya ni...” dengan nada manja Rany menelpon suaminya.
what, kakak?” teriakku dalam hati. Aku shock mendengar Rany memanggil suaminya dengan sebutan kakak. Memang bukan rahasia lagi kalau suami Rany lebih muda lima tahun dari dirinya. Bahkan semua akhwat di kampus tahu prihal itu.
ukh,,, syukron ya. Ini HP-nya” tutur lembut Rany dilengkapi senyum khas lesung pipinya yang selalu membuatku iri.
Aku masih terperanjat, setengah sadar aku mengambil HP yang disodorkannya. Sebegitu percaya dirinya Rany memanggil suaminya ‘kakak’ yang notabene panggilan kakak adalah untuk seseorang yang memiliki umur lebih tua. Namun ada sebersit kekagumanku pada sosoknya, dia berani membuat keputusan untuk menikahi seorang ikhwan yang lebih tepat dipanggilnya adik. Sedangkan aku, Quenna Az Zahra, masih melajang hingga kini. Padahal usiaku akan menginjak kepala tiga sebulan lagi, tapi masih belum menemukan tambatan hati yang akan memimpinku mengarungi samudra dakwah ini. Aku terlalu asyik bermain di zona aman, masih memperhitungkan pergunjingan orang tentang diriku yang mempunyai suami brondong.
***
“tidak ada salahnya suami kita lebih muda. Malah sekarang lagi ngetrend di kalangan akhwat” sela Aisyah nimbrung di tengah diskusiku dengan Ulya. Ternyata sedari tadi dia mencuri dengar percakapan kami.
“adik ini, gak sopan menguping pembicaraan orang!” aku membela diri, memasang muka sewot.
“Rasullulah saja lebih muda lima belas tahun dari istrinya, Siti Khadijah. Nah, ini mending mbk Rany cuma terpaut lima tahun, masih wajarlah” Aisyah nyengir merasa sudah memukul KO aku. Terlihat wajah puas, mungkin dengan itu bisa memotivasiku untuk segera menikah.
“itu dengarkan, adik kecil aja ngerti” sindir Ulya, sangat mendukung aksi Aisyah. Aisyah merangkul manja Ulya, mereka saling mengedipkan mata tanda bersekutu membujukku untuk segera memilki pasangan.
“tapi tidak ada salahnya kalau aku menginginkan yang lebih tua, terpaut satu tahun juga tidak apa-apa” gerutuku cemberut, memalingkan muka dari mereka. Dirumah ini tidak ada seorangpun yang memihak kepadaku. Apalagi Umi dan Abi sudah angkat tangan dengan tema ini.
“kalau yang seumuran, mau?” goda Ulya, kembali memancing emosiku yang sudah membeludak-bludak. Aku kian menciut, tiada ruang untuk membela diri lagi. Kata-kata penangkalku terpatahkan, kisah teladan nabi benar-benar senjata ampuh yang mematikan.
“gimana, mau enggak?. Aku sudah ada calonnya ni,,” Ulya semakin ngotot, dia lekas membuka tasnya dan mengambil selembar foto. Bahkan Aisyah kembali berulah, dengan sengaja adik kecilku itu melambai-lambaikan gambar itu di depan mataku.
Sekilas aku melihat, seorang Ikhwan berparas tampan sedikit berjenggot. Sengaja aku mengernyit tak berselera, menjauhkan pandanganku.
“Namanya Azka” ungkap Ulya tersenyum yang kemudian menyerahkan foto itu kepadaku. Dia berpamitan segera meninggalkan kamarku.
“hei, cuma itu doang informasinya!” teriakku, merajuk di atas kasur.
“penasaran ya!” goda Aisyah, membuatku semakin memanas. Usiaku yang terpaut sepuluh tahun dengannya tidak menahan kami untuk menjadi akrab. Bahkan dia kadang-kadang lebih bijaksana dariku.
“untuk selebihnya,,aku tunggu jawabanmu tiga hari lagi. Pertimbangkanlah, perhatikan gambar itu secara seksama, OK” sahut Ulya seraya melemparkan kecupan perpisahan dari jauh.
Aku menjatuhkan diri di kasur. Meringsik-ringsik gemas dengan tingkah sahabat baikku itu. Menggeliat-geliat bagai cacing kepanasan, sangat tidak puas dengan secuil fakta dan selembar foto saja.
“ada apa denganku?” pertanyaan yang jawabannya masih misteri.  Pandanganku tetap terpaku pada foto itu. Derap-derap Tanya muncul dibenakku. Siapa dia?, seperti apa dia?, apa pekerjaannya?, pendidikannya?, semuanya tentang dia membuatku penasaran. Aku sangat ingin tahu siapa sosok Ikhwan ini.
***
Di sebuah Hypermart, Rany menggandeng mesra suaminya. Mereka Nampak sangat menikmati berbelanja sembari berpacaran. Maklum seorang akhwat, masa lajang ditempuh tanpa kekasih pujaan, setelah menikah setiap hari serasa bagai romeo dan juliet.
Aku tersipu melihatnya. senyum-senyum sendiri membayangkan nanti kalau aku menikah mungkin akan seperti itu juga, terus menempel pada suami. Tapi dengan segera mimikku berubah, aku menunduk cemberut, menghadapi kenyataan bakal calon perawan tua kalau tidak segera bertindak.
“Iri ya...” suara menyindir Aisyah, lagi-lagi membuatku memanas.
“siapa yang iri!” ucapku ketus membuang muka.
“wah,mbk Rany mesra banget ya...” Aisyah menggelitik pinggangku, lekas pergi menghampiri Rany dan suaminya. Akupun ikut nimbrung, walau ada rasa malas untuk mendekat.
Setelah berbincang seadanya, Rany berbisik kepadaku “bersegeralah untuk mengerjakan kebaikan, temanku!” aku tersentak, mukaku memerah . Kemudia dia dan suaminya pamit, pergi begitu saja setelah mengatakan itu tanpa rasa bersalah akan menyinggung perasaanku.
Semakin malu diriku. Terbersit tawaran Ulya dibenakku, sudah lebih seminggu aku belum memberikan respon atas foto yang dia sodorkan. Berkali-kali dia menerorku untuk kepastian ke tahap selanjutnya, namun aku selalu meminta waktu lebih untuk berpikir. Sholat istiharah pun tidak luput kulakukan, namun belum jua keyakinan hatiku tertancap mantap.
***
mencarimu kasih bagai mencari mutiara putih”
“walau ke dasar lautan sanggup ku selami”
“namun tak percaya apa yang telah aku terjumpa”
“kau sebutir pasir tak berharga
Nasyid dari Unic mengalun syahudu, menemaniku di sore yang mendung nan indah. Aku berkutat dengan bisikan Rany yang terus menghantuiku. Ditambah bayang-bayang wajah Ulya yang sedang menunggu jawabanku. Aku meraih foto Ikhwan itu, memperhatikannya lagi.
“baiklah,,aku putuskan akan mengenalmu lebih dekat” suaraku lantang meyakinkan diri seraya menunjuk-nunjuk wajah Azka.
 Aku meraih handphone yang ada di laci meja rias. Seraya mematut di kaca, aku mengangguk-ngangguk semangat untuk memencet nomor Ulya.
 “Assalamu’alaikum, ukhti” suaraku berat agak grogi.
wa’alaikummussalam” jawab Ulya ceria, seolah sangat menantikan sapaanku.
“ukh, ana sudah siap sekarang. Bisakah dilanjutkan ta’arufnya?” kata-kataku tegas tidak ada keraguan tanpa basa basi.
Ulya tidak segera menjawab. Dia terdiam cukup lama. “afwan ukh...” suara Ulya melemah, sangat lemah sampai terdengar seperti orang berbisik.
“Azka, ikhwan itu sudah, kemarin sudah melamar akhwat lain” nada sedih Ulya.
Aku termangu, gurat kekecewaan membingkai wajahku. Melihat diri di kaca dengan penyesalan yang teramat dalam. Andai saja aku tidak berpikir terlalu lama, andai saja aku langsung menerima tawaran Ulya waktu itu. nasi sudah menjadi bubur, tidak akan bisa dikembalikan seperti sedia kala.
“Quenn...Quenna...” Ulya berteriak khawatir di balik telepon yang masih tersambung.
“aku tidak apa-apa,,jangan berteriak cemas gitu dong, anti kira ana anak SMA apa,,” sahutku bercanda biasa, seperti tidak berharap lebih.
“ana juga dapat kabar hari ini, kaget banget dengarnya ukh,” Ulya merasa tidak enak hati.
“jangan khawatir!, mungkin bukan dia orangnya,hehe...” aku tertawa pahit.
“seseorang yang Allah persiapkan sedang menunggu anti. InsyaAllah segera bertemu, amin...” Ulya berusaha mengibur diriku. Dia sangat memahami siapa aku, pasti ada sebersit kecewa dalam hatiku.
“Amin,syukron ya. Sahabatku yang paling baik, rajin menabung dan tidak sombong” kembali aku membuat kelakar yang garing kemudian mengakhiri perbincangan sore itu.
Perasaanku berkecamuk, perih. Air mataku luruh, menetes membasahi foto ikhwan itu. hanya satu kata yang terngiang di kepalaku “Azka”. Allah tidak merestui kita berkenalan lebih dalam, karena Antum memang sudah dipasangkan dengan akhwat yang akan menjadi istrimu kini. Karena aku bukanlah tulang rusukmu yang bengkok.
***
Tiga bulan berlalu,,,
Matahari terbenam menyambut sore mengantarkan petang. Deru ombak menuju pantai, bergulung membasahi pasir putih berbulir halus. Sayang tidak ada lambain nyiur khas pantai tropis. Namun terbayar oleh panorama laut yang begitu menakjubkan.
Ramai benar pantai ini di waktu senja. Nelayan sibuk persiapan melaut di malam hari, anak-anak kecil menjerit-jerit senang bersua dengan kawan sebaya, bermain pasir dan kejar-kejaran sedangkan para orang tua asyik dengan gossip masing-masing. Tempat yang tepat melepas penat setelah seharian berkutat dengan urusan yang tak kunjung berujung.
Aku menarik napas, tercium bau khas samudra biru. Hembusan napas seiring dengan angin petang menerpa wajahku yang terlampau kusut. Aku duduk merenung menopang dagu di bibir pantai. Mengingat memori yang sudah usang tersimpan rapat di gudang ingatanku. Mengenang selembar foto bergambar suami orang sekarang.
trililit,,trililit,,trililit” nada jadul HP-ku berbunyi, membuyarkan lamunanku yang tak berarti.
Dengan malas aku mengambil HP itu di kantong gamis, “tuuukkkk!!” naas HP-ku jatuh ke hamparan pasir. Tanganku terasa sangat lemah untuk menggegamnya. Aku terdiam, tidak memungutnya tak peduli, terus memandang ke depan. Tidak mau ada yang mengganggu walau dia adalah umi dan abiku.
afwan ukhti, ini HP nya” suara serak berat seorang lelaki membuatku tersentak.
Aku memandangnya sekejap. Penglihatanku buram karena memandang matahari terlampau lama. Segera aku meraih HP itu “syukron,” ucapku datar. Namun pria itu masih saja berdiri di depanku. Sepertinya dia sengaja untuk menghalau sinar yang menerpa wajahku. Aku tidak menggubrisnya, tidak juga marah karena menutup jangkauan mataku dari sang raja siang, malah aku menikmati orang itu berdiri di sampingku. Seolah ada seseorang yang sedang menjagaku dan ingin mengisi kekosongan hatiku. Lama dia berdiri, menungguku beranjak dari tempat itu. aku diam menunduk, diapun tidak mau angkat suara.
Matahari hampir tenggelam, orang itu pergi segera saat aku juga meninggalkan tempat itu. kami berjalan ke arah yang berbeda. Aku berhenti, punggungku seakan terpanggil untuk menoleh ke belakang. Dengan sedikit keraguan aku menengok juga, dan tak terduga orang itu melambaikan tangannya kepadaku seraya berjalan mundur. Aku melihat ke sekitar, tidak ada orang yang di tuju kecuali aku, lambaian itu. Aku semakin mempertajam penglihatan tapi bagai bayangan hitam, sosoknya tidak jelas terlihat. Aku tersenyum simpul kege-eran, karena dialah orang pertama yang menggoyang-goyangkan tangannya untuku. Mungkin bisa berarti selamat tinggal atau bisa juga bermakna sampai jumpa lagi.
***
“Quenn...Quenn...” Ulya memanggilku bersemangat. Sepertinya ada sesuatu yang akan dia sampaikan. Langkah kakinya dipercepat untuk menyamai gerakku. Saat kami dalam posisi sejajar, dengan keras dia menepuk pundakku.
“awww!, sakit tahu!” gumamku lirih. Aku mengelus-elus pundak yang kena damprat. Ulya nyengir tak berdosa.
“namanya Ahmad Alvin Fathurrahman, dosen baru. Kayaknya lulusan inggris, mungkin Oxford University. Dia mengajar mata kuliah kimia polimer. Gelar ph.D dan masih muda dan alim pula” ulya nyerocos sepanjang koridor kampus A Fakultas MIPA Universitas Indonesia. Perguruan tinggi tempatku mengabdi selama lima tahun ini. Sahabatku Ulya juga mengajar di tempat ini. Ibarat siang dan malam, kami tidak terpisahkan sejak SMA sampai duduk di bangku dosen, yang berbeda dari kami adalah aku masih lajang sedangkan Ulya sudah menggendong anak.
“terus gue harus bilang wow gitu!” aku masih cemberut. Moodku pagi ini  sungguh buruk.
“ahemmm...” suara batuk yang di sengaja. Sontak kami berdiam mematung. Suara itu terdengar familiar di telingaku. Sesosok tubuh tegap berdiri siaga di depan kami kemudian mendekat dan semakin mendekati kami. Aku menyenggol Ulya yang bak terhipnotis.
“astaga,,jangan-jangan dia mendengar semuanya tadi” batinku tegang.
Assalamu’alaikum, perkenalkan nama saya Alvin. Dosen baru di sini” sapanya ramah penuh senyuman. Dia menempelkan kedua telapak tangannya dan sedikit menganggukkan kepala. Dia mengerti kalau kami tidak berjabat tangan dengan seseorang laki-laki yang bukan mahram.
wa’alaikummussalam, saya Quenna, panggil saja Quenn” ucapku gugup. Terasa keringat dinginku muncul. Aku menjadi salah tingkah. Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Dan sepertinya Ulya bersorak sorai melihatku begitu kikuk di depan Alvin.
“baiklah kalau begitu, saya pergi duluan” Alvin berjalan mundur beberapa langkah masih memandangi kami. Kemudian dia melambaikan tangan sebelum membalikkan tubuhnya menjauh dari posisi kami.
Aku tersentak “apakah dia orang yang di pantai itu?” gerutuku dalam hati. Aku menggeleng menyangkalnya tetapi hatiku membenarkan bahwa dialah orang yang sama, sosok buram yang kini terpampang nyata di hadapanku.
what ! Cuma segitu doang yang dia katakan. OMG,” Ulya lagi-lagi menyikutku, namun kini senyumku tersungging, manis sekali.
***
“ukhti, bisakah kita bertemu? Ada yang mbak perlu diskusikan, penting!. Datanglah ke rumah jam empat sore!” suara lembut murobbiku mbk Ina di balik telepon.
Hatiku tiba-tiba dag dig dug. Tidak biasanya sang murobbi ngomong empat mata denganku.
“penting?, tentang apa?” aku berusaha menerka-nerka apa yang akan dibicarakannya. Keningku mengerut, membuka lembar demi lembar kemungkinan persoalan yang akan di bahas.
Dari kampus, aku melaju ke rumah morobbi. Perasaanku gundah gulana yang semakin diperumit dengan merayapnya jalanan kota Jakarta. Macet, membuat mobilku bergerak bagai suster ngesot.
“apakah biodata lagi?” gumamku pada diri sendiri.
Pukul lima sore, nyampe juga di rumah mbk Ina. Lewat dari janji yang sudah ditentukankan. Mau bagaimana lagi, Jakarta ibarat makanan empuk di sarang semut. Mobil berbagai merek memenuhi jalanan sempit yang tak kunjung diperlebar.
“Assalamu’alaikum, afwan mbak, ana telat. Biasa macet!” sembari cipika cipiki.
Murobbiku tersenyum penuh pengertian. Kemudian dia mengeluarkan amplop coklat besar yang mirip bungkus surat lamaran pekerjaan.
“buka, baca dan perhatikan dengan teliti. Mbak berharap ini amplop terakhir untukmu ukhti!” suara itu selalu menenangkan ketika aku medengarnya, penuh kasih sayang.
Benar dugaanku pasti isinya biodata lagi. Aku mengambil amplop itu penuh kelesuan. Murobbiku akhir-akhir ini memang gencar sekali memburu para ikhwan yang layak bersanding denganku. Tidak main-main kualifikasi yang beliau pasang, high class bisa di bilang begitu. Tapi sayang, selalu lebih muda dariku. Prinsipku sangat kokoh mengenai usia ini, tertancap kuat bagai akar pohon jati. Sangat sulit di cabut untuk dihilangkan.
Aku membuka amplop itu. Terkesiap bukan main diriku. Mataku terus melotot memandangi lembaran 3R itu. seseorang yang aku bertemu dengannya siang ini “Ahmad Alvin Fathurrahman”. Lahir di Bogor, 13 Oktober 1986.
“lebih muda tiga tahun. Apakah kali ini di tolak juga, dek?” tanya mbk Ina seperti telah membaca alur batinku.
Mukaku memelas “tidak adakah yang seumuran atau yang lebih tua dariku mbk?” suaraku terdengar lirih. Sangat berat sebenarnya berbicara seperti itu, karena hati kecilku berbicara sangat menginginkan Ikhwan ini mungkin sejak saat bertemu di pantai waktu itu.
“sulit mencari yang sesuai keinginanmu dek. Sekarang, kebanyakan Ikhwan muda yang lebih getol untuk menikah. Jangan khawatir dek, laki-laki itu sangat bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Dia bisa menjadi sangat dewasa dan bijaksana walau umurnya lebih kecil dari kita” ceramah mbk Ina panjang lebar, berusaha meyakinkan aku untuk menerima biodata itu.
“Pertimbangkanlah, dek !. tiga hari, Alvin menuggu jawaban adek. jangan sampai adek menyesal di kemudian hari”.
Kata menyesal mengingatkanku kembali pada Azka. Tidak bisa dipungkiri memang aku sangat menyesal karena terlambat menerima tawaran dari sahabatku Ulya.
“inilah saatnya adek mereguh kebaikan sebesar-besarnya. Bukankah menikah adalah ladang pahala yang sangat subur untuk digarap bersama?” mbk Ina kembali menyerangku dengan fakta tanpa pengingkaran.
ana akan mempertimbangkannya mbk. Syukron!” aku tertunduk malu. Malu bukan karena usiaku, tapi lebih kepada prinsipku yang sudah ketinggalan jaman. Dari dulu aku memang masih kukuh dengan pemikiranku, sungguh malu-maluin rasanya mempunyai suami muda.
***
“bagaimana menurut Abi dan Umi?” aku menyodorkan biodata itu. Aku tidak mau mengulur waktu lagi. Tiga hari adalah tenggat waktu yang sangat singkat untuk pengambilan keputusan.
Abi dan Umi membaca secara cermat secarcik kertas penting itu. Aku perhatikan, beragam ekspresi mereka tunjukkan. senyum-senyum, manggut-manggut tapi tampak jelas keseriusan dari mimik mereka. Aku sabar menunggu, tidak berbicara sepatah katapun. Adikku aisyah tidak kalah tegang seakan posisiku tergantikan olehnya. Aku memegang tangannya dan benar saja dingin karena grogi. Pengharapannya mungkin sangat besar untuk melihatku mengakhiri masa lajang.
“Abi dan Umi memberikan restu. Keputusan tetap ada di tanganmu, Quenn” Abi memecahkan keheningan.
“bahkan Ikhwan ini terlalu sempurna untukmu” canda Umiku membuat tawa Abi dan Aisyah meledak. Wajahku memerah menahan malu.
“gimana kak? Mau ya,!” Asiyah menarik-narik ujung jilbabku, merengek untuk membujukku.
“sebenarnya aku juga suka. Tapi...” suaraku tercekat, seperti ada batu yang mengganjal tenggorokanku.
“tapi dia lebih muda dariku. Itukan yang mau kakak katakan. Kak, please,, hilangkan prinsip konyolmu itu. orang-orang akan tertawa mendengar argumen seperti itu sebagai penyangkalan. Bukankah Rasullulah menyuruh kita melihat agama dan akhlak seseorang terlepas dari tampang, harta dan keturunan apalagi mempermasalahkan usia, sama sekali tidak masuk akal” omel Aisyah, membuat semua isi ruangan itu terbelalak. Ternyata adikku lebih dewasa walau umurnya remaja.
“Aisyah benar. Istikharohlah malam ini, nak! ” kata bijak umiku.
Malam itu aku benar-benar meminta petunjuk Allah. Bersimpuh meminta keputusan-Nya tentang hidupku yang sudah tercatat rapi di lauh mahfuz.
***
Jakarta macet, sepertinya tidak ada barang sedetikpun waktu lengang. Entah itu pagi buta, jalanan sudah tertutupi besi bergerak. Jadwal mengajar pukul tujuh terancam batal.
“oh, tidak!” gerutuku. Aku mengintip jam di tangan, jarum panjang sudah merangkak mendekati angka tujuh. Lampu merah memperparah keterlambatanku. Ini akan mencoret nama baikku sebagai dosen paling on time. Tidak bosan-bosannya mataku bergerak mengawasi. Akhirnya lampu hijau yang ditunggu menyala juga, tapi kenapa mobil-mobil di depanku tidak bergeser secuilpun. Kesabaranku mulai mendidih. Menggila aku memencet bel mobil sekenceng-kencengnya. Teriakan di belakangku juga semakin membludak. Aku turun dari mobil, melangkah ke depan. Terlihat kerumunan orang seperti lalat berebut sepotong roti basi. Entah apa yang ada di sana sehingga begitu banyak menyedot perhatian warga. Aku bergerak semakin depan, namun tidak bisa kutembus rapatnya kerumunan itu. bukan karena aku tidak mampu, tapi kehormatanku sebagai Akhwat lebih utama. Kubiarkan rasa penasaran menguap ke angkasa. Aku masih berdiri di badan jalan, terdengar suara sirine ambulan semakin mendekat. Petugas medis memecah kerumunan itu dan berhasil menggotong seseorang bersimbah darah. Tampak sekilas tubuh yang sangat aku kenal.
“tidak mungkin!, tidak mungkin! Itu bukan Alvin, itu bukan dia” ucapku lemah. Aku linglung, kepalaku serasa terbentur sesuatu yang tumpul, sakit sekali. Tubuhku lemas dan tidak sadarkan diri.
Keputusanku sudah mantap. Aku bersedia menikah dengannya. Tidak peduli pembicaraan orang tentang usiaku dan usianya. Karena aku menyukainya. Suka dengan akhlaknya yang mungkin akan membawaku kepada cinta abadi, yaitu cinta Allah. Hari ini adalah hari terakhirku untuk memberi jawaban pasti.
Aku tersadar, langsung bau khas rumah sakit menusuk hidungku. Kepalaku masih terasa puyeng, namun kupaksakan untuk terduduk. Aku melihat Ulya disampingku, kemudian memelukku erat. Matanya merah, pasti sudah menangis.
“Abi, Umi, dan Aisyah sedang diperjalanan menuju ke sini” suara Ulya serak, nangis habis-habisan rupanya. Aku tersenyum melihatnya.
“waktumu sudah habis. Ya atau tidak!” Alvin muncul dari bilik pintu. Aku terkaget sekaligus lega. Bukan dia orang yang ditandu tadi. Bahkan sekarang dia berdiri sangat cool bagai pemeran utama drama korea.
Aku menunduk malu, menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Tidak berani menghadapi tatapan Alvin yang membahayakan.
“aku yang menghubunginya. Aku pikir dia sangat panik ketika aku mengatakan kamu dibawa ke rumah sakit” Ulya nyengir penuh kemenangan. Ternyata Alvin bersekongkol dengannya. Bahkan melalui Ulya, biodata Alvin sampai kepada murobbiku, mbk Ina. Kenapa aku tidak membaca gelagat liciknya dari awal. Pantas dia terus mempromosikan Alvin kepadaku.
“ya atau tidak?” suara Aisyah, lagi-lagi menggodaku. Abi dan Umi juga sudah datang. Mereka menatap kepadaku penuh harap. Mbk Ina juga datang. Seperti persekutuan besar-besaran terjadi.
Dan akupun mengangguk, tidak hanya sekali namun berkali-kali.
 “aku akan menikah!!” teriakku senang dalam hati.


 

mongyimongyi !! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea