“kak,
jemput, adik udah selesai pengajiannya ni...” dengan nada manja Rany menelpon
suaminya.
“what, kakak?” teriakku dalam hati. Aku shock mendengar Rany memanggil suaminya
dengan sebutan kakak. Memang bukan rahasia lagi kalau suami Rany lebih muda lima
tahun dari dirinya. Bahkan semua akhwat di kampus tahu prihal itu.
“ukh,,, syukron ya. Ini HP-nya” tutur lembut Rany dilengkapi senyum khas
lesung pipinya yang selalu membuatku iri.
Aku
masih terperanjat, setengah sadar aku mengambil HP yang disodorkannya. Sebegitu
percaya dirinya Rany memanggil suaminya ‘kakak’ yang notabene panggilan kakak adalah untuk seseorang yang memiliki umur
lebih tua. Namun ada sebersit kekagumanku pada sosoknya, dia berani membuat
keputusan untuk menikahi seorang ikhwan yang lebih tepat dipanggilnya adik. Sedangkan
aku, Quenna Az Zahra, masih melajang hingga kini. Padahal usiaku akan menginjak
kepala tiga sebulan lagi, tapi masih belum menemukan tambatan hati yang akan
memimpinku mengarungi samudra dakwah ini. Aku terlalu asyik bermain di zona
aman, masih memperhitungkan pergunjingan orang tentang diriku yang mempunyai
suami brondong.
***
“tidak
ada salahnya suami kita lebih muda. Malah sekarang lagi ngetrend di kalangan akhwat” sela Aisyah nimbrung di tengah diskusiku
dengan Ulya. Ternyata sedari tadi dia mencuri dengar percakapan kami.
“adik
ini, gak sopan menguping pembicaraan orang!” aku membela diri, memasang
muka sewot.
“Rasullulah
saja lebih muda lima belas tahun dari istrinya, Siti Khadijah. Nah, ini
mending mbk Rany cuma terpaut lima tahun, masih wajarlah” Aisyah nyengir
merasa sudah memukul KO aku. Terlihat
wajah puas, mungkin dengan itu bisa memotivasiku untuk segera menikah.
“itu
dengarkan, adik kecil aja ngerti” sindir Ulya, sangat mendukung aksi Aisyah.
Aisyah merangkul manja Ulya, mereka saling mengedipkan mata tanda bersekutu
membujukku untuk segera memilki pasangan.
“tapi
tidak ada salahnya kalau aku menginginkan yang lebih tua, terpaut satu tahun juga
tidak apa-apa” gerutuku cemberut, memalingkan muka dari mereka. Dirumah ini
tidak ada seorangpun yang memihak kepadaku. Apalagi Umi dan Abi sudah angkat
tangan dengan tema ini.
“kalau
yang seumuran, mau?” goda Ulya, kembali memancing emosiku yang sudah
membeludak-bludak. Aku kian menciut, tiada ruang untuk membela diri lagi. Kata-kata
penangkalku terpatahkan, kisah teladan nabi benar-benar senjata ampuh yang
mematikan.
“gimana, mau
enggak?. Aku sudah ada calonnya ni,,” Ulya semakin ngotot, dia lekas membuka
tasnya dan mengambil selembar foto. Bahkan Aisyah kembali berulah, dengan
sengaja adik kecilku itu melambai-lambaikan gambar itu di depan mataku.
Sekilas
aku melihat, seorang Ikhwan berparas tampan sedikit berjenggot. Sengaja aku
mengernyit tak berselera, menjauhkan pandanganku.
“Namanya
Azka” ungkap Ulya tersenyum yang kemudian menyerahkan foto itu kepadaku. Dia
berpamitan segera meninggalkan kamarku.
“hei, cuma
itu doang informasinya!” teriakku, merajuk di atas kasur.
“penasaran
ya!” goda Aisyah, membuatku semakin memanas. Usiaku yang terpaut sepuluh
tahun dengannya tidak menahan kami untuk menjadi akrab. Bahkan dia
kadang-kadang lebih bijaksana dariku.
“untuk
selebihnya,,aku tunggu jawabanmu tiga hari lagi. Pertimbangkanlah, perhatikan
gambar itu secara seksama, OK” sahut Ulya seraya melemparkan kecupan perpisahan
dari jauh.
Aku
menjatuhkan diri di kasur. Meringsik-ringsik gemas dengan tingkah sahabat
baikku itu. Menggeliat-geliat bagai cacing kepanasan, sangat tidak puas dengan
secuil fakta dan selembar foto saja.
“ada
apa denganku?” pertanyaan yang jawabannya masih misteri. Pandanganku tetap terpaku pada foto itu. Derap-derap
Tanya muncul dibenakku. Siapa dia?, seperti apa dia?, apa pekerjaannya?,
pendidikannya?, semuanya tentang dia membuatku penasaran. Aku sangat ingin tahu
siapa sosok Ikhwan ini.
***
Di
sebuah Hypermart, Rany menggandeng mesra suaminya. Mereka Nampak sangat
menikmati berbelanja sembari berpacaran. Maklum seorang akhwat, masa lajang
ditempuh tanpa kekasih pujaan, setelah menikah setiap hari serasa bagai romeo
dan juliet.
Aku
tersipu melihatnya. senyum-senyum sendiri membayangkan nanti kalau aku menikah
mungkin akan seperti itu juga, terus menempel pada suami. Tapi dengan segera
mimikku berubah, aku menunduk cemberut, menghadapi kenyataan bakal calon
perawan tua kalau tidak segera bertindak.
“Iri
ya...” suara menyindir Aisyah, lagi-lagi membuatku memanas.
“siapa
yang iri!” ucapku ketus membuang muka.
“wah,mbk
Rany mesra banget ya...” Aisyah menggelitik pinggangku, lekas pergi menghampiri
Rany dan suaminya. Akupun ikut nimbrung, walau ada rasa malas untuk mendekat.
Setelah
berbincang seadanya, Rany berbisik kepadaku “bersegeralah untuk mengerjakan
kebaikan, temanku!” aku tersentak, mukaku memerah . Kemudia dia dan suaminya pamit,
pergi begitu saja setelah mengatakan itu tanpa rasa bersalah akan menyinggung
perasaanku.
Semakin
malu diriku. Terbersit tawaran Ulya dibenakku, sudah lebih seminggu aku belum
memberikan respon atas foto yang dia sodorkan. Berkali-kali dia menerorku untuk
kepastian ke tahap selanjutnya, namun aku selalu meminta waktu lebih untuk
berpikir. Sholat istiharah pun tidak luput kulakukan, namun belum jua keyakinan
hatiku tertancap mantap.
***
“mencarimu
kasih bagai mencari mutiara putih”
“walau
ke dasar lautan sanggup ku selami”
“namun
tak percaya apa yang telah aku terjumpa”
“kau
sebutir pasir tak berharga”
Nasyid
dari Unic mengalun syahudu, menemaniku di sore yang mendung nan indah. Aku
berkutat dengan bisikan Rany yang terus menghantuiku. Ditambah bayang-bayang
wajah Ulya yang sedang menunggu jawabanku. Aku meraih foto Ikhwan itu,
memperhatikannya lagi.
“baiklah,,aku
putuskan akan mengenalmu lebih dekat” suaraku lantang meyakinkan diri seraya
menunjuk-nunjuk wajah Azka.
Aku meraih
handphone yang ada di laci meja rias. Seraya mematut di kaca, aku
mengangguk-ngangguk semangat untuk memencet nomor Ulya.
“Assalamu’alaikum, ukhti”
suaraku berat agak grogi.
“wa’alaikummussalam” jawab Ulya ceria,
seolah sangat menantikan sapaanku.
“ukh, ana
sudah siap sekarang. Bisakah dilanjutkan
ta’arufnya?” kata-kataku tegas tidak ada keraguan tanpa basa basi.
Ulya
tidak segera menjawab. Dia terdiam cukup lama. “afwan ukh...” suara Ulya melemah, sangat lemah sampai terdengar
seperti orang berbisik.
“Azka,
ikhwan itu sudah, kemarin sudah melamar akhwat lain” nada sedih Ulya.
Aku
termangu, gurat kekecewaan membingkai wajahku. Melihat diri di kaca dengan
penyesalan yang teramat dalam. Andai saja aku tidak berpikir terlalu lama,
andai saja aku langsung menerima tawaran Ulya waktu itu. nasi sudah menjadi
bubur, tidak akan bisa dikembalikan seperti sedia kala.
“Quenn...Quenna...”
Ulya berteriak khawatir di balik telepon yang masih tersambung.
“aku
tidak apa-apa,,jangan berteriak cemas gitu dong, anti kira ana anak SMA apa,,”
sahutku bercanda biasa, seperti tidak berharap lebih.
“ana
juga dapat kabar hari ini, kaget banget dengarnya ukh,” Ulya merasa tidak enak
hati.
“jangan
khawatir!, mungkin bukan dia orangnya,hehe...” aku tertawa pahit.
“seseorang
yang Allah persiapkan sedang menunggu anti. InsyaAllah segera bertemu, amin...”
Ulya berusaha mengibur diriku. Dia sangat memahami siapa aku, pasti ada
sebersit kecewa dalam hatiku.
“Amin,syukron
ya. Sahabatku yang paling baik, rajin menabung dan tidak sombong” kembali aku
membuat kelakar yang garing kemudian mengakhiri perbincangan sore itu.
Perasaanku
berkecamuk, perih. Air mataku luruh, menetes membasahi foto ikhwan itu. hanya
satu kata yang terngiang di kepalaku “Azka”. Allah tidak merestui kita
berkenalan lebih dalam, karena Antum memang sudah dipasangkan dengan akhwat
yang akan menjadi istrimu kini. Karena aku bukanlah tulang rusukmu yang
bengkok.
***
Tiga
bulan berlalu,,,
Matahari
terbenam menyambut sore mengantarkan petang. Deru ombak menuju pantai, bergulung
membasahi pasir putih berbulir halus. Sayang tidak ada lambain nyiur khas pantai
tropis. Namun terbayar oleh panorama laut yang begitu menakjubkan.
Ramai
benar pantai ini di waktu senja. Nelayan sibuk persiapan melaut di malam hari,
anak-anak kecil menjerit-jerit senang bersua dengan kawan sebaya, bermain pasir
dan kejar-kejaran sedangkan para orang tua asyik dengan gossip masing-masing. Tempat
yang tepat melepas penat setelah seharian berkutat dengan urusan yang tak
kunjung berujung.
Aku
menarik napas, tercium bau khas samudra biru. Hembusan napas seiring dengan angin
petang menerpa wajahku yang terlampau kusut. Aku duduk merenung menopang dagu
di bibir pantai. Mengingat memori yang sudah usang tersimpan rapat di gudang
ingatanku. Mengenang selembar foto bergambar suami orang sekarang.
“trililit,,trililit,,trililit”
nada jadul HP-ku berbunyi, membuyarkan lamunanku yang tak berarti.
Dengan
malas aku mengambil HP itu di kantong gamis, “tuuukkkk!!” naas HP-ku jatuh
ke hamparan pasir. Tanganku terasa sangat lemah untuk menggegamnya. Aku terdiam,
tidak memungutnya tak peduli, terus memandang ke depan. Tidak mau ada yang
mengganggu walau dia adalah umi dan abiku.
“afwan ukhti, ini HP nya” suara serak
berat seorang lelaki membuatku tersentak.
Aku
memandangnya sekejap. Penglihatanku buram karena memandang matahari terlampau
lama. Segera aku meraih HP itu “syukron,”
ucapku datar. Namun pria itu masih saja berdiri di depanku. Sepertinya dia
sengaja untuk menghalau sinar yang menerpa wajahku. Aku tidak menggubrisnya, tidak
juga marah karena menutup jangkauan mataku dari sang raja siang, malah aku
menikmati orang itu berdiri di sampingku. Seolah ada seseorang yang sedang
menjagaku dan ingin mengisi kekosongan hatiku. Lama dia berdiri, menungguku
beranjak dari tempat itu. aku diam menunduk, diapun tidak mau angkat suara.
Matahari
hampir tenggelam, orang itu pergi segera saat aku juga meninggalkan tempat itu.
kami berjalan ke arah yang berbeda. Aku berhenti, punggungku seakan terpanggil
untuk menoleh ke belakang. Dengan sedikit keraguan aku menengok juga, dan tak
terduga orang itu melambaikan tangannya kepadaku seraya berjalan mundur. Aku
melihat ke sekitar, tidak ada orang yang di tuju kecuali aku, lambaian itu. Aku
semakin mempertajam penglihatan tapi bagai bayangan hitam, sosoknya tidak jelas
terlihat. Aku tersenyum simpul kege-eran,
karena dialah orang pertama yang menggoyang-goyangkan tangannya untuku. Mungkin
bisa berarti selamat tinggal atau bisa juga bermakna sampai jumpa lagi.
***
“Quenn...Quenn...”
Ulya memanggilku bersemangat. Sepertinya ada sesuatu yang akan dia sampaikan.
Langkah kakinya dipercepat untuk menyamai gerakku. Saat kami dalam posisi
sejajar, dengan keras dia menepuk pundakku.
“awww!,
sakit tahu!” gumamku lirih. Aku mengelus-elus pundak yang kena damprat. Ulya
nyengir tak berdosa.
“namanya
Ahmad Alvin Fathurrahman, dosen baru. Kayaknya lulusan inggris, mungkin Oxford
University. Dia mengajar mata kuliah kimia polimer. Gelar ph.D dan masih muda dan
alim pula” ulya nyerocos sepanjang koridor kampus A Fakultas MIPA Universitas
Indonesia. Perguruan tinggi tempatku mengabdi selama lima tahun ini. Sahabatku
Ulya juga mengajar di tempat ini. Ibarat siang dan malam, kami tidak
terpisahkan sejak SMA sampai duduk di bangku dosen, yang berbeda dari kami
adalah aku masih lajang sedangkan Ulya sudah menggendong anak.
“terus
gue harus bilang wow gitu!” aku masih
cemberut. Moodku pagi ini sungguh buruk.
“ahemmm...”
suara batuk yang di sengaja. Sontak kami berdiam mematung. Suara itu terdengar
familiar di telingaku. Sesosok tubuh tegap berdiri siaga di depan kami kemudian
mendekat dan semakin mendekati kami. Aku menyenggol Ulya yang bak terhipnotis.
“astaga,,jangan-jangan
dia mendengar semuanya tadi” batinku tegang.
“Assalamu’alaikum, perkenalkan nama saya Alvin.
Dosen baru di sini” sapanya ramah penuh senyuman. Dia menempelkan kedua telapak
tangannya dan sedikit menganggukkan kepala. Dia mengerti kalau kami tidak
berjabat tangan dengan seseorang laki-laki yang bukan mahram.
“wa’alaikummussalam, saya Quenna, panggil
saja Quenn” ucapku gugup. Terasa keringat dinginku muncul. Aku menjadi salah
tingkah. Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Dan sepertinya Ulya
bersorak sorai melihatku begitu kikuk di depan Alvin.
“baiklah
kalau begitu, saya pergi duluan” Alvin berjalan mundur beberapa langkah masih
memandangi kami. Kemudian dia melambaikan tangan sebelum membalikkan tubuhnya
menjauh dari posisi kami.
Aku
tersentak “apakah dia orang yang di pantai itu?” gerutuku dalam hati. Aku
menggeleng menyangkalnya tetapi hatiku membenarkan bahwa dialah orang yang
sama, sosok buram yang kini terpampang nyata di hadapanku.
“what ! Cuma segitu doang yang dia
katakan. OMG,” Ulya lagi-lagi
menyikutku, namun kini senyumku tersungging, manis sekali.
***
“ukhti, bisakah
kita bertemu? Ada yang mbak perlu diskusikan, penting!. Datanglah ke rumah jam
empat sore!” suara lembut murobbiku mbk Ina di balik telepon.
Hatiku
tiba-tiba dag dig dug. Tidak biasanya sang murobbi ngomong empat mata denganku.
“penting?,
tentang apa?” aku berusaha menerka-nerka apa yang akan dibicarakannya. Keningku
mengerut, membuka lembar demi lembar kemungkinan persoalan yang akan di bahas.
Dari
kampus, aku melaju ke rumah morobbi. Perasaanku gundah gulana yang semakin
diperumit dengan merayapnya jalanan kota Jakarta. Macet, membuat mobilku
bergerak bagai suster ngesot.
“apakah
biodata lagi?” gumamku pada diri sendiri.
Pukul
lima sore, nyampe juga di rumah mbk Ina. Lewat dari janji yang sudah ditentukankan.
Mau bagaimana lagi, Jakarta ibarat makanan empuk di sarang semut. Mobil
berbagai merek memenuhi jalanan sempit yang tak kunjung diperlebar.
“Assalamu’alaikum,
afwan mbak, ana telat. Biasa macet!” sembari cipika cipiki.
Murobbiku
tersenyum penuh pengertian. Kemudian dia mengeluarkan amplop coklat besar yang
mirip bungkus surat lamaran pekerjaan.
“buka,
baca dan perhatikan dengan teliti. Mbak berharap ini amplop terakhir untukmu
ukhti!” suara itu selalu menenangkan ketika aku medengarnya, penuh kasih
sayang.
Benar
dugaanku pasti isinya biodata lagi. Aku mengambil amplop itu penuh kelesuan. Murobbiku
akhir-akhir ini memang gencar sekali memburu para ikhwan yang layak bersanding
denganku. Tidak main-main kualifikasi yang beliau pasang, high class bisa di
bilang begitu. Tapi sayang, selalu lebih muda dariku. Prinsipku sangat kokoh
mengenai usia ini, tertancap kuat bagai akar pohon jati. Sangat sulit di cabut
untuk dihilangkan.
Aku
membuka amplop itu. Terkesiap bukan main diriku. Mataku terus melotot
memandangi lembaran 3R itu. seseorang yang aku bertemu dengannya siang ini
“Ahmad Alvin Fathurrahman”. Lahir di Bogor, 13 Oktober 1986.
“lebih
muda tiga tahun. Apakah kali ini di tolak juga, dek?” tanya mbk Ina seperti
telah membaca alur batinku.
Mukaku
memelas “tidak adakah yang seumuran atau yang lebih tua dariku mbk?” suaraku
terdengar lirih. Sangat berat sebenarnya berbicara seperti itu, karena hati
kecilku berbicara sangat menginginkan Ikhwan ini mungkin sejak saat bertemu di
pantai waktu itu.
“sulit
mencari yang sesuai keinginanmu dek. Sekarang, kebanyakan Ikhwan muda yang
lebih getol untuk menikah. Jangan khawatir dek, laki-laki itu sangat bisa
menyesuaikan diri dengan keadaan. Dia bisa menjadi sangat dewasa dan bijaksana
walau umurnya lebih kecil dari kita” ceramah mbk Ina panjang lebar, berusaha
meyakinkan aku untuk menerima biodata itu.
“Pertimbangkanlah,
dek !. tiga hari, Alvin menuggu jawaban adek. jangan sampai adek menyesal di
kemudian hari”.
Kata
menyesal mengingatkanku kembali pada Azka. Tidak bisa dipungkiri memang aku
sangat menyesal karena terlambat menerima tawaran dari sahabatku Ulya.
“inilah
saatnya adek mereguh kebaikan sebesar-besarnya. Bukankah menikah adalah ladang
pahala yang sangat subur untuk digarap bersama?” mbk Ina kembali menyerangku
dengan fakta tanpa pengingkaran.
“ana akan mempertimbangkannya mbk. Syukron!” aku tertunduk malu. Malu bukan
karena usiaku, tapi lebih kepada prinsipku yang sudah ketinggalan jaman. Dari
dulu aku memang masih kukuh dengan pemikiranku, sungguh malu-maluin rasanya
mempunyai suami muda.
***
“bagaimana
menurut Abi dan Umi?” aku menyodorkan biodata itu. Aku tidak mau mengulur waktu
lagi. Tiga hari adalah tenggat waktu yang sangat singkat untuk pengambilan
keputusan.
Abi
dan Umi membaca secara cermat secarcik kertas penting itu. Aku perhatikan,
beragam ekspresi mereka tunjukkan. senyum-senyum, manggut-manggut tapi tampak
jelas keseriusan dari mimik mereka. Aku sabar menunggu, tidak berbicara sepatah
katapun. Adikku aisyah tidak kalah tegang seakan posisiku tergantikan olehnya.
Aku memegang tangannya dan benar saja dingin karena grogi. Pengharapannya mungkin
sangat besar untuk melihatku mengakhiri masa lajang.
“Abi
dan Umi memberikan restu. Keputusan tetap ada di tanganmu, Quenn” Abi
memecahkan keheningan.
“bahkan
Ikhwan ini terlalu sempurna untukmu” canda Umiku membuat tawa Abi dan Aisyah
meledak. Wajahku memerah menahan malu.
“gimana
kak? Mau ya,!” Asiyah menarik-narik ujung jilbabku, merengek untuk membujukku.
“sebenarnya
aku juga suka. Tapi...” suaraku tercekat, seperti ada batu yang mengganjal
tenggorokanku.
“tapi
dia lebih muda dariku. Itukan yang mau kakak katakan. Kak, please,, hilangkan
prinsip konyolmu itu. orang-orang akan tertawa mendengar argumen seperti itu
sebagai penyangkalan. Bukankah Rasullulah menyuruh kita melihat agama dan
akhlak seseorang terlepas dari tampang, harta dan keturunan apalagi
mempermasalahkan usia, sama sekali tidak masuk akal” omel Aisyah, membuat semua
isi ruangan itu terbelalak. Ternyata adikku lebih dewasa walau umurnya remaja.
“Aisyah
benar. Istikharohlah malam ini, nak! ” kata bijak umiku.
Malam
itu aku benar-benar meminta petunjuk Allah. Bersimpuh meminta keputusan-Nya
tentang hidupku yang sudah tercatat rapi di lauh mahfuz.
***
Jakarta
macet, sepertinya tidak ada barang sedetikpun waktu lengang. Entah itu pagi
buta, jalanan sudah tertutupi besi bergerak. Jadwal mengajar pukul tujuh
terancam batal.
“oh,
tidak!” gerutuku. Aku mengintip jam di tangan, jarum panjang sudah merangkak
mendekati angka tujuh. Lampu merah memperparah keterlambatanku. Ini akan
mencoret nama baikku sebagai dosen paling on
time. Tidak bosan-bosannya mataku bergerak mengawasi. Akhirnya lampu hijau
yang ditunggu menyala juga, tapi kenapa mobil-mobil di depanku tidak bergeser secuilpun.
Kesabaranku mulai mendidih. Menggila aku memencet bel mobil
sekenceng-kencengnya. Teriakan di belakangku juga semakin membludak. Aku turun
dari mobil, melangkah ke depan. Terlihat kerumunan orang seperti lalat berebut
sepotong roti basi. Entah apa yang ada di sana sehingga begitu banyak menyedot
perhatian warga. Aku bergerak semakin depan, namun tidak bisa kutembus rapatnya
kerumunan itu. bukan karena aku tidak mampu, tapi kehormatanku sebagai Akhwat
lebih utama. Kubiarkan rasa penasaran menguap ke angkasa. Aku masih berdiri di
badan jalan, terdengar suara sirine ambulan semakin mendekat. Petugas medis
memecah kerumunan itu dan berhasil menggotong seseorang bersimbah darah. Tampak
sekilas tubuh yang sangat aku kenal.
“tidak
mungkin!, tidak mungkin! Itu bukan Alvin, itu bukan dia” ucapku lemah. Aku
linglung, kepalaku serasa terbentur sesuatu yang tumpul, sakit sekali. Tubuhku
lemas dan tidak sadarkan diri.
Keputusanku
sudah mantap. Aku bersedia menikah dengannya. Tidak peduli pembicaraan orang
tentang usiaku dan usianya. Karena aku menyukainya. Suka dengan akhlaknya yang
mungkin akan membawaku kepada cinta abadi, yaitu cinta Allah. Hari ini adalah
hari terakhirku untuk memberi jawaban pasti.
Aku
tersadar, langsung bau khas rumah sakit menusuk hidungku. Kepalaku masih terasa
puyeng, namun kupaksakan untuk terduduk. Aku melihat Ulya disampingku, kemudian
memelukku erat. Matanya merah, pasti sudah menangis.
“Abi,
Umi, dan Aisyah sedang diperjalanan menuju ke sini” suara Ulya serak, nangis
habis-habisan rupanya. Aku tersenyum melihatnya.
“waktumu
sudah habis. Ya atau tidak!” Alvin muncul dari bilik pintu. Aku terkaget
sekaligus lega. Bukan dia orang yang ditandu tadi. Bahkan sekarang dia berdiri
sangat cool bagai pemeran utama drama korea.
Aku
menunduk malu, menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Tidak berani
menghadapi tatapan Alvin yang membahayakan.
“aku
yang menghubunginya. Aku pikir dia sangat panik ketika aku mengatakan kamu
dibawa ke rumah sakit” Ulya nyengir penuh kemenangan. Ternyata Alvin
bersekongkol dengannya. Bahkan melalui Ulya, biodata Alvin sampai kepada
murobbiku, mbk Ina. Kenapa aku tidak membaca gelagat liciknya dari awal. Pantas
dia terus mempromosikan Alvin kepadaku.
“ya
atau tidak?” suara Aisyah, lagi-lagi menggodaku. Abi dan Umi juga sudah datang.
Mereka menatap kepadaku penuh harap. Mbk Ina juga datang. Seperti persekutuan
besar-besaran terjadi.
Dan
akupun mengangguk, tidak hanya sekali namun berkali-kali.
“aku akan menikah!!” teriakku senang dalam
hati.